Bahasa itu Netral
Pada dasarnya, bahasa itu bersifat netral. Positif atau negatifnya suatu bahasa ditentukan oleh manusia. Sebab, manusia memegang kendali penuh atas pemberian makna terhadap suatu bahasa. Ibarat sebuah pisau, ia tak akan memberikan manfaat apa-apa selama tidak digunakan.
Di sini, ia bersifat netral. Yang membuatnya berdampak baik atau buruk adalah manusia. Jika ia digunakan oleh pembunuh, maka ia akan berdampak buruk. Jika ia digunakan oleh seorang koki, maka ia akan berdampak baik.
Saya kira begitupun dengan kata “takhayul”. Kata ini pada dasarnya juga netral. Yang membuatnya menjadi buruk adalah tafsir manusia atasnya. “Kata itu netral. Manusia yang membuatnya memihak.”, begitu kata seorang pakar bahasa. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pemaknaan yang negatif terhadap “takhayul”, maka saya ingin mengajukan makna lain sebagai pertimbangan bagi pembaca yang budiman.
Masyarakat Indonesia dan Takhayul
Kesan apa yang biasa kita dapatkan ketika mendengar kata “takhayul”? Saya kira setiap orang memiliki kesannya masing-masing. Akan tetapi secara umum, dapat dikatakan bahwa kesan yang kita dapatkan adalah negatif.
Kata ini dianggap menggambarkan dunia yang kuno, terbelakang, dan sudah lapuk ditelan zaman. Apalagi dengan manusia yang semakin modern dan berpikir rasional. Orang-orang yang masih memiliki kepercayaan terhadap takhayul dianggap tidak pantas lagi hidup di abad modern.
Ali Nurdin mengatakan bahwa salah satu masyarakat yang belum bisa lepas sepenuhnya dari kepercayaan terhadap takhayul adalah masyarakat Indonesia. Hal itu ia simpulkan setelah melakukan penelitian di Lamongan, Jawa Timur yang notabenenya adalah basis dari organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Menurutnya, kehadiran dua organisasi itu tidak memberikan perubahan apa-apa terhadap pola pikir masyarakat setempat. Nyatanya, masyarakat setempat masih percaya bahwa orang pintar atau dukun adalah orang yang bisa membantu seluruh keinginan, tujuan dan harapan mereka (Cetryn Tatiana, Titin Suprihatin: 2020, hal. 174).
Selain mempercayai dukun sebagai orang yang bisa mengabulkan segala harapan dan keinginan, hal lain yang juga ditengarai sebagai kepercayaan terhadap takhayul adalah percaya bahwa suatu benda dapat memberikan keberuntungan bagi dirinya.
Orang-orang langsung lazim menyebutnya sebagai “jimat”. Kehadiran “jimat” tersebut akan sangat membantu. Jimat itu biasanya digunakan sebagai pegangan atau alat jaga-jaga agar selamat ketika merantau, dan juga biasanya digunakan agar mudah jika mendekati seorang wanita.
Beberapa Perilaku Takhayul
Dalam masyarakat Rembang, Jawa Tengah juga misalnya. Menurut hasil sebuah penelitian, di sana masih sering terdapat praktek kedukunan kejawen yang sering membuat sesajen untuk melakukan kegiatan tolak bala. Mereka melakukan itu semua agar terhindar segala bentuk musibah. Mereka percaya bahwa dengan memberikan sesajen itu, mereka akan mampu mencegah terjadinya bencana.
Bukan hanya masyarakat desa yang masih tradisional yang percaya terhadap takhayul, orang besar dan orang kota pun juga ada yang masih mempercayai hal semacam itu. Salah satunya adalah Ir. Soekarno, Presiden RI pertama.
Sebagai seorang muslim, Soekarno ternyata pernah memiliki sebuah cincin yang ia yakini selalu memberikan kekuatan terhadap dirinya dan mampu membawanya pada keberuntungan dan memberikan keselamatan bagi dirinya. Kepercayaan itu baru berubah setelah ia diasingkan di Flores.
Pengertian Takhayul
Jika kita merujuk pada beberapa contoh takhayul di atas, maka sudah barang tentu kita akan menolak takhayul. Sebab, sebagai seorang yang beragama Islam, kita memiliki keyakinan bahwa satu-satunya yang dapat dan berhak memberikan keberuntungan dan kekuatan adalah Allah.
Begitupun dengan menolak keburukan atau bencana. Kita tidak boleh meminta pencegahan bencana kepada roh-roh halus. Kita hanya boleh meminta itu semua kepada Allah. Kapan kita meminta kepada selain Allah, maka saat itu juga kita terjatuh pada tindakan syirik. Dan syirik adalah dosa besar dalam agama.
Akan tetapi. takhayul bukan hanya tentang kepercayaan terhadap roh-roh halus atau benda-benda yang dianggap dapat memberikan keberuntungan. Terdapat makna lain yang memiliki makna positif dan progresif. Mari kita buka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Di sana, kita akan menemukan dua definisi dari takhayul: pertama, sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka; kedua, kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.
Definisi takahyul yang pertama paralel atau senafas dengan definisi takhayul dalam bahasa Arab. Takhayul dalam bahasa Arab berarti rekaan, persangkaan, dan khayalan. Takhayul berasal dari kata “khayal” yang berarti apa yang tergambar pada seseorang mengenai seseorang mengenai suatu hal baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Sedangkan menurut istilah, takhayul adalah kepercayaan terhadap hal ghaib. (Mauliana: 2018)
Rekonstruksi Untuk Memajukan Peradaban
Kalau kita sepakat bahwa takhayul adalah apa yang tergambar pada pikiran seseorang dan kepercayaan yang ghaib (tidak nyata), maka ingatlah bahwa manusia modern juga percaya pada “takhayul” jenis lain. Bahkan tanpa disadari, mereka sering memanfaatkan kepercayaan mereka terhadap takhayul itu untuk membangun peradaban.
Apakah “takhayul” yang dipercayai oleh manusia modern itu? Ia adalah impian, masa depan dan khayalan tentang masa depan. Siapa yang ingin menyangsikan bahwa peradaban kita sepenuhnya dibangun berawal dari impian tentang masa depan?
Kalau bukan karena mimpi seorang Habibie, Indonesia mungkin tak akan pernah memiliki anak bangsa yang mampu membuat pesawat. Kalau bukan karena mimpi Soekarno, mungkin kita masyarakat Indonesia tak akan pernah merdeka.
Begitupun dengan kejayaan Islam. Kalau bukan karena mimpi dan cita-cita seorang Muhammad, masyarakat Arab tidak akan bisa seperti sekarang. Mereka akan tetap berada pada zaman dan tindakan-tindakan orang Jahiliyah.
Kalau bukan karena mimpi seorang Harun Ar-Rasyid, umat Islam mungkin tidak akan pernah mengalami The Golden Age (masa keemasan) yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang mentereng seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali.
Hampir semua peradaban-peradaban besar diawali pada kepercayaan-kepercayaan terhadap takhayul atau pada hal-hal yang tidak nyata. Maka dari itu, percaya pada takhayul yang saya maksud di sini adalah keharusan. Sebab ialah yang menjadi corong dalam membangun dan memajukan suatu peradaban.
Takhayul berupa impian dan cita-cita selalu mampu menggerakkan seseorang pada dunia yang maju dan sentosa. Dan itulah yang dibutuhkan oleh umat Islam sekarang. Keberanian bermimpi dan mewujudukannya di dalam dunia nyata.
Editor: Yahya FR