Oleh: Nafik Mutohirin*
“Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suaraku akan terdengar lebih keras daripada dari atas bumi.” (Dari Penjara ke Penjara, jilid II)
Sorotan matanya begitu tajam; bicaranya lugas, analis, dan kontekstual. Tubuhnya tak begitu tinggi semampai seperti halnya presiden pertama Indonesia, Soekarno yang tampan dan dikelilingi banyak perempuan semasa hidupnya. Namun, ada kesamaan antar keduanya, mereka sama-sama pernah dipuja seperti dewa dan dihujat seperti pemberontak. Cerita keduanya berakhir dengan tragis.
Ibrahim Datuk Tan Malaka tak pernah memiliki kekasih. Ia tak pandai menaklukkan hati perempuan. Bahkan diceritakan, Tan pernah ditolak dua kali dengan perempuan yang sama, Syarifah Nawawi, anak dari guru bahasa Melayunya di Kweekschool di tanah kelahirannya, Bukittinggi.
Siapa yang tak kenal Tan Malaka, revolusioner sejati yang menghabiskan separuh masa hidupnya (1922-1942) untuk lari dari kejaran negara-negara imperialis-kolonial seperti polisi rahasia Jepang. Namanya terhapus oleh sejarah, tak pernah ada dalam deretan nama pahlawan yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Hingga sampai pada orde baru tumbang dan reformasi direnggut, nama Tan Malaka mencuat kembali, dengan gagasan MADILOG (Matrealisme, Dialektika, dan Logika) jiwa-jiwa kritis banyak belajar darinya. Mainstrem ini menjadi sintesis dari perdebatan klasik pemikiran teori sosial di Barat.
Tan adalah seorang yang tak pernah membungkukkan punggungnya untuk negeri penjajah, tak akan mau berdamai dengan para kolonial yang mencuri ketenangan bangsanya. Jauh sebelum Soekarno dan Hatta, konsep negara republik sudah digoreskan oleh tangan Tan dengan karya Naar de Republiek Indonesia. Atas inisiatifnya juga, demonstrasi besar-besaran di lapangan Ikada bergelora menuntut kemerdekaan Indonesia seratus persen. Ia adalah bapak revolusi Indonesia yang terlupakan.
Hampir separuh negara Eropa telah dijejakinya mulai Rangoon Filipina, Singapura, Moskow, Belanda, China, serta banyak negara lainnya. Akan tetapi, gagasan dan ide yang diperjuangkannya tetap bergelora, bahkan menjadi rujukan bagi para nasionalis di Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, dan Adam Malik.
Di mana Tan bertempat selalu ada cerita pergerakan. Apakah dengan mendirikan sekolah, menerbitkan media, atau menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh revolusi dunia. Baginya, bertemu tokoh revolusi Rusia adalah perkara biasa, namun perjumpaan dengan tokoh revolusi besar Asia itu perkara istimewa. Begitu tulis Tan dalam memoarnya Dari Penjara ke Penjara.
Tan, bahkan pernah bertukar pikiran dengan Sun Yat Sen, saat Cina dalam kondisi genting, sedang terjadi tarik menarik antara kekuatan Asing –terutama Amerika, Inggris, serta Jepang- dan para nasionalis seperti Sun yang menginginkan kemerdekaan Republik Cina merdeka, (Seri Buku Tempo; 2010). Tapi, Tan tak seide dengan pesan Sun yang berharap supaya Indonesia bergabung dengan imperialis Jepang karena jelas bagi Tan bahwa kemerdekaan Indonesia harus seratus persen. Hal ini yang kelak menimbulkan pertikaian antara Tan dan Soekarno, yang kemudian berujung pada penahanan Tan.
Tan pernah menjadi utusan Komunis Internasional (Komintren) untuk negara-negara Asia. Suaranya semakin diperhitungkan oleh para tetua komunis saat kongres seluruh Komintren di Moskow. Tan bersuara supaya Komunis di negara-negara muslim hendaknya mengajak Pan-Islamisme di Timur Tengah untuk sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Tan beralasan karena gerakan seperti Serikat Islam (SI) di Indonesia mampu menggertak dan melawan imperialis. Islam, kata Tan telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir.
“Di hadapan Tuhan, saya seorang Muslim. Tapi, manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak setan di antara manusia,” ucap Tan di hadapan para pemimpin komunis seluruh dunia. sontak ucapannya ini mendapatkan gemuruh tepukan tangan seluruh peserta.
Cara pandang demikian, menegaskan bahwa sosok Tan bukanlah seorang marxis-fundamentalis. Jika boleh dikatakan, ia adalah seorang neo-marxis dari Indonesia pada zamannya. Tak secara mentah mengambil buah pikiran Marx yang berujung pada munculnya borjuasi baru, atau bahkan melihat dunia ide dan materi sebagai akhir dari sebuah titik pencarian kebenaran. Sintesis yang dimunculkan Tan lebih bersifat kompherhensif dan kontekstual untuk kondisi Indonesia saat itu. Sebab, revolusi secara radikal mutlak dilakukan.
Ia mampu mensintesiskan dua filsafat Barat antara dialektika Hegel dan materialisme Marx-Engels ke dalam bentuk perubahan dari mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatan yang paling rendah ke paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog.
Ada yang menarik dari gerakan Tan di bumi pertiwi ini selain “aksi massa”. Setelah kembalinya dari perantauan, 1943-an. Tan mendirikan partai Murba dan sekaligus membangun Sekolah Rakyat (SR) untuk anak-anak miskin desa. Di SR, buku yang ditulisnya Madilog menjadi rujukan utama bagi generasi-generasi Tan berikutnya. Namun, sayangnya Tan tak sempat melihat hasil jerih payahnya itu berhasil. Menurut sejarawan Belanda, Harry A. Poeze Tan tertembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri.
*) Penikmat kopi. Tinggal di Malang