Perspektif

Tantangan Muslimah Era Millennial

4 Mins read

International Women’s day (IWD) yang jatuh patuh tanggal 8 Maret yang lalu merupakan mementum yang sangat tepat bagi gerakan pro Muslimah equality dalam mengkampanyekan inklusifisme, keislaman, keadilan, dan kemanusiaan. Gerakan yang tidak pro muslimah yang selama ini mendominasi sistem kemasyarakatan dan kenegaraan terkesan sangat mengarah pada ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Dunia akan menjadi adil, manakala ada kebersamaan dalam melakukan pembangunan. Baik akhwat maupun ikhwan secara bersama-sama memajukan dunia. Tentu, setuju…!!!

Gloria Steinem, seorang feminis, jurnalis, dan aktivis terkenal dunia, pernah menjelaskan, “Kisah perjuangan perempuan, yang nyata-nyata bukan hanya milik seorang feminis atau organisasi mana pun, melainkan milik kolektif semua orang yang peduli tentang hak asasi manusia.” Maka jadikan Hari Perempuan Internasional sebagai hari Anda dan lakukan apa yang Anda bisa untuk benar-benar membuat langkah positif bagi wanita.

Hari Perempuan Internasional (8 Maret) adalah hari global untuk merayakan pencapaian sosial, ekonomi, budaya dan politik perempuan. Hari itu juga menandai seruan untuk bertindak dalam mempercepat peran besar perempuan. Hari Perempuan Internasional (IWD) telah terjadi selama lebih dari seabad, dengan pertemuan IWD pertama pada tahun 1911 didukung oleh lebih dari satu juta orang. IWD menjadi milik semua kelompok secara kolektif di mana saja. IWD tidak spesifik untuk negara, kelompok atau organisasi (www.internationalwomensday.com).

Muslimah for Equal

Dalam mewujudkan muslimah for equal, perlu dibangun pada masing-masing muslimah kecerdasan inovatif untuk melakukan perubahan dari ekslusif menjadi inklusif, dari inequal menjadi equal, dari konservatif menjadi progresif, dari kebencian terhadap sesama menjadi kecintaan, dari individualistis menjadi gotong royong, dan dari radikalisme menjadi moderat.

Open mind sangat diperlukan bagi semua muslimah yang menghendaki terjadinya  equality. Negara Arab Saudi saja yang pada awalnya sangat patriarchy, saat ini sudah terasa ada kemajuan yang pro muslimah. Muslimah boleh menyetir sendiri, boleh bepergian sendiri untuk ke daerah yang aman. Kebijakan pro muslimah itu diambil kerena mereka sadar, kalau terus menerus menerapkan sistem patriarchy yang kaku dan eklusif, seluruh muslimah menjadi tidak percaya diri, terkesan tertinggal dengan perkembangan jaman dan kemajuan technologi, tertutup dan tidak mempunyai daya saing, karena tidak ada inovasi.

Baca Juga  Merealisasikan Kampus Merdeka di Tengah Wabah Corona

Dengan open mind tersebut, Arab Saudi ingin memajukan SDM muslimah-nya, sehingga siap menghadapi berbagai kemungkinan krisis yang terjadi. Dengan semakin menipisnya sumber daya alam tidak terbarukan, maka harus diikuti dengan pembangunan SDM yang dimiliki termasuk mereka ini. Andaikan sumber daya tidak terbarukan tersebut sudah habis, sementara itu seluruh muslimah yang ada belum memiliki kemampuan yang diharapkan, maka akan menjadi permasalahan yang sulit untuk di atasi.

Dunia yang islami adalah dunia yang diaktifkan oleh keadilan, tanpa ada diskriminasi dan ekslusifisme. Pertanyaannya adalah, Bagaimana peran muslimah dalam membantu menempa dunia sehingga terjadi keadilan? Langkah yang dapat ditempuh antara lain dengan me-raya-kan setiap prestasi mereka. Kedua, dengan meningkatkan kesadaran bahwa selama ini terjadi bias muslimah, oleh karena itu ke depan tidak perlu ada ketidakadilan. 

Berbagai tantangan terhadap kesetaraan yang progresif yaitu bukan hanya dari internal organisasi muslimah itu sendiri, tetapi juga dari Undang-undang yang lebih banyak bersifat konservatif. Oleh karena itu, jangan sampai ada aktivis muslimah yang berperilaku diskriminatif, yang akan melahirkan eklusifisme.

Keadilan Muslimah Mulai dari Keluarga

Banyak sekali partai politik yang mengkampanyekan empat pilar (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tungal Ika, dan NKRI) tetapi mereka tidak konsisten. Mereka malah mengusulkan UU yang sangat diskriminatif dan bermuatan  sarat patriarchy, karena ingin mengembalikan perempuan secara penuh pada peran domistik. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial menjadi tergadaikan. Bagaimana bisa memanusiakan muslimah pada fitrahnya yang mulia dan bagaiman bisa mewujudkan keadilan manakala, para muslimah tidak diberi hak yang sama (equality).

