Ada beberapa pertanyaan yang mengusik saya. Mengapa Muhammadiyah tidak menarik bagi sebagian anak muda dewasa ini (yang beragama Islam)? Mengapa Muhammadiyah kurang menarik bagi anak-anak (Islam) yang bersekolah di sekolah negeri? Apakah Muhammadiyah hanya untuk kalangan Muhammadiyah saja? Apakah orang-orang Islam non-Muhammadiyah tidak melihat bahwa Muhammadiyah potensial mengembangkan ke-Islam-an mereka? Ada apa dengan Muhammadiyah dewasa ini?
Pertanyaan ini hanyalah pertanyaan subjektif yang selama ini saya renungkan. Saya ingin berbagi dengan para pembaca dan mengajak merenung. Hasilnya terserah pribadi masing-masing.
Mungkin saya salah dan mudah-mudahan memang salah, jika ‘melihat’ bahwa menjadi orang Muhammadiyah adalah ketika seseorang memiliki darah keturunan Muhammadiyah. Jadi sebelum lahir pun seseorang sudah Muhammadiyah, karena orang tuanya Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah pada generasi saya (generasi X akhir atau generasi Y/milenial awal), sepertinya menjadi orang Muhammadiyah karena anak dari keluarga Muhammadiyah atau menikah dengan orang Muhammadiyah.
Namun kesadaran akan ke-Muhammadiyah-an tentunya bisa jadi masih dalam proses atau bahkan belum ada atau dalam krisis. Lalu apakah bisa, seorang yang bukan berdarah Muhammadiyah atau tidak menikah dengan orang Muhammadiyah bisa menjadi orang Muhammadiyah? Tentunya bisa. Namun apa menariknya Muhammadiyah bagi generasi milenial dan generasi Alpha yang hidup di era jauh berbeda dengan Gen-X ke belakang?
Tantangan Muhammadiyah
Tantangan Muhammadiyah: Pertama,orang-orang Muhammadiyah sendiri pun sudah mulai senang dengan Salafi yang jenisnya macam-macam, Ikhwanul Muslimin, Tabligh, HTI, 212, dan Islamist-Islamist yang lainnya. Ada juga orang yang mengaku Muhammadiyah tapi kurang cocok dengan tokoh Muhammadiyah A atau B sehingga dia sendiri malah senang dengan ustad/ulama non-Muhammadiyah –yang jago hafalan, public speaker handal, dan jago ceramah fikih halal-haram– seakan-akan hidup selesai dengan halal-haram saja. Tentunya, pandangan saya ini adalah subjektivitas yang tidak perlu digeneralisasi, tapi ya ada (real).
Baiklah, orang Muhammadiyah itu plural dan kompleks. Di dalam tubuh Muhammadiyah pun ada bermacam-macam jenis dari kiri ke kanan, dari konservatif ke liberal, dari muda hingga tua, dari yang feodal sampai ke yang meritokrasi sifatnya, dan sebagainya. Masalahnya, jika orang Muhammadiyah-nya sendiri justru memuji-muji gerakan Islam lainnya, bagaimana orang-orang non-Muhammadiyah tertarik dan mau masuk menjadi orang Muhammadiyah?
Apakah ada masalah di dalam tubuh Muhammadiyah? Atau pertanyaan saya salah. Yang benar mungkin, apakah Muhammadiyah kurang bisa adaptif seperti dulu ketika di zaman kolonial Belanda bersikap kooperatif dengan kolonial Belanda dan berekonsiliasi dengan kerajaan Yogyakarta dengan tetap membiarkan ritual sekaten (walaupun yang di luar Yogyakarta seperti Muhammadiyah Padang kurang cocok dengan hal itu)? Atau apakah orang Muhammadiyah lupa kepada ajaran fundamental K.H. Ahmad Dahlan? Atau bisa jadi tidak lupa, tapi ajaran Beliau perlu ditafsirkan ulang?
Lalu sekarang zaman apa? Zaman budaya konsumerisme dan media sosial seperti Facebook, Instagram, dll adalah tantangan berat Muhammadiyah kedua. Lalu bagaimana menyikapinya agar bisa adaptif, apakah dengan membuat status di media sosial dan laman di internet sudah cukup? Saya kira belum cukup.
Saya melihat orang-orang di Indonesia non-Muhammadiyah lebih memilih bertaklid kepada ustad A atau Ustad B. Pilihan ini berdasarkan selera dirinya, daya tangkapnya dan selaras serta sesuai dengan ekspektasinya. Penjelasan sang ustad/ulama tidak panjang dan berputar-putar membuat bingung dirinya, instruksi aturannya jelas harus bertindak apa dan label Islam-nya terlihat jelas. Di tengah zaman yang serba instan ini, para ustad dimaksud menyajikan intisari aturan yang sudah ada dan jelas di al Quran dan hadis dan ‘halal-haramnya’ sudah ada semua; Islam itu kaffah. Kita tidak lagi perlu mengambil keputusan sendiri dengan akal (nalar kritis) dalam berislam.
