Tasawuf

Tanpa Renungan, Agama Tak Lagi Berarti Apa-Apa

5 Mins read

Manusia yang Luput Merenung

Pernahkah Anda sejenak meletakkan segala kesibukan? Meletakkan segala kewajiban? Kemudian, mencoba menikmati kenyataan. Kenyataan, atau realitas, baik natural maupun sosial yang mengelilingi Anda.

Tampaknya, tak banyak orang yang merasa perlu melakukan renungan semacam itu. Jangankan merenungkan situasi sekeliling. Nafas yang tiap saat dihisap dan dihembus, pun luput dari perhatian kita.

Begitulah memang. Manusia-manusia Indonesia hari ini adalah manusia yang luput dari permenungan. Sebab, permenungan tak menjanjikan uang dan harta yang berlimpah. Kita terbiasa berpikir bahwa hidup adalah kompetisi. Jika tak menjadi pemenang, maka akan jadi pecundang. Di keluarga, Anda berkompetisi. Di sekolah, juga. Di kantor, apalagi. Bahkan dengan tetangga, juga sama.

Agama adalah Renungan

Saya khawatir, jika hidup ini kita anggap sebuah kompetisi, itu semua akan membuat kita lupa dan lalai pada asal dan tujuan hidup yang sejati. Tapi, tentang hidup adalah kompetisi ini, tak bisa kita salahkan diri kita selaku individu saja. Tengoklah negara ini. Setiap hari kita rajin mengukur; sudah di peringkat berapa negara kita. Bisa dalam hal ranking pendidikan, ranking kemakmuran, dan ranking kekayaan. Artinya, sejak dari individu warganya, hingga watak negaranya, semua serba kompetisi.

Baiklah, kita duduk sejenak. Coba letakkan sebentar nafsu untuk berkompetisi itu. Coba lepaskan dari pikiran, nafsu untuk menjadi yang terbaik itu. Sekarang, coba kita masuk ke sebuah dunia lain. Dunia renungan. Sebuah alam yang berada dalam akal dan hati kita.

Dahulu kala, nenek moyang kita, homo sapiens pertama, rela mendaki bukit-bukit cadas. Apa yang mereka cari? Gua (cave). Mereka mencari gua, pintu masuk menuju alam yang lebih bermakna bagi kehidupan.

Bagi Adam dan Hawa edisi pertama, gua bukanlah rumah. Mereka tak menetap di sana. Gua adalah sanctuary, tempat suci. Pintu menuju ruang alam gaib. Insting untuk menuju dunia yang lebih dalam ini, sudah tertanam dalam DNA kita semua.

***

Itulah bentuk agama yang paling mula-mula. Sampai hari ini, tak pernah berubah. Sebagaimana sejak dahulu homo sapiens itu berbicara secara lugas dan fleksibel hingga hari ini; begitu pula homo sapiens sejak dahulu beragama, hingga hari ini.

Baca Juga  Shams Tabrizi: Manusia Wajib Mengenal Dirinya Sendiri

Karena kita berpikir, merenung, dan karena kita punya akal; maka kita pun beragama. Hanya karena akal itulah, spesies ini mampu sampai pada renungan terhadap dunia yang lebih dalam, dan makna hidup yang juga lebih dalam.

Maka, agama adalah hasil permenungan. Para Nabi yang kita muliakan, pada dasarnya adalah manusia-manusia yang mampu menggunakan fakultas rasionalnya hingga tingkat yang paling tinggi.

Contoh: Muhammad Saw. Sebelum resmi memperoleh wahyu, Muhammad bertahun-tahun menjalankan laku tirakat yang ketat. Puasa, kontemplasi, dan meditasi di Gua Hira. Seluruh realitas, baik sosial maupun natural, menjadi objek renungannya.

Jika Anda orang Muslim, dan rajin membaca Al-Quran, dan paham dengan apa yang Anda baca; maka Anda akan mengerti apa yang saya maksud dengan agama adalah renungan ini. Tak secuil ayat pun dalam kitab dengan tingkat balaghah yang sangat tinggi ini, yang tidak menantang pikiran Anda memasuki dunia permenungan. Kitab ini menyuruh Anda melihat langit, bumi, binatang, gunung, lautan, dan diri Anda sendiri; untuk mengantar Anda pada pintu gerbang penghayatan hidup yang lebih sejati.

Agama Hari ini Mengalami Penyempitan

Saya tak berbicara soal das sein vis a vis das sollen. Jangan salah paham. Saya tak bermaksud mengatakan: “seharusnya agama adalah renungan, namun kenyataannya tidak dilaksanakan begitu.” Bukan. Bukan itu maksud saya. Agama selamanya adalah renungan. Dan renungan, karakter utamanya adalah keluasan dan keleluasaan. Sementara agama hari ini sudah mengalami penyempitan. Artinya, agama tak lagi menjadi agama. Sebab, ia justru menyempitkan hidup manusia.

Sama seperti kacamata yang sudah kehilangan fungsinya untuk menjernihkan penglihatan Anda. Tak ada gunanya lagi. Begitu pula agama. Jika ia tak lagi punya fungsi menjernihkan pikiran, meluaskan pandangan, dan memperdalam renungan; maka, tak ada gunanya lagi. Tetap bisa dipakai. Tapi dipakai bukan untuk tujuan sejatinya. Dipakai justru dalam upaya menyuburkan konflik dan perpecahan.

Para pendiri agama seperti Muhammad, Yesus, Musa, Konfusius, Buddha, dan Zoroaster – untuk menyebut beberapa nama saja –  adalah manusia-manusia yang karena renungan mendalamnya atas realitas, akhirnya menyerukan supaya kita mengangkat derajat semua orang.