Membangun budaya equal harus dilakukan sejak di dalam keluarga. Sejak kecil hendaknya sudah diperlihatkan  kepada anak-anak. Memasak nasi, menggoreng nasi, membuat minum, mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyeterika tidak hanya dilakukan oleh ibu tetapi juga bapak. Hal itu akan memberi contoh kepada anak bahwa pada mind-nya terbangun kesadaran bahwa pekerjaan domistik itu tidak harus dilakukan oleh ibu, tetapi bapak pun harus membantu.

Baca Juga  Di Era AI, Dimana Peran Akal dan Wahyu?

Siapa kita, suku apa, orang apa, terkadang selalu ditanam kepada anak. Hal itu tentu sangat tidak baik dalam membangun inklusifitas kepada anak. Hal itu hanya akan memperdalam akar eklusifitas kita sebagai muslimah yang menghendaki equal.

Begitu juga, ekosistem terhadap proses pendidikan di dalam keluarga memegang peranan yang sangat penting. Kalau di dalam keluarga selalu menanamka keadilan, kecintaan, hidup rukun bersama, toleransi, inklusif, moderat, tidak pernah menanamkan rasa curiga, menganggap orang lain sebagai teman, harus selalu berendah hati sebagai makhluk Allah SWT, maka akan terbangun generasi yang equality.

Andaikan anak di dalam keluarga setiap hari sudah disuguhi kata-kata yang kurang baik, maka otak reptilian (kehewanan) anak akan membesar. Di dalam keluarga yang seperti itu dapat dikatakan tidak terjadi proses pembangunan open mind yang moderat, tetapi terbangun mind yang konservatif, in-equal, dan eklusif. Lebih berbahaya lagi kalau di sekolah bertemu juga dengan guru yang konservatif maka akan terbangun mind anak yang jauh dari kata moderat, equal, dan inklusif.

Pembelajaran yang Equal

Pendidikan yang menekankan muslimah equality yang menenkankan inklusifisme untuk melawan eklusifisme, moderat untuk melawan konservatisme, dan equal untuk melawan in-equal dapat memasukkan muatan keadilan. Pendidikan yang saat ini menekankan kecerdasan numerik, harus mampu melakukan adaptasi dengan menghilangkan ketidakadilan, konservatif, dan pendidikan untuk semua (inklusi).  

Pada mata pelajaran matematika, dapat digambarkan grafik tentang jumlah muslimah yang menjadi presiden, gubernur, bupati/wali kota. Pada seni lukis dapat saja anak diminta menggambar hal-hal yang terkait dengan aktivitas muslimah ideal, seperti polisi muslimah yang sedang menyeberangkan kakek-kakek. Anak-anak muslimah memberi makanan kepada pengemis tua, dan sebagainya.     

Baca Juga  Tanpa Spiritualitas, Agama Hanyalah Dogma yang Hampa

Peran Muslimah dalam Pencapaian SDGs

Kalau kita baca laman unwomwn.org sangat jelas bahwa, muslimah era millennial saat ini didorong untuk terus untuk menemukan cara-cara inovatif dalam memajukan keadilan dan pemberdayaan perempuan, khususnya di bidang sistem perlindungan sosial, akses ke layanan publik dan infrastruktur berkelanjutan. Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tentu membutuhkan perubahan transformatif, pendekatan terintegrasi dan solusi baru, terutama dalam hal memajukan keadilan dan pemberdayaan semua muslimah.

Gap antara keberanian politik dan moral politik harus dihimpitkan, sehingga tidak ada hambatan struktural dalam proses pembangunan yang pro muslimah. Negara harus dapat memastikan bahwa tidak ada Muslimah yang tertinggal. Inovasi dan teknologi harus mampu memberikan peluang seluas-luasnya bagi mereka untuk terlibat dalam pencapaian SDGs melalui teknologi. Kesenjangan digital yang terus meningkat harus diakhiri. Jumlah mereka yang terlibat dalam bidang sains, teknologi, teknik, matematika, dan desain harus selalau ditingkatkan. Kalau hal itu dapat dilakukan tentu akan mampu mempengaruhi inovasi yang responsive, sehingga benar-benar dapat memberikan keuntungan transformatif bagi mereka secara global.

Dengan inovasi tersebut diharapkan dapat menghilangkan hambatan dan mempercepat kemajuan untuk keadilan bagi muslimah, mendorong investasi dalam sistem sosial yang responsif, dan membangun layanan serta infrastruktur yang memenuhi kebutuhan mereka.

Mulai saat ini, marilah semua muslimah untuk memainkan peran aktif dalam membangun sistem yang lebih adil, layanan yang efisien dan infrastruktur layak bagi mereka yang berkelanjutan untuk mempercepat pencapaian SDGs dan keadilan bagi mereka.

Editor: Yahya FR
Avatar
13 posts

About author
Pegiat Ekonomi Syariah, alumni PPs UIN Raden Intan Lampung, Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Ilmu Sosial Unair, & S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds