Perspektif

Rencana Konser Ambyar dan Sosok Lord Didi dalam Ingatan Pengetahuan

4 Mins read

Tanggal limolas padhang njingglang mbulane bunder (ser),

Aku dikudang sok yen gedhe dadi dokter (sing ngudang mbok e)

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Selasa (5/5) memang menjadi berita duka untuk sekalian Sahabat Ambyar sedunia, bukan sekedar se-Nusantara, karena lirik lagu Mas Didi juga didengar seantero dunia. Sang Maestro Campursari telah berpulang dan akhirnya rencana 30 Tahun konser beliau di GBK yang sejatinya akan digelar bulan November pun tak mungkin terlaksana. Pun, kita juga diberi kabar baik yang mana Konser Online Mas Didi dalam melawan Corona mampu mengumpulkan dana hingga 2 Milyar Rupiah, dan diserahkan ke Lazis Muhammadiyah. Semoga Amal itu menjadi pemberat Amal untuk Mas Didi.

Sembari melihat berita online di gawai dan share WhatsApp banjir dengan berita duka serta share video Mas Didi yang sedang mencampursarikan lagu “Melawan Corona”, bersama Pak Walikota Solo. Mas Didi mengedukasi penikmat campursarinya untuk bersama-sama menjaga kebersihan dengan “Mencuci tangan, Memakai Masker dan tak lupa lirik khas masyarakat agama, yaitu nyuwun (berdoa) kepada tuhan untuk diberi kekuatan melawan Corona.” Campursari Mas Didi bukan lagi sekedar lagu fenomena Ambyar, di dalamnya banyak lintasan ilmu pengetahuan bahwa konsep-konsep kehidupan.

Saya teringat bahwa lirik //Tanggal / limolas / padhang/ njingglang/ mbulane /bunder (ser)/, Aku /di /kudang/ sok/ yen/ gedhe/ dadi/ dokter/ (sing ngudang mbok e)//, merupakan lirik yang di masa kecil dulu membuat saya harus memastikan selama dua bulan lamanya dan melihat bulan tanggal limabelas apakah benar-benar bunder. Kala itu saya setiap tanggal limabelas keluar dan memastikan, namun kecewa karena tak seluruh bulan bulat, bahkan kadang tidak terlihat sama sekali.

Sesekali berpikir apa lirik lagunya itu bohong ya. Belakangan baru tahu bahwa limabelas kalender yang dimaksud adalah pada penanggalan Jawa, angka kecil yang bersanding dengan angka Arab. Dan dari situ saya baru tahu bahwa dalam konsep kalender ada kalender Matahari dan Kalender Bulan. Maklum, waktu itu saya baru berusia sekolah dasar 4 atau 5 yang mendengar lagu Mas Didi lewat nonton di kaset VCD tetangga.

Baca Juga  Berubah, Kenapa Tidak?

Lagu Hijau

Gerakan-gerakan hijau hari ini memang sedang cukup meningkat, terutama mengenai kesadaran lingkungan atau yang kita kenal dengan gerakan Ekologi yang memang menjadi isu dunia. Pun dengan Corona, kabarnya bumi sedang memanjakan dirinya dengan terhindar dari siksaan manusia. Kita mengenal istilah homeostasis, yakni semacam kemampuan alam untuk menyeimbangkan dirinya sendiri, tentunya dengan berbagai cara.

Lagu sebagai sebuah kesusastraan menjadi lekat dengan konsep ekologi karena adanya kajian kritik sastra bernama Ekokritik atau Ekologi sastra. Ia melihat bagaimana sebuah karya sastra mampu memberikan kesadaran lingkungan kepada pembaca atau pendengarnya.

 Konsep Ekologi dan sastra disampaikan Greg Garrard dalam konsepnya yang menyatakan bahwa gerakan ekologi sastra melakukan proses eksplorasi pada konsep-konsep yang terkait dengan: a) pencemaran (Pollution), b) Hutan belantara (Wilderness), c) bencana (apocalypse), d) perumahan/tempat tinggal (dwelling), e) binatang (animals) dan f) bumi (eart). Dalam konteks enam hal tersebut ekologi sastra/ekokritik akan bermain, melakukan kontekstualisasi sehingga menemukan makna dan manusia senantiasa bersentuhan dengan hal tersebut.

Lirik fenomenal yang membawa Mas Didi kembali berkumandang di dunia perambyaran yaitu lirik // Ademe Gunung Merapi Purbo / Melu krungu Swaramu Ngomongke opo//, atau lirik //birune segoro pachitan //. Saya kira penggambaran Gunung Merapi Purbo, atau pun birunya laut di Pacitan adalah gagasan besar untuk senantiasa menjaga alam, mempertahankan birunya laut di era sampah dan pencemaran memang bukan perkara mudah. Namun Mas Didi sudah memberi warisan ingatan bahwa Laut dan Biru warnanya adalah keharusan yang setidaknya tetap harus dijaga oleh kita manusia agar Pantai Klayar tetap menjadi tempat para Sobat Ambyar untuk ngerentes mengenai cinta dan rindu pun dengan simpanan kenangan di dalamnya.