Dengan kata lain, siraman rohani yang ditawarkan para ustad ini cepat saji yang enak, mudah dicerna, dan tak perlu berpikir kompleks dengan macam-macam buku-buku yang tebal. “Islam just do it!”, “I’m lovin’ Islam”, Islam itu harus “feel good, look good, and get more out of life”, dan promo “Islam dengan al Quran dan hadis itu mudah dipelajari (dihafalkan)”.
Zaman Cepat
Bisa disimpulkan bahwa zaman Islam yang cepat saji (mudah dicerna, mudah dipelajari, dan untuk konsumsi massal/pop) adalah zaman budaya konsumerisme. Bagaimana Muhammadiyah bisa adaptif dengan zaman konsumerisme? Bagaimana Muhammadiyah memproduksi paket-paket cepat saji yang menarik untuk dikonsumsi baik untuk mengisi faktor internal (rohani) maupun faktor eksternal (menunjukkan ke-aku-an)?
Zaman konsumerisme dilengkapi dengan mentalitas Facebook yang mengutamakan ke-aku-an. Jadi bukan Facebook-nya secara literal/tekstual, tapi mentalitas berpikir dan gaya hidupnya yang perlu direnungkan. Saya tidak katakan salah, hanya mengajak kita semua untuk merenung bersama: apakah selama ini kita berislam ala Facebook (FB)? Atau apakah berislam dengan cara Muhammadiyah yang mengedepankan pola-pola rasional dialektis (ijtihad/berpikir kritis) –tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Singkatnya, Muhammadiyah yang wasatiyyah. Dari keduanya, silahkan pilih sendiri.
Berislam dengan mental ke-aku-an ala FB, sang aku ingin diketahui khalayak bahwa dirinya Islam; jika bertindak terlihat jelas bahwa dirinya orang Islam dan bagus jika dirinya menunjukkan kebanggaannya berislam. Di depan publik, dirinya merasa perlu menampilkan keislamannya. Sang aku membangun citra (image) diri Islam dengan ghirah keislamannya, entah dengan status FB-nya yang selalu mengutip al Quran dan hadis, entah dengan cara berpakaian yang menurutnya sesuai dengan Islam, entah dengan promosi barang yang berlabelkan Islam (biasanya tulisan Arab disertai dengan aturan-aturan fikih Islam), entah foto sang aku di tempat majelis keislaman, entah berfoto di tengah kerumunan massa orang Islam dengan ragam simbol, figur, ornamen, dan hiasan-hiasan tubuh lainnya saat ada perhelatan, entah berjualan paket dan produk yang membawa apapun yang berlabel, berslogan, bercitra Islam. Menurutnya, inilah dakwah dan cara yang benar untuk mengikuti Muhammad SAW. Perlukah ghirah Islam dan aqidah diekspresikan di ruang publik?
Bagi sang aku, amat penting bagi dirinya untuk diakui identitas keislamannya. Walaupun sang aku tidak berniat, kerap orang-orang melihatnya sebagai ‘kesombongan’ menjadi Islam. Seseorang yang bermental FB dalam berislam, dirinya dengan bangga, berani, dan penuh semangat ingin menunjukkan ketaatannya terhadap Islam. Apakah salah? Tentu tidak salah, karena zamannya memang membentuk banyak orang untuk seperti itu. Lalu, bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan era FB seperti ini?
Pada zaman FB, perbuatan yang menonjolkan identitas Islam menjadi lebih ‘laku’. Perbuatan-perbuatan yang eksklusif Islam lebih menarik untuk disiarkan. Misalnya, semua hal yang dipahami sebagai akidah, bersifat teologis, dan ritual seperti sholat yang banyak, mengaji setiap saat, memperbanyak hafalan al Quran dan hadis, berpakaian secara literal/tekstual menyerupai zaman dulu, bila perlu hukum zaman Nabi di copy-paste ke zaman sekarang, bisa khutbah/berceramah, mendalil, dan menceramahi orang-orang sekelilingnya (amar ma’ruf, nahi munkar) dengan dalil-dalil yang sudah dipelajarinya dari ustadnya, tidak berurusan dengan riba, suka berpuasa, dan ikut majelis-majelis taklim –semakin banyak semakin bagus, suka ke masjid (bila perlu tinggal di masjid), dan jika ada yang menyakiti hatinya yang diyakininya sebagai atribut/fitur/simbol/material Islam, maka marah adalah wajib –cara marahnya bisa macam-macam –prinsip marah itu penting.
Sedangkan orang Muhammadiyah yang diketahuinya justru fokusnya berdagang yang tidak ada kaitannya dengan slogan/identitas Islam, memberi uang atau kebutuhan pokok untuk anak yatim piatu, membangun sekolah, rumah sakit, kerja sosial lainnya dan berkorban seperti Nabi Muhammad. Sebagian orang Islam (non-Muhammadiyah, dan mungkin beberapa juga orang Muhammadiyah) mungkin berpikir, semua kerja sosial itu bisa juga dilakukan orang-orang non-Islam seperti orang Kristen dan negara-negara Skandinavia tanpa menampilkan stempel, identitas dan aqidah Islam dalam dirinya.
Muhammadiyah 2020
Untuk mengakomodasi zaman FB, apakah saat ini saat menolong seseorang kita perlu membawa bendera/logo Islam (Muhammadiyah)? Saya kira tantangan Muhammadiyah pada 2020 cukup berat, apalagi dengan visi berkemajuan dan wasatiyyah. Bisa jadi ada pertanyaan sederhana bagi orang kebanyakan yang cara berpikirnya dalam lintasan pop culture. Misalnya, sebenarnya Muhammadiyah itu pro China atau pro Amerika? Sebenarnya Muhammadiyah membela Islam atau tidak? Muhammadiyah itu berkiblat ke pendidikan Arab atau Barat? Dan sebagainya. Singkatnya, sebagian orang di Indonesia menuntut kejelasan sesuai dengan cara berpikir dan ekspektasinya.
Apa yang saya ceritakan hanya interpretasi dan perspektif saja, bukan mempermasalahkan cara ini salah atau cara itu benar, karena benar bagi seseorang belum tentu benar bagi yang lainnya; benarnya seseorang bisa seringkali hanya klaim sepihak saja, karena yang lain pun mengklaim benar.
Tantangan ketiga, bisa jadi, seseorang yang bukan dari keluarga Muhammadiyah tidak mempunyai kepercayaan diri penuh jika mau masuk ke Muhamamdiyah sebab orang yang sudah Muhammadiyah dari garis keturunan seolah-olah lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang mau/akan menjadi. Ada juga yang merasa dirinya ekslusif Muhammadiyah karena faktor kelamaannya, senioritas, dll yang hal ini menjadikan munculnya perasaaan adanya ‘Muhammadiyah negeri’ dan ‘Muhammadiyah swasta’.
Idealnya, saya kira Muhammadiyah sendiri adalah lembaga yang seharusnya dihidupi oleh orang yang merasa menjadi Muhammadiyah –punya atau tidaknya kartu anggotanya. Orang yang merasa Muhammadiyah bisa ada di dalam tubuh Muhammadiyah atau di luar tubuh Muhammadiyah.
Pesan K.H. Ahmad Dahlan: “hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”. Beliau pernah menjual lemari pakaiannya dan barang-barang lainnya demi menghidupi sekolah Muhammadiyah. Apakah prinsip berkorban ini sudah ketinggalan zaman?
Menjadi orang Muhammadiyah tidak perlu lahir sebagai anak keturunan Muhammadiyah. Menjadi orang Muhammadiyah tidaklah menuntut Muhammadiyah untuk menghidupi dirinya atau melayani dirinya atau memberikan sesuatu kepadanya. Sebaliknya menjadi orang Muhammadiyah itu produktif, berkontribusi kepada Muhammadiyah dengan tidak menampilkan sang aku. Sang aku tidak penting, yang penting adalah Muhammadiyah.
Label Muhammadiyah tidak penting dibandingkan isi ajarannya, yaitu mengikuti ajaran Muhammad SAW. Jadi siapapun yang mengikuti ajaran Muhammad SAW ya Muhammadiyah. Ajaran aplikatifnya cukup singkat, yakni implementasi Tauhid dari surat al-Ma’un (107). Apakah kerja sosial yang tidak mementingkan sang “aku” ini akan terus dikembangkan oleh Muhammadiyah sementara era FB menuntut sang diri Muslim terlihat atribut peng-Aku-an Islamnya?
Kesimpulannya, Muhammadiyah di era FB dan konsumerisme menghadapi tantangan yang cukup berat, karena zaman benar-benar menantang nilai-nilai kezuhudan K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai prinsip memberi tangan kanan, menyembunyikan tangan kanan; sang aku tidaklah penting. Di satu sisi mengajarkan sang aku untuk tidak penting, di sisi lainnya harus melayani sang aku untuk tampil, diakui, dipuja untuk di-‘like’/di-‘love’. Di satu sisi, Muhammadiyah bergerak mengajak orang-orang untuk mau berpikir dialektis (kritis) dengan ijtihad/wasatiyyahsedangkan di sisi lainnya, orang-orang lebih tertarik mengkonsumsi (berbudaya) paket-paket Islam yang instruktif, acceptive, ringan, cepat saji, dan hitam-putih tanpa ‘metabolisme’ yang panjang dan melelahkan.