Tafsir

Takwil Al-Qur’an: antara Pro dan Kontra

4 Mins read

Dalam kajian Ulumul Qur’an secara garis besar ada dua karakteristik ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar). Menurut Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Ulumul Qur’an menjelaskan definisi yaitu: Ayat-ayat muhkam ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.

Sedangkan, ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Ayat muhkam dan mutasyabih semua berasal dari Allah Swt. Hikmah dari ayat muhkam (jelas) menegaskan bahwa Islam tidak hanya agama untuk kaum intelektual, namun juga masyarakat awam. Fungsi ayat-ayat muhkam (jelas) adalah untuk memberikan penjelasan yang mudah bagi siapa saja yang ingin mempelajari Al-Qur’an.

Sedangkan hikmah dari ayat mutasyabih (samar) adalah mendorong manusia untuk menggunakan akalnya untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya.

Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam (samar) niscaya tidak memerlukan argumen-argumen akal, sehingga eksistensi akal terabaikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wawasan Al-Qur’an menjangkau kalangan masyarakat awam sampai dengan masyarakat intelektual.

Definisi Takwil

Untuk memahami Al-Qur’an, butuh analisa yang mendalam. Salah satu cara memahami Al-Qur’an adalah dengan metode Takwil. Menurut Ibnu Rusyd, takwil adalah memalingkan makna suatu lafaz dari makna yang sebenarnya (hakiki) ke makna metaforik (majazi).

Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa takwil adalah mengungkap makna yang tersembunyi. Sekilas antara tafsir dan takwil seperti sama, namun jika kita pahami lebih lanjut, terdapat perbedaan mendasar antara kedua ini.

Dasar dari tafsir adalah penjelasan yang berlandaskan riwayat (konteks), atau sering disebut tafsir bil ma’tsur. Sedangkan takwil adalah penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an yang berlandasakan akal (ratio).

Baca Juga  Kesetaraan Gender itu Fitrah Manusia

Takwil merupakan ijtihad seseorang dalam memahami makna yang tersirat di balik Al-Qur’an, metode takwil juga dikenal dengani istilah tafsir bil ra’yi. Dasar dari takwil adalah penjelasan berdasarkan aspek tata bahasa (teks), lalu diinterpretasikan guna menemukan makna yang tersirat di dalamnya.

Tentunya, takwil tidak bisa sembarangan. Ada beberapa ketentuan dalam mentakwil Al-Qur’an. Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010) seorang pakar hermeneutika Al-Qur’an mengatakan bahwa takwil yang tidak berdasarkan kepada tafsir (konteks) adalah takwil tertolak lagi buruk, karena istinbath tidak sekadar berdasarkan perkiraan, sekalipun tujuannya baik.

Dalam corak penafsiran ini, kita perlu memandang ke belakang mengacu kepada konteks ayat-ayat Al-Qur’an. Di sisi lain, kita juga perlu memandang ke depan dengan membuka jalan baru terhadap ijtihad pemahaman Al-Qur’an.

Dalam sejarah keilmuan Islam, persoalan takwil termasuk hal yang kontroversial. Bahkan perbedaan pendapat yang tajam. Masalah takwil menyebabkan konflik akidah sampai dengan sekarang.

Dalam hal ini, penulis mengkhususkan persoalan ayat yang berkenaan tentang arsy (singgasana) dan yadullah (tangan Allah). Setidaknya terkait masalah takwil, umat Islam terbagi menjadi dua pandangan.

Pandangan Pro Takwil

Jika penafsirkan memberikan pemahaman yang dalam akan konteks sejarah atau riwayat, maka takwil memberikan keluasan yang dalam akan pemahaman makna. Tidak hanya sekadar makna literal tapi juga makna batin yang lebih dalam.

Bagi yang setuju pada konsep takwil, ayat-ayat mutasyabih yang dalam hal ini berkenaan tentang pribadi Allah, tidak dapat dipahami maknanya hanya secara literal, khususnya dalam memahami arsy (singgasana) dan yadullah (tangan Allah).

