Tulisan yang didesain Sdr Dr. Nadirsyah Hosen itu dengan sangat bagus telah menggambarkan bagaimana rasa lebaran yang berbeda itu direspons dalam arasy psikologi sosial yang mengalaminya. Izinkan saya untuk menuliskan empat tanggapan penting sebagai berikut:
Pertama, kaedah fikhiyah yang disajikan Sdr. Nadirsyah Hosen itu belum lengkap. Itu masih kurang dua kata. Satu kata diantaranya sangat penting setidaknya dalam perspektif Sdr. Nadirsyah. Mestinya kaedah fikhiyah itu dituliskan dengan kalimat hukmul hakimi ilzamun wa yarfa’ul khilafa. Putusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan.
Kedua, kaedah itu harus dibaca secara keseluruhan. Dalam konteks negara yang berlandaskan hukum putusan pemerintah itu mengikat manakala seluruh perbedaan pendapat dan tafsir terhadap model pengunaan cara lahirnya hilal itu disantuni oleh pemerintah dalam satu aturan yang adil untuk semua.
Ketiga, tidak semua ulama sepakat dengan penggunaan kaedah tersebut di atas. Mazhab Maliki tidak sepakat pemerintah ngatur urusan ibadah warganya. Karena itu, Mazhab Maliki berpandangan kaedah di atas tidak berlaku untuk urusan ibadah.
Keempat, ketika pemerintah belum dapat menyantuni perbedaan pendapat warganya dalam satu undang undang yang mengikat maka pemerintah wajib mewadahi perbedaan itu sebagai bagian dari hak warga negara yang dihargai undang undang dasar 1945.
Dalam bahasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “…biarkan perbedaan pendapat itu terjadi. Saya mengambil manfaat mana yang paling mungkin saya gunakan…”. Karena itu ketika perbedaan pendapat itu belum diikat dalam satu aturan yang menggembirakan semua kewajiban pemerintah adalah menyantuni perbedaan itu. Itulah maslahat buat semua.
Sebab itu, untuk saat ini kaedah yang mengedepan bukan kaedah di atas. Kaedah yang digunakan adalah tasharruful imaami ‘alarra’iyati manuthun bil mashlahati. Tugas pemerintah adalah memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya.
Wallahu A’lam.
Editor: Soleh