Oleh: Abdul Rasyid*
“Bila terlepas dari Tuhan Yang Maha Esa maka Pancasila akan menjadi Pancasalah yang menyesatkan atau membahayakan”
Kasman Singodimedjo
Belakangan ini marak terjadi konflik-konflik sosial-politik yang mengatasnamakan agama. Konflik tersebut bersifat horizontal dan bisa saja menjadi sebuah indikasi tentang kondisi nasional yang tidak stabil. Sentimen berdasar suku, golongan, ras dan agama tidak dapat dipungkiri masih menjadi latar belakang terjadinya konflik kekerasan, sosial, hukum bahkan politik.
Meskipun Indonesia telah menjadi sebuah negara yang ber-Pancasila puluhan tahun lamanya, nyatanya negara ini belum bisa lepas dari gelombang kekerasan dan intoleransi atas nama agama. Baik yang ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas agama, maupun kelompok yang dipandang tidak sepaham dalam satu agama. Fenomena tersbut hingga kini masih menjadi titik kritis persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gagasan Dasar Negara
Gagal memahami sejarahnya bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini dan masa mendatang. Sebab dari sejarahlah kita belajar, agar kita tidak terjatuh pada lubang yang sama.
Ketidakpahaman atau salah kaprah dalam memahami sejarah juga akan mengakibatkan masalah. Pancasila yang semestinya dijadikan sebagai pedoman, penuntun dalam kehidupan di tengah masyarakat Indonesia yang penuh dengan keberagaman. Mulai dari agama, suku, etnis, ras dan antar golongan justru kini justru dijadikan sebagai alat pemecah persatuan dan kesatuan.
Kegagapan kita dalam memahami Pancasila bisa berujung pada rusaknya hubungan antar warga negara. Perlu kiranya kita menelisik keterkaitan atau hubungan erat antara Pancasila dan agama. Ketika dalam sidang BPUPKI, Ketua Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) pada tanggal 31 Mei 1945 menawarkan gagasan Islam sebagai dasar negara.
Bagi Ki Bagus, Islam layak menjadi dasar negara karena agama ini membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam, yaitu sekitar 90 persen.
Pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Dakwah dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2 Desember 1964, Bung Karno menegaskan bahwa negara yang berdasarkan Pancasila ini harus ber-Tuhan. “Karena itu dengan keyakinan, saya berkata,” ujar Bung Karno, “Negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak ber-Tuhan, akhirnya akan celaka, lenyap dari muka bumi ini.”
Kritik untuk Piagam Jakarta
Pada prinsipnya Ki Bagus Hadikusumo dan Bung Karno sama-sama menghendaki Negara Indonesia yang akan dibentuk itu membuka diri terhadap “intervensi wahyu”. Dengan gagasan yang berdekatan antara kedua tokoh tersebut, tidak mengherankan jika Panitia Delapan– yang dibentuk oleh BPUPKI yang memiliki tugas menginterventarisasi usul mengenai dasar negara–mencatat 7 usul mengenai dasar negara, dengan suara terbanyak menghendaki Ketuhanan (dengan berbagai kombinasi) sebagai dasar negara.
Oleh sebab itu pula, sebenarnya tidaklah mengejutkan jika di dalam rumusan Preambule hasil Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan) tanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati menjadi dasar yang pertama dari sususnan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Tidak berhenti sampai di situ saja, perdebatan panjang pun tidak dapat dihindarkan. Dalam rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, rancangan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) diterima – dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat – “dengan suara sebulat-bulatnya.”
Tentunya penerimaan bulat itu tidak mungkin dilepaskan dari pengaruh dan wibawa Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno. Ia bersungguh-sungguh memasang badan mempertahankan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dari berbagai kritik dan keberatan anggota BPUPKI. Inilah yang dilupakan oleh banyak orang ketika berbicara soal Piagam Jakarta.
Entah bagaimana asal-usulnya, muncul kesan seolah-olah Piagam Jakarta itu identik dengan dan menjadi monopoli golongan Islam. muncul juga kesan seolah-olah golongan Kebangsaan anti-Piagam Jakarta.
