Wakaf: Bentuk Perhatian Islam pada Kemanusiaan
Islam yang menaruh perhatian lebih terhadap sisi kemanusiaan dapat dibuktikan dengan banyak hal. Salah satu yang bisa dianggap sebagai hujah adalah wakaf. Hal ini bisa dilihat dari manfaat yang telah dihasilkan oleh sistem wakaf di dalam Islam.
Memang, sisi historis menunjukkan bahwa praktik wakaf ini sudah ada sejak pra-Islam. Meski saat itu tidak dikenal dengan istilah wakaf. Kemudian, diperkenalkan konsepsi ihwal wakaf di masa rasul.
Sebagai contoh, rasul pada tahun ketiga pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah di antaranya: A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah, dan lainnya.
Hal semacam itu berlanjut pada masa Khulafa ar-Rasyidin. Sampai hari ini, kita dapat mengenal tentang konsep wakaf di Indonesia. Dinamika wakaf di Indonesia mengalami dua fase penting. Yaitu, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda yang setelah kemerdekaan diambil alih oleh Kementerian Agama.
Definisi Wakaf
Dalam UU Nomor 41 tahun 2004, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif (orang yang berwakaf) untuk memisahkan atau menyerahkan benda miliknya. Selanjutnya, dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan ibadah atau kesejahteraan lainnya.
Memang definisi yang tertuang dalam UU Nomor 41 tahun 2004 bisa dianggap berbeda dengan apa yang ada dalam fikih Islam. Namun titik diferensial dari apa yang tertuang dalam UU dengan konsepsi dari ulama fikih tidaklah mengubah tujuan dari wakaf itu sendiri.
Patut dicatat, yang paling urgen dari wakaf ini tidak lain adalah manfaat yang akan kita temukan di dalamnya. Manfaat ini yang menjadikan Islam sebagai agama yang sangat melirik isu kemanusiaan. Meski tidak cukup hanya sampai di situ. Sebab di Indonesia, perkembangan wakaf selain sebagai doktrin agama juga mencakup aspek sosial-ekonomis.
Pemanfaatan Tanah Wakaf
Pada mulanya, wakaf hanya terbatas pada beberapa tempat yang menyangkut ibadah, katakanlah tanah untuk masjid. Di sini kemudian muncul problem yang bisa dianggap serius, khususnya bagi pemuka agama.
Karena wakaf, yang berupa tanah utamanya, seringkali diperuntukkan untuk kepentingan-kepentingan religius. Dengan bahasa yang lebih halus, hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Kesalahpahaman atas hal itu yang sekiranya dan secepatnya harus disadarkan. Sebab, wakaf tidak hanya berkelindan erat dengan apa yang dianggap sakral dan religius.
Di sisi yang lain, wakaf itu sendiri juga bisa diperuntukkan atas banyak hal. Semisal untuk sekolah dan semacamnya, yang intinya berkohesi dengan praktik sosial non-keagamaan.
Hal ini juga selaras dengan apa yang tertuang di dalam UU Nomor 41 tahun 2004 itu tadi, kesejahteraan lain. Jika kita melirik data yang dipaparkan oleh KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) dapat disimpulkan bahwa masyoritas wakaf hanya untuk masjid.
Dari jumlah tanah wakaf 393.682 lokasi—sebagaimana data dari Sistem Informasi Wakaf Kemenag pada februari 2021—ada sekitar 72,5 persen untuk masjid, 14,3 persen untuk pesantren dan sekolah, 4,4 persen untuk makam, serta 8,7 persen untuk sosial lainnya.
Memanfaatkan Tanah Wakaf untuk Kegiatan Sosial-Kemasyarakatan
Seharusnya yang lebih mendominasi adalah untuk kegiatan sosial lainnya. Untuk persoalan peribadatan juga sudah bisa dibilang overdosis. Sehingga, hal-hal lain (semisal sekolah dan tempat pendidikan lainnya) kurang mendapat jatah dari tanah wakaf tersebut.
Problem yang tidak kalah serius banyak terjadi di desa-desa atau pedalaman. Karena, beberapa tanah wakaf yang diserahkan kepada lembaga atau yayasan tertentu justru dibiarkan gersang. Contoh, di desa tempat saya tinggal, dua tanah yang dimiliki oleh masjid hanya satu yang digunakan sebagai lahan produktif, satunya dibiarkan menjadi tanah mandul. Hal semacam itu yang juga harus diperhatikan oleh semua pihak yang mengelola wakaf.
Isu dari pengelolan wakaf yang paling mencolok tidak lain adalah rendahnya kualitas nadzir (pengelola) dalam mengembangkan tanah wakaf. Di saat yang bersamaan pula, dalam ranah regulasi dan kelembagaan, masih terbatasnya peran dan dukungan untuk Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dari beberapa hal problematik terkait wakaf, semestinya sudah dicarikan jalan keluar bersama. Supaya, spirit dari wakaf itu sendiri tidak hilang. Bukankah spirit dari wakaf adalah kesejahteraan bersama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari penindasan, baik penindasan secara fisikal maupun penindasan kemiskinan?
Editor: Yahya FR