Secara eksplisit, kata arsy (singgasana) menunjukkan tempat atau keberadaan. Bahkan atas dasar ini, banyak ulama mengatakan Allah itu berada di arsy. Pemahaman semacam ini menimbulkan kerancuan terhadap sifat Tuhan. Karena secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah bergantung kepada tempat.

Baca Juga  Mencumbui Al-Qur’an Tak Cukup Hanya Dibaca

Padahal, arsy sendiri adalah makhluk. Bagaimana mungkin Allah dapat bergantung kepada makhluk, bahkan Allah ada sebelum waktu dan tempat itu ada. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Hadid 57: 3 yang berbunyi,“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Arsy dipahami sebagai makhluk sekaligus tempat bagi Allah, yang menjadi pertanyaan adalah di manakah Allah sebelum arsy itu diciptakan? Karena seluruh makhluk berasal dari ketiadaan. Maka dari itu, arsy tidak dapat kita pahami sebagai lokasi keberadaan Allah, namun bermakna sebagai kekuasaan.

***

Sebagai contoh ketika kita dapati kata: “Joko Widodo duduk di kursi RI 1”. Kalimat tersebut mengandung metafora, maka tidak bisa kita pahami maknanya secara literal. Kalimat ini tidak menunjukkan keberadaan, namun menunjukan kekuasaan Joko Widodo meliputi segenap wilayah RI.

Arsy terlalu kecil untuk ditempati Allah yang Maha Besar lagi Maha Agung. Karena sejatinya, bukan Allah yang berada di arsy namun arsy yang berada di Allah. Begitu pula dengan ayat yang menerangkan tentang yadullah (tangan Allah). Dapat kita lihat dalam QS. Al-Fath 48: 10 yang berbunyi, “Tangan Allah di atas tangan mereka…”.

Ayat ini jika tidak ditakwil malah justru akan mengurangi esensi Tuhan itu sendiri. Memahami ayat ini secara literal berujung kepada tasybih (antromorpisme) yaitu penyerupaan wujud Allah dengan wujud makhluk.

Padahal, Allah sendiri berbeda dari makhluknya. Qurasih Shihab dalam Tafsir Al-Misbah memaknai yadullah (tangan Allah) adalah kekuasaan, kekuatan, dan anugerah-Nya menyertai siapa saja yang berjanji setia kepada Allah.

Al-Quran tidak hanya bersifat lahir namun juga aspek batin. Sehingga diperlukan analisis yang mendalam untuk memaknainya, tentunya semua harus dalam koridor syariat dan konteks Al-Qur’an.

Baca Juga  Konsep Manusia dalam Al-Qur'an

Pandangan Kontra Takwil

Bagi yang tidak setuju, konsep takwil merupakan arogansi dalam memahami makna Al-Qur’an, terutama yang terkait dengan sifat-sifat Allah. Aspek paling luhur dalam agama adalah iman, ayat-ayat musyabih tidak perlu dipahami secara mendalam menggunakan akal, karena Allah terlalu transenden untuk dipahami secara akal manusia.

Terkait masalah arsy dan yadullah, Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Ulumul Qur’an, berpendapat bahwa hakikat arsy itu tidak ada yang mengetahui kecuali Allah sendiri.

Bahkan beliau mengutip perkataan Imam Malik: “Al-Istiwa (bersemayam) sudah diketahui maknanya, bagaimana cara istiwa; itu tidak diketahui, beriman dengannya wajib, bertanya tentang itu bidah”.

Demikian pula halnya dengan yadullah (tangan Allah). Beliau berpendapat bahwa memaknai yadullah (tangan Allah) menjadi al-qudrah (kekuasaan) termasuk takwil yang tercela. Para pentakwil lupa, bahwa manusia juga mempunyai sifat qudrah (kekuasaan), tapi tentunya kekuasaan manusia itu berbeda dengan kekuasaan Allah. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia…” (QS. Asy-Syura 42: 11).

Hal yang berkenaan dengan sifat Allah harus kita kembalikan kepada Allah. Karena itu berkenaan dengan hakikat diri-Nya dan cara memahami sifat-sifat Allah adalah dengan melepas sifat makhluk dalam diri-Nya.

Avatar
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Agama Islam UM Palangka Raya. Ketua Bidang Organisasi PC IMM Palangka Raya 2019-2020
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds