Oleh: Miqdad Husein*
Soal ketegangan dan perpecahan menjadi catatan terpenting perjalanan bangsa Indonesia di tahun 2019. Adalah Pilpres 2019 dengan segala perniknya yang menjadi pemantik suasana panas hingga menyita energi dan emosi besar itu.
Terasa aneh sebenarnya momen Pilpres yang telah kesekian kali dilaksanakan negeri ini menimbulkan ketegangan luar biasa. Apalagi ketika menelisik anatomi politik para Calon Presiden, yang memiliki kedekatan politik relatif kuat. Jokowi dan Prabowo, PDIP dan Gerindra, merupakan representasi kekuatan politik yang sebenarnya sangat karib. Bahkan platform kedua pertai itu dinilai memiliki banyak kesamaan.
Keruwetan Pilpres 2019
Rekam jejak relasi dua tokoh dan partai pendukungnya juga diketahui tergolong sangat dekat. Jokowi pernah didukung Prabowo dan Gerindra ketika tampil sebagai Gubernur DKI Jakarta. Prabowo pernah berpasangan dengan Megawati ketika tampil sebagai Capres-cawapres pada Pilpres tahun 2009. Kedekatan Megawati dan Prabowo sudah lama menjadi hiasan indah politik di negeri ini.
Ketika kemudian Prabowo yang menjadi rival Jokowi selama Pilpres 2019 duduk bareng dalam perahu kabinet pimpinan Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan, semuanya menegaskan betapa kedekatan kedua tokoh dan partai pendukungnya sangat terasa.
Bukan Demokrat yang masuk kabinet, yang sempat terjadi lobi politik dengan Jokowi, dan rivalitas selama Pilpres tidak terlalu mengemuka. Tapi, ketika semua sudah selesai kedekatan politik kembali ke aslinya. Karena itu justru Prabowo dan Gerindra yang selama Pilpres menjadi rival keras yang berkoalisi masuk ke jajaran pemerintahan.
Sempat menimbulkan semacam kekecewaan pada para pendukung Prabowo. Namun inilah realitas politik paling unik di negeri ini. Dan semua seakan mempertegas diktum politik bahwa “tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”.
Serba Nyaris di 2019
Jika kekuatan politik nasionalis, agama dan komunis di negeri ini di masa lalu pernah bersatu apalagi yang sesama nasionalis dan memiliki platform relatif sama. Tak ada yang tak mungkin dalam politik apalagi di negeri ini, yang mengutip pernyataan terkenal Adam Malik bahwa semua bisa diatur.
Tentu saja lepas dari fakta bahwa politik adalah seni segala kemungkinan peristiwa Pilpres 2019 harus menjadi catatan buram perjalanan negeri ini. Catatan buram ini perlu diberi warna jelas agar tak terulang kembali.
Bagaimanapun negeri dan bangsa Indonesia selama Pilpres 2019 nyaris terjerumus konflik besar ketika massa pendukung terbelah sangat tajam. Emosi, fitnah, hoax, sumpah serapah dan sikap saling menghina serta melecehkan sebagai titik awal konflik telah terlihat jelas.
Suasana terbelah itu makin jelas dan diperparah ketika merebak nuansa kental keterikatan keagamaan. Seakan memilih Pranowo merupakan tiket ke surga sedang memilih Jokowi dapat mengantarkan ke neraka. Ada perangkap takfiri yaitu sikap mengkafirkan selama pelaksanaan Pilpres sehingga makin mendekatkan negeri ini ke jurang konflik besar.
Hanya perlu satu pemantik kecil.
Ada pertanyaan besar mengapa dengan anatomi dan kultur politik yang sebenarnya berdekatan pada kedua Capres terjadi ketegangan luar biasa, terutama di akar rumput. Bukankah dua kekuatan politik pendukung utama sebenarnya sangat indah rekam jejak relasi politiknya?
Politik Berbungkus Agama
Politik identitas, diyakini banyak kalangan menjadi penyebab ketegangan luar biasa. Ada kekuatan yang sengaja menggunakan agama sebagai alat politik secara berlebihan. Agama bukan lagi jadi nuansa nilai kebaikan namun dijadikan alat politik menegaskan perbedaan. Mereka menempelkan kebencian menggunakan agama dengan label surga dan neraka.
Betapa dasyat amunisi politik berbungkus agama berlebihan itu. Bukan hanya membuat keterbelahan antar umat beragama bahkan sesama muslim-pun terjebak ketegangan luar biasa. Keislaman terpecah hanya karena perbedaan pilihan politik. Ukhuwah Islamiyah runtuh dikalahkan perbedaan pilihan politik yang dikemas emosi takfiri.
Sangat ironis ukhuwah Islamiyah dirobohkan perbedaan pilihan politik. Bukankah ukhuwah itu wajib sedang pilihan politik sekedar warna warni elementer sosial? Itulah yang terjadi di Pilpres 2019 buah dari penyalahgunaan agama ekspresi brutal syahwat kekuasaan
Negeri ini harus belajar sungguh-sungguh dari peristiwa Pilpres 2019 jika tak ingin kedamaian terkoyak. Siapapun harus berusaha tidak mengulangi cara berpolitik di Pilpres 2019. Dan seharusnya masyarakat negeri ini yang cinta kedamaian dan kerukunan serta persaudaraan menjaga serta mencegah siapapun yang ingin mengulang langgam politik bernuansa konflik seperti Pilpres 2019.