Untuk memahami maksud dan makna ayat-ayat Al-Qur’an, dibutuhkan ilmu-ilmu khusus, di antaranya adalah Ilmu Nahwu, Sharaf, Manthiq, Qira’ah, dan beberapa cabang ilmu lain yang masuk dalam cakupan ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumut Tafsir. Salah satu topik pembahasan yang diulas dalam ‘Ulumul Qur’an adalah tema seputar asbabun nuzul.
Bagi yang belum tau, asbabun nuzul ini berasal dari kosakata bahasa Arab yang tersusun dari kata asbab dan nuzul. Asbab adalah bentuk jamak/plural dari kata sabab yang artinya “penyebab” dan kata nuzul yang berarti turun. Secara etimologi, asbabun nuzul bisa diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “sebab-sebab turun”.
Pendapat Beberapa Pakar Tafsir Terhadap Asbabun Nuzul
Secara istilah, salah satu ulama pakar tafsir Al-Qur’an, Manna’ Khalil al-Qaththan dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, mengatakan bahwa asbabun nuzul adalah hal-hal tertentu yang mengakibatkan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an untuk memberikan penjelasan hukum atas suatu peristiwa atau mengajukan pertanyaan terhadap sebuah kejadian.
Pakar ‘Ulumul Qur’an yang lain, Subhi al-Shalih dalam bukunya yang memiliki judul yang sama dengan buku Manna’ Khalil Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an , berpendapat bahwasannya asbabun nuzul adalah sesuatu yang menjadi penyebab diturunkannya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an, menyodorkan jawaban atas sebab itu, atau menerangkan penyebab hukum dari sebuah persitiwa yang terjadi.
Dari penjelasan kedua pakar tafsir di atas, bisa kita simpulkan bahwasannya ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa turun karena adanya suatu peristiwa di bumi ini yang perlu diberikan respon, atau karena terdapat pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang hidup di masa Nabi SAW yang perlu secara langsung dijawab oleh Al-Qur’an.
Penyebab-penyebab turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul) terdiri dari beberapa unsur, yakni; adanya suatu peristiwa atau kejadian, adanya pelaku dalam kejadian itu, adanya tempat kejadian, serta adanya waktu peristiwa tersebut.
Pentingnya Mengetahui Asbab Nuzul dalam Memahami Ayat Al-Qur’an
“Mengetahui penyebab turunnya Al-Qur’an, bisa membantu memahami ayat Al-Qur’an, karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (musabbab)” . Begitulah kata Ibnu Taymiyah yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
Bahkan Al-Wahidi, pakar asbabun nuzul, lebih lantang lagi dalam menekankan pentingnya mengetahui asbabun nuzul sebelum memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Ia mengatakan dalam bukunya Asbab Nuzul Al-Qur’an , “Tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya!”.
Tak Tahu Asbabun Nuzul, Dua Sahabat Nabi ini Salah Tafsirkan Al-Qur’an!
Jalaluddin al-Suyuthi, pakar ‘Ulumul Qur’an, dalam bukunya Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, memberikan contoh akan pentingnya memahami asbabun nuzul.
Ia memberikan ilustrasi kisah sahabat Nabi SAW, yaitu Qudamah ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’addi Kariba, yang salah dalam menafsirkan Al-Qur’an surat Al-Maidah (5): 93 yang berbunyi:
لَـيۡسَ عَلَى الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيۡمَا طَعِمُوۡۤا اِذَا مَا اتَّقَوا وَّاٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّاٰمَنُوۡا ثُمَّ اتَّقَوا وَّاَحۡسَنُوۡا ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Karena hanya memahami ayat di atas secara tekstual saja tanpa mengetahui asbabun nuzulnya, kedua sahabat nabi itu menghalalkan minuman keras (khamr) bagi orang-orang yang tetap beriman, bertakwa, dan berbuat kebajikan. Padahal, jika mereka mengetahui asbabun nuzulnya, pastilah mereka tidak menafsirkan seperti itu.
Asbabun nuzul dari ayat di atas, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i, adalah karena adanya pertanyaan yang diutarakan oleh orang-orang yang mempertanyakan nasib orang-orang beriman yang terbunuh ketika berperang di jalan Allah, sedangkan mereka dahulunya pernah bahkan sering sekali meminum khamr.
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa larangan minum khamr itu tak langsung muncul pada awal datangnya Islam. Pada awal datangnya Islam, khamr sama sekali tak ada larangan untuk meminumnya. Hingga kemudian turunlah beberapa ayat Al-Qur;an secara bertahap untuk mengharamkan khamr, yaitu: QS. An-Nahl: 67, QS. Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa: 43, dan puncak pelarangannya adalah termaktub dalam QS. Al-Maidah: 90-91.
Maka ketika khamr sudah diharamkan, beberapa sahabat Nabi bertanya kepada Rasulullah tentang nasib orang-orang beriman yang gugur di jalan Allah, sementara mereka pernah meminum minuman keras. Maka, untuk menjawab pertanyaan ini, turunlah QS. Al-Maidah: 93 tadi.
Jika asbabun nuzul sudah betul-betul dipahami, maka tak akan muncul kekeliruan dan kesalahpahaman dalam menafsirkan atau memaknai ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang dialami oleh Qudamah ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’addi Kariba.