Konsep tajdid bukanlah sebuah konsep baru dalam pemahaman keagamaan kita, yaitu Islam. Bahkan lebih jauh lagi, konsep tajdid atau pembaruan juga dibincangkan dalam konteks-konteks lain semisal sosial, ekonomi, politik, dll. Dalam tulisan ini, penulis ingin menengahkan konsep tajdid yang diperbincangkan dalam ranah agama, khususnya Islam.
Dalam agama Islam, banyak ulama yang telah membincangkan wacana tajdid ini, mulai dari abad 19 seperti Muhammad Abduh, Qasiim Amin, Jamaluddin al-Afghani dll. Tahun 2020 awal terjadi dialog mengenai tajdid antara Syaikh Azhar dan Rektor Univ Kairo. Bahkan diksi tajdid itu sendiri telah ada sejak zaman nabi Muhammad Saw, sebagaimana telah dijelaskan dalam salah satu hadis. Tajdid terus menjadi perbincangan hangat dari masa ke masa, dalam rangka menemukan sebuah formulasi yang tepat dalam memperbarui agama Islam.
Banyak perdebatan yang tak kunjung usai terkait pendekatan yang akan digunakan dalam memperbarui tafsir agama. Satu kubu ingin mempertahankan dengan sungguh-sungguh tradisi yang telah diwariskan oleh generasi awal, ada pula segolongan yang ingin merombak tradisi tersebut untuk sebuah makna baru yang dianggap lebih segar dan progresif.
Pentingnya Menyadari Sejarah Eksistensi
Sebagai seorang muslim, kita tentu hidup dalam tradisi keilmuan Islam yang menyehari, semisal pemahaman kita terhadap Al-Qur’an, pemahaman fikih, etika atau moral qur’ani, teologi, serta hal-hal fundamental lainnya. Modus pemahaman yang dimiliki manusia seperti yang diuangkapkan oleh filsuf Jerman yaitu Hans George Gadamer, adalah sebuah pertemuan pra-pemahaman kita dengan sebuah teks, baik itu tulisan maupun realitas kehidupan.
Bagi dia, manusia tidak akan mampu untuk terlepas dari sebuah tradisi yang mengitarinya. Keterputusan manusia atas sebuah tradisi, bagi Gadamer merupakan hal yang sangat mustahil dilakukan. Seolah melihat sebuah sejarah dan realitas tertentu dengan kacamata elang dari langit, dan berusaha mengevaluasi hal-hal tersebut. Padahal manusia sendiri telah terbentuk oleh sejarah dan waktu itu sendiri.
Begitu juga seorang muslim yang telah memilki kesejarahan atas dirinya, tentu tidak akan mungkin mengevaluasi dan bertindak seolah objektif terhadap beberapa perkara dalam Islam. Contohnya saat ada orang yang ingin mengatasi keruhnya permasalahan masalah Sunni-Syi’ah seolah melihat peristiwa tersebut secara objektif, padahal seorang penafsir telah terbentuk oleh sejarah yang mengitari dia.
Menilik hal tersebut, bukankah sebuah kesalahan dan kemustahilan apa yang telah dilakukan oleh beberapa cendekiawan modern yang seolah bertindak objektif terhadap beberapa perkara dalam Islam. Bertindak seperti mata elang yang melihat segala hal dari langit, dan mengira bahwa tradisi yang telah mengitari muslim mayoritas adalah hal yang perlu direhabilitasi.
Tradisi Sebagai Keniscayaan Mendekati Makna Islam
Sebagaimana telah dijelaskan tadi, bahwa manusia dari keterlemparannya (faktisitas) di dunia, tentu akan selalu diitari oleh tradisi. Hal itu memiliki pengaruh terhadap pemahaman tajdid yang diupayakan oleh cendekiawan modern ini, mereka menganggap bahwa tradisi para ulama klasik itu perlu diatasi, dan kita sebagai masyarakat modern pasti mampu untuk bertindak objektif melihat makna dari sumber otoritatif kita yaitu Al-Qur’an dan sunah.
Bagi seorang Gadamer, tindakan yang ditunjukan oleh seorang cendekiawan tersebut bukanlah upaya merehabilitasi sebuah tradisi, akan tetapi adalah upaya memaknai penggunaan sebuah tradisi baru. Maka ada yang luput dari apa yang diupayakan oleh seorang cendekia modern ini, tentang anggapannya bahwa tradisi itu harus diatasi atau direhabilitasi.
Tradisi baru yang dilakukan cendekia muslim kita yang mengira akan melawan tradisi yang telah ber-ratus tahun mengitari pemahaman muslim mayoritas, merupakan sebuah tradisi yang sebetulnya sama dengan tradisi yang telah ada dari para Ulama klasik kita. Karena dalam tradisi baru yang dikembangkan oleh cendekia modern untuk mendekati makna Islam itu juga terdapat di dalamnya sebuah tradisi.
Tradisi dan Realita Modern; Sebuah Tajdid yang Ideal
Kehidupan kita di era modern ini merupakan sebuah teks dan realita yang sedang terjadi, sehingga hal itu perlu mendapatkan sebuah tafsir agama baru yang lebih dekat dengan kehidupan modern kita. Mendekati makna agama yang agung itu bukan hanya merupakan tugas intelektual semata, namun juga hadir di dalam diri penafsir dzauq yang mendalam atas kesehariannya bersama agama tersebut.
Wacana tajdid yang terus diupayakan oleh para pemikir muslim dari dulu hingga kini, bukanlah sebuah upaya mendekati makna Al-Qur’an dan sunah dengan cara mengobjketifikasi teks tersebut. Namun bagi Gadamer, tradisi adalah kondisi pemahaman yang akan selalu dimiliki oleh seorang penafsir.
Pembaruan yang memiliki makna ideal adalah pembaruan yang tidak lupa atas sejarah pengaruh dan eksistensi manusia sebagai seorang muslim. Tradisi yang telah mewarnai pemahaman Islam ratusan tahun, bukanlah sebuah hambatan untuk memahami modernitas kita saat ini. Bekal tradisi yang telah kita punya itu, jika dipertemukan dengan realitas modern ini, akan menemukan sebuah makna baru menuju pembaruan yang tepat dalam agama Islam.
Pertemuan horizon antara tradisi dan realitas kehidupan itu merupakan sebuah modus tajdid yang tepat, karena dengan itulah pemahaman keagamaan kita akan terus mengalir dan sesuai dengan adigium bahwa “al-Islam shalihun likulli makan wa zaman”.
Editor: Yahya