Akademik- Dulu, saat masih muda, saya merasa pikiran masih fresh, energi meluap-luap. Saya kuliah di UIN sekaligus UGM. Saya lakoni kuliah bolak-balik antara dua kampus itu dengan bis kota. Semester akhir, saya baru dipinjami orang tua Honda Astrea Star. Dua kampus itu, saya lakoni dengan senang. Saya tamat dengan ijasah Cumlaude.
Selain kuliah, saya terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa era 1998-2003. Sebagai aktifis jalanan. Dunia gerakan saya tekuni dengan serius. Ketua Umum Cabang (tingkat kabupaten) adalah karir tertinggi saya di gerakan mahasiswa itu.
Satu lagi. Saya menikah muda. Ketika wisuda sarjana, saya telah menggendong seorang putri berusia 1 tahun.
Lengkap sudah.
Energi muda membuncah.
Sekarang.
Usia makin beranjak, tentu tidak sesegar dulu. Urusan makin bejibun. Tidak lagi berpikir satu. Takdir alam yang tidak terhindarkan. Saya perlu ubah siasat atau strategi: menyiasati keadaan, as part of survival of the fittest.
Bagaimana?
Saya menyadari, mahasiswa itu artinya “maha segalanya”; maha bodoh, maha miskin, dan maha pembelajar, dan maha apa saja. Ini semacam kesadaran dan sikap diri yang fundamental. Saya harus mematrikan dalam ruang batin dan laku hidup.
Kedua, saya juga belajar bagaimana bekerja secara efektif dan efisien. Ini yang rumit. Sebagai manusia Jawa-Islam, saya tidak dibesarkan dalam kultur itu. Apalagi, pendidikan kita belum menerapkan doksa “efektif” dan “efisien” dalam habitus pendidikan kita, baik formal maupun informal.
Saya dipaksa untuk bekerja efektif dan efisien. Ini tidak mudah, sekali lagi. Sebagai mahasiswa di Eropa, dalam tiga tahun, saya harus mengelola waktu sendiri. Tidak ada kerjaan, selain topik riset disertasi yang harus dikerjakan. Tidak ada tugas lain, selain disertasi kita. Dua puluh empat jam dalam tujuh hari, siang, malam, pikiran saya dipaksa untuk memikirkannya.
***
Hanya kadang, undangan nulis artikel dan bahkan buku menyelinap masuk. Saya akan sanggupi, jika itu masuk dalam strategi “kill two birds with one stone”, membunuh dua burung dengan satu batu, atau “sekali berenang dua pulau terlampaui”. Ya, saya akan menulis sesuai atau tidak jauh dari tema disertasi saya.
Seringkali, pikiran kita mentok, mentok sementok-mentoknya. Bosan sebosan-bosannya. Terperangkap dalam gulita kesendirian, ketidakmenentuan. Saya sendiri kadang heran, mengapa saya harus memikirkan satu hal, satu topik, dalam rentang waktu lama. Sebuah kegilaan intelektual! Dunia akademik dan intelektual memang sebuah dunia sepi, sunyi, soliter, dan gila!
Jika kita tidak tahu bagimana keluar dari lingkaran itu, depresi akut bahkan keinginan bunuh diri bisa menghinggap. Kampus-kampus besar di dunia ini sering diwarnai berita mahasiswanya bunuh diri. Kita musti bisa keluar dari kementokan ini. Masing-masing punya cara. Yang terpenting, kewarasan tidak meninggalkan akal budi dan nurani diri.
Di Eropa, seorang profesor memegang peran krusial dalam karir sekolah dan akademik kita. Karena itu, kadang kita musti menjadi mahasiswa akademik yang sami’na wa atha’na. Petuah-petuah guru pembimbing laiknya seorang mursyid. Kritik dan masukannya mesti diterima dengan lapang dan senang. Kita bisa mendebatnya, selama kita punya argumen yang kuat. Jika tidak, sudahlah. Bacaan dan argumen perlu diperbaiki dan direvisi. Kita musti tahan banting.
Wajar memang, seorang murid dan salik doktoral akan digelari sebuah julukan terhormat “doktor filosof”, philosophy of doctor (Ph.D). Ini reward saja dari perjuangan dan keberhasilannya menaklukkan sekaligus memenangkan fase-fase ini; menjaga kewarasan intelektual, spiritual, dan manajerial. Untuk mereka, Syafiq Hasyim, Ahmad Najib Burhani, Mujiburrahman Al-Banjari, Hilman Latief, Najib Kailani, Alex Arifianto, Sunarwoto Saja berjuta tahniah dan takzim saya haturkan.
Akhirnya, Amina Ladada, kawan saya berbisik, “Mas, jika Anda bisa finish di titik akhir dengan baik, Anda berarti menjadi ahli strategi dan manajemen survival of the fittest. Semangat!”
Sebuah mantra pemberi energi.
Editor: Yahya FR