Padahal fakta sejarah menunjukkan dengan seluruh kemampuan dan wibawa yang dimilikinya, Bung Karno meyakinkan semua pihak untuk menerima rumusan hasil kerja Panitia Sembilan. Berikut yang diucapkan oleh Bung Karno untuk meyakinkan semua anggota BPUPKI, “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai.”
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sudah final, semua sila yang ada sudah tidak perlu lagi diperdebatkan karena sudah disepakati bersama oleh para pendahulu kita. Di dalam perjalanannya, negara ini dihadapkan dengan problema yang rasanya tiada habisnya datang silih berganti. Juga dengan konstitusi negara yang turut silih berganti mengikuti kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya di periode-periode awal negara ini berdiri.
Kendati konstitusinya berganti-ganti, akan tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa tetap dipertahankan sebagai dasar negara, sebagai sila pertama dari Pancasila. Demikian di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, begitu pula di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Bung Hatta adalah fundamental moral. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik. Sedangkan dasar peri kemanusiaan adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat dan menghormati antar agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Atau dalam kata lain, sila Ketuhanan lah yang menjiwai sila-sila lainnya.
Menurut Arnold Mononutu, seorang Nasrani dan tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pidato di Konstituante: “Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil. Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis belaka.”
Atau seperti yang dikatakan oleh Perdana Menteri Djuanda dalam jawaban resmi atas pertanyaan KH. A. Sjaichu, anggota DPR dari Partai NU, mengenai makna konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959: “…kepada perkataan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya’ sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syariat Islam.”
Penafsiran Pancasila
Menurut Shamsi Ali, masing-masing orang cenderung memahami Pancasila berdasarkan penafsiran golongan (agama) masing-masing. Sebab di situlah arah pemikiran para pencetusnya, yang memang mayoritasnya adalah para kiai dan ulama. Bersama-sama dengan Bung Karno mereka merumuskan Pancasila ini untuk dipahami atau ditafsirkan berdasarkan arah keyakinan agama masing-masing.
Hal ini menjadi penting sebab sejak awal pencetusannya bangsa Indonesia sudah hidup dalam keragaman yang luar biasa. Baik secara agama, budaya maupun ras dan etnis. Bahkan di luar agama-agama formal yang diakui oleh negara ada keyakinan-keyakinan yang banyak, dengan konsep teologis masing-masing. Dan karenanya memang kurang tepat untuk menyalahkan kelompok agama tertentu, atau tepatnya menuduhnya bertentangan dengan pancasila dengan memakai kacamata “penafsiran agama tertentu”.
Bagi kita umat Islam, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini seyogianya kita jadikan sebagai negara kesepakatan atau dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah Daarul Ahdi. Agama memerintahkan kita untuk memelihara janji-janji dan kesepakatan kita.
NKRI adalah Daarul Ahdi, negara kesepakatan, dan umat Islam komitmen dengan kesepakatan ini. Maka tidak perlu ada yang mencoba-coba untuk merusak kesepakatan yang telah dibuat bersama ini dengan mengajukan cita-cita negara lain, selain Pancasila.
Perlu kiranya setiap warga negara dari agama, suku, ras, dan golongan apapun memahami betul sejarah bangsanya dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar tidak dengan mudah mengatakan golongan atau kelompok yang berbeda dengannya anti-Pancasila dan merasa hanya dirinya yang paling Pancasila.
Sehingga, di masa depan diharapkan tidak akan lagi muncul istilah dikotomis seperti ‘golongan kebangsaan’ dan ‘golongan Islam’, atau Kaum Nasionalis Sekuler dan Kaum Nasionalis Islami. Karena sejatinya seluruh bangsa Indonesia yang memahami Pancasila secara utuh niscaya tidak akan mempertentangkan lagi identitas dirinya sebagai anggota kelompok kepentingan dengan identitas dirinya sebagai warga negara.
*) Ketua Umum IMM IPB 2016-2018
Editor: Nabhan