Baca Juga  Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

Mereka berseru bahwa kebaikan adalah jalan hidup yang benar. Mereka mengajarkan bahwa egoisme pribadi maupun kelompok harus ditinggalkan. Mereka mengajarkan kita berbagi dan berempati. Mereka mengajarkan Anda soal cinta.

***

Semua itu adalah hasil dari pemahaman yang luas dan mendalam tentang hakikat dan harkat martabat manusia. Islam menyebut bahwa kita semua adalah Bani Adam; anak dan cucu Adam, manusia pertama. Menurut Al-Quran, semua individu di muka bumi, mau dia itu bangsa China, Arab, ataupun Melayu, adalah khalifah Allah di muka bumi. Artinya, perwakilan, mandataris Tuhan, untuk memakmurkan bumi; bukan merusaknya.

Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw menangis di waktu subuh. Bilal, muadzin Nabi, bertanya padanya. “Wahai utusan Allah, apa yang membuatmu sedih?” Apa jawab Nabi? Muhammad menjawab: “Sedih rasanya melihat umat ini tak serius menggubris sebuah ayat yang mendalam sekali artinya bagi kehidupan.” Bilal pun bertanya, “ayat yang mana, wahai utusan Allah?” Apa jawab Nabi? Muhammad bersabda: “ayat ini wahai Bilal.” Nabi pun membacakannya:

“Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi, dan gonta-gantinya malam dan siang, benar-benar ada tanda-tanda luar biasa bagi orang-orang yang mendalam renungannya. (Siapa orang yang mendalam renungannya?) Mereka adalah, orang yang ingat akan Allah, meski dalam keadaan berdiri, duduk, atau pun baring-baring. Lalu mereka selalu bertafakkur memikirkan bagaimana langit dan bumi ini tercipta. (Karena takjub, mereka pun berkata) Ya Tuhan kami, tak Kau cipta ini semua dengan omong kosong. Maha suci Kau. Selamatkan kami dari pedihnya hukuman neraka.” (Ali Imran, 190-191).

Agama yang Menyelamatkan

Melalui renungannya, manusia bisa sampai pada ketundukan dan kepasrahan diri kepada Allah, Tuhan satu-satunya. Jika Anda membaca tulisan saya ini, dan Anda bukan seorang Muslim, maka ketahuilah satu hal: Allah adalah nama, sebutan, berbahasa Arab, bagi Tuhan yang satu-satunya. Anda tak perlu alergi, dan mengira Tuhannya umat Islam itu berbeda dari Tuhan yang disembah seluruh makhluk di alam semesta. Hanya ada satu Tuhan, pencipta Anda, saya, dan kita semua. Apa pun agama, bangsa, dan negara Anda.

Melalui renungan inilah, kita sampai pada agama. Lalu, agama itu pun muncul, dibangun di atas fondasi-fondasi pemikiran eksistensial yang mendalam. Pesan-pesannya adalah pesan pengingat bagi spesies satu-satunya yang cerdas di planet ini. Pengingat terhadap apa? Pengingat terhadap asal-usul, makna hidup, dan tujuan hidup makhluk fana ini. Agama yang demikian adalah agama yang menyelamatkan manusia supaya tak terjebak ke dalam persepsi keliru tentang hakikat eksistensial dirinya.

Baca Juga  Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Sebab agama itu menyelamatkan, maka untuk itu pula para Nabi dan para filsuf (klasik) sangat menekankan usaha-usaha pedagogi untuk memahami pesan-pesan agama. Kitab-kitab suci adalah media paling utama dalam usaha pedagogi tersebut.

Di dalam kitab-kitab tersebut, apa yang pernah Muhammad alami, misalnya, terekam dengan baik. Rekaman tragedi dan berbagai gejolak hidup Muhammad, dan orang-orang sekitarnya, itulah yang menjadi bahan utama pendidikan dan renungan umat yang mengimaninya.

Pada mulanya, seperti itulah agama. Ia hadir untuk menyelamatkan entitas manusia dari jebakan hidup yang sangat materialistis dan bersifat sementara ini. Agama menyelamatkan homo sapiens, dalam arti, agama memindahkan kesadaran spesies cerdas ini, dari satu posisi, ke posisi yang lain. Dari yang rendah, menuju yang luhur dan tinggi. Dari hidup demi kesenangan duniawi yang singkat, sementara, dan tak selamanya ini; menuju permenungan mendalam akan dunia yang lebih abadi.

***

Bagi umat Islam, bulan suci Ramadhan itu tak lain adalah gua (cave) tempat kita memasuki ruang suci. Ramadhan adalah pintu masuk bagi kita untuk mengisi siang dan malam dengan renungan mendalam. Itulah mengapa Al-Quran dibaca berulang-ulang di bulan suci ini. Yang pertama memulai tradisi tadarusan ini, bukan orang lain; melainkan Muhammad sendiri. Setiap malam di bulan Ramadhan, Jibril datang padanya. Muhammad menyetorkan setiap ayat yang turun padanya. Inilah tadarusan pertama.

Namun perlu dicatat. Perlu diingat poin-poin pada bagian-bagian di atas. Terutama poin bahwa agama adalah renungan. Dengan begitu, setiap bacaan dan tadarusan Anda atas kitab suci Al-Quran, bukanlah bacaan kering yang bahkan tak sampai melewati tenggorokan Anda. Hanya dengan mengingat hakikat fungsi agama sebagai ruang permenungan bagi manusia, maka kita bisa kembali merasakan bahwa agama itu menyelamatkan.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *