IBTimes.ID, Selasa, 19 Juli 2022 | Tantangan hak asasi manusia di Indonesia semakin tinggi. Sejumlah faktor yang melatarbelakangi peningkatan risiko pelanggaran HAM hari ini di antaranya adalah pandemi Covid-19 yang semakin memperlebar ceruk ketimpangan, hingga fenomena digitalisasi yang turut menyumbang ruang kerentanan baru berupa peretasan privasi, doxing, dan sebagainya. Risiko ini juga diperparah dengan masuknya isu agraria pada dinamika kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih sangat bergantung pada tanah dan alam.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional, melihat tantangan ini sebagai perpanjangan dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Usman menegaskan bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia telah diafirmasi oleh berbagai lembaga riset.
Poin paling mencolok dari kemunduran ini terletak pada kebebasan sipil, yang meliputi hak-hak dasar bagi masyarakat dalam berdemokrasi. Ilmuan-ilmuan sosial telah melahirkan aneka gambaran dan istilah dari dinamika demokrasi di Indonesia saat ini, yang sebenarnya lebih merupakan ‘alarm’ bagi kondisi demokrasi di Indonesia.
Beberapa istilah, seperti authoritarian developmentalism dan sub-regional state misanya, merujuk pada nafas developmentalisme lama ala Orde Baru dengan gairah implementasi dan pengamanan yang lebih kreatif melalui penyesuaian-penyesuaian regulasi, birokrasi dan bahkan keamanan. Hamid menerangkan, “Ross Tapsell menggulirkan istilah sub-regional state untuk menggambarkan betapa sama sekali tidak ada demokrasi di Papua, kecuali semasa Presiden Abdurrahman Wahid.”
Developmentalisme adalah jembatan bagi HAM, demokrasi dan masalah agraria di negara pasca kolonial. Politik tingkat atas sering menyimpan jejalin oligarki yang telah menubuh selama beberapa dekade, dan telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan kapital untuk kemudahan dalam menyesuaikan jejaring ekonomi politik ataupun dinamika elektoral.
***
Dalam konteks ini, penguasaan lahan, agenda pembangunan, alih fungsi lahan, industrialisasi, dan infrastruktur-infrastruktur prioritas adalah objek multi-tafsir bagi pemerintah, masyarakat, petani, aktivis, militer, pelaku industri raksasa dan lain-lain. Perbedaan makna di antara pihak-pihak tersebut sering menjadi basis ketaksepaHAMan tentang konsep yang lebih luas seperti ‘nasionalisme’, ‘pembangunan’, ‘sikap kritis’ subversi’, ‘kepentingan rakyat’, ‘investasi’ dan lain sejenisnya yang pada derajat tertentu kadang bermuara pada tindakan represi dan negasi terhadap HAM.
Sebagaimana yang jelaskan oleh Mimin Dwi Hartono dari Komnas HAM, “secara definisi, belum ada pengakuan dari negara mengenai siapa Human Rights Defenders dan bagaimana kontribusinya. Dalam praktiknya, pembela HAM justru dianggap mengganggu dan menimbulkan instabilitas. Padahal kerja-kerja pembela HAM ini justru memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemenuhan HAM.”
Komnas HAM menemukan ada 44 pengaduan masyarakat terkait serangan terhadap pembela HAM selama tahun 2020-2021. 52% diantaranya merupakan ancaman di ruang digital seperti doxing.
Kemudian ancaman ketika melakukan kerja-kerja jurnalistik, forum umum, dan forum diskusi ilmiah. “Sehingga demokrasi dan ruang civic space di Indonesia semakin terancam terkait regulasi di mana penegak hukum melihat sosok pembela HAM dengan pandangan yang belum jelas”, ujar Mimin.
“Sejak UU Cipta Kerja disahkan, termasuk pengadaan tanah yang direvisi dalam UU tersebut, di mana pemerintah bersembunyi dalam klaim ‘kepentingan umum’ yang tidak inklusif karena diperuntukkan untuk tambang, KEK. Konflik agraria terjadi lebih dari 2000 kasus di Indonesia. Di KPA sendiri ada 236 desa yang masih berhadapan dengan BUMN, ada 100 ribu lebih keluarga petani yang belum dipenuhi hak atas tanahnya”, tegas Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria.
***
Lebih jauh, menurut Dewi, “tanah yang dikuasai komoditas prioritas, kelapa sawit misalnya, sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, contohnya di Riau, Jambi, Sumut, Sumsel, NTT, Jatim, Jabar dan Sulsel mengalami pelanggaran HAM di semua sektor (infrastruktur, tambang, dsb). Pertanyaan besarnya apakah SDGs berpengaruh pada masalah agraria. Ini termasuk kritik kami dengan program-program di desa dan kota. Masalah-masalah struktural itu tidak menjadi indikator dalam penyelesaian agraria.”
Isu tanah juga tidak hanya mengemuka di pulau Sumatra. Papua, dalam konteks ini, lebih banyak disorot dalam perspektif keamanan dan stabilitas daerah. Padahal, tanah masih menjadi bagian sentral bagi hajat hidup orang Papua.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Rosita Dewi, “Di Papua hak seringkali difokuskan pada kekerasan. Namun terkait hak tanah wilayah masih jauh dibicarakan. Kekerasan selama pandemi diharapkan menurun namun nyatanya tidak dan malah semakin meningkat. Cycle of violence tidak berhenti ketika pandemi. Eskalasi kekerasan meningkat.”
Rosita melanjutkan, “KKB dilabeli sebagai separatis teroris meningkatkan eskalasi konflik disana dan berpengaruh pada sitasi HAM di papua. Akibat dari tindakan KKB, sangat berpengaruh pada masyarakat sipil secara langsung maupun tidak langsung baik dalam ekonomi, sosial, politik, pendidikan dll. Pilkada yang dilaksanakan di papua juga sangat berpengaruh pada peningkatan potensi kekerasan horizontal di Papua.”
Persoalan-persoalan tersebut disambut oleh Mugiyanto, Tenaga Ahli Madya Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP). Mugiyanto setuju bahwa masih banyak isu Hak Asasi Manusia yang perlu dibahas. Dan apa yang disampaikan pada kegiatan ini membuktikan bahwa masih banyak isu HAM yang belum selesai, bahkan setelah 24 tahun reformasi. KSP sendiri melakukan upaya dalam menjalankan tanggung jawab konstitusi negara di bidang HAM (P5 HAM) namun keterlibatan CSO sangat dibutuhkan.
***
“Upaya dalam mendorong persoalan isu-isu ini membutuhkan kolaborasi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana program-program pemerintah menjawab persoalan masyarakat jika representasi masyarakat tidak terlibat? Ini merupakan call bagi CSO untuk engage dengan kritis yang menjadi penting” Mugiyanto menekankan.
Disampaikan bahwa harapannya ada partisipasi, pemantauan dan monitoring dari CSO. Menurutnya, skala persoalan yang dihadapi oleh Indonesia yang sedemikian besar dan sistematik sehingga dibutuhkan respon yang juga sistematik dan organized.
Reporter: Ayunda N. Fikri & Tim INFID
Editor: Yahya FR