Baca Juga  Kajian Keislaman di Kampus, Harus Ada Manfaatnya untuk Bangsa

Lebih-lebih jika kita dengar lirik lama mengenai //Semarang, kaline Banjir / arep nyebrang wedhi kintir / kulo napa angsal mampir / kenthongan ampun di kintir //. Pesan kenangan mengenai kota-kota yang sering terjadi bencana banjir, memang sudah seharusnya sastra dalam hal ini lagu harus memberi pesan-pesan ingatan kolektif mengenai kesadaran kita bersama untuk menjaga alam di sekitar kita.

Lelaki dan Perempuan Melawan Pariarkhi

Mas Didi memang kepalang tanggung nyampursari sampai-sampai kita sebagai pendengar yang sebagian mungkin memiliki latar belakang Jawa mau tidak mau ikut ngrentes ikut melantunkan lagu-lagu ambyar yang begitu lekat dekat dengan cumbu asmara manusia. Lelaki Jawa dalam konsep kakunya memang biasanya didominasi oleh sifat ingin menjaga kehormatan mereka senantiasa tampil tenan, terkontrol, halus tutur, tidak menyukai konflik, lebih baik diam daripada rampai bertengkar.

Mas Didi menggambarkan kaum lelaki juga memiliki sisi melankolis dengan mewartakan mengenai “kenangan”, “kelangan”, “netes eluh ning pipi”, tentunya sikap-sikap tersebut kontradiktif dengan kode-kode lelaki dengan kejantanan yang pemberani, anti cengeng, tidak diperkenankan menangan dan tidak boleh bersikap pengecut. Bagaimana tidak, Mas Didi memanggil kita untuk mengenang Parangtritis, //Rasana kepengin nangis / yang kelingan Parangtritis / Rasane kaya diiris/ …. Ombak gede katon ngawe-awwe / Nelangsa neng ati rasane//. Bagi kita yang memiliki rindu dan kenangan di Parangtritis dan berakhir tragis tentunya akan teriris-iris dan berakhir menangis.

 Konsep Patriakhial jelas memiliki relasi dengan Perempuan, kalau kita membaca buku “Kuasa Wanita Jawa” di sana perempuan Jawa digambarkan bertutur halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengontrol diri, daya tahan menderita yang tinggi, dan setia atau loyalitas tinggi. Namun, sepertinya lirik lagu nekatnya Mas Didi ingin memberi gambaran secara gamblang bahwa perempuan juga memiliki keberanian (untuk mengejar lelaki walau sudah berpisah) //Uwis tak kunci pager ning / Apa kowe kok nekat isih nguber / Uwis tak kunci lawang ning / Apa kowe kok nekat kowe isih dolan / Nekat / Kowe nekat / Kena apa dek biyen kok njaluk pegat//.

Mas Didi juga cukup berani untuk menyanyikan lagu-lagu yang beberapa menyampaikan perempuan untuk berani berjanji dan mereka tidak menepati janji-janji mereka, dan janji-janji itu digunakan untuk melindungi diri mereka dari konsekunsi hubungan percintaan. Bagi saya, lagu itu adalah cara perempuan untuk menolak secara halus seorang lelaki dan digunakan untuk meninggalkan kekasih mereka, coba kita baca lirik ini //Janji lungo mung sedala / Malah tanpa kirim warta / Lali apa pancen nglali / Yen eling mbok enggal bali//. Lirik Stasiun Balapan yang sebagian kita hafal. Jelas lagu-lagu Mas Didi memberontak pada konsep umum mengenai lelaki dan wanita Jawa dan mungkin keseluruhan lelaki dan wanita secara umum.

Baca Juga  Belajar Menghormati Ibu dari Abu Hanifah

Mas Didi menggambarkan perempuan Jawa pada karakter yang lebih positif dengan menerobos beberapa stereotip yang telah melekat pada diri perempuan Jawa. Konsep oposisi biner sis­tem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan digunakan untuk meli­hat kon­­­tras karakter perempuan yang digambarkan. Dalam sistem biner, hanya ada dua tanda atau kata yang mempunyai arti jika masing‐ masing beroposisi dengan yang lain.

Hari Selasa (5/5) menjadi hari di mana kita kehilangan masterpiece Sang Maestro Campursari yang telah menemani kita selama 30 tahun seperti konsep yang sekiranya akan beliau adakah di tahun 2020 bulan November depan dengan tema “Tigapuluh tahun” berkarya.

Tentunya semoga lagu-lagu Mas Didi senantiasa kita kenang sebagai sumbangan besar untuk khazanah dunia permusikan Indonesia. Tenang di sana Mas, lagu-lagumu akan tetap saya putar sembari menemani keseharian kita. Selamat Jalan Mas Didi. Sobat Ambyar merasakan Ambyar yang se ambyar-ambyarnya.

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *