Dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia menjadi ajang bagi operasi sharp power. Operasi ini bergerak secara senyap, terselubung dan manipulatif. Biasanya, dijalankan negara-negara otoriter atau semi-otoriter untuk membangun opini publik.
Hal ini dapat melemahkan pengambilan keputusan yang independen. Selain itu, juga mengarahkan wacana politik yang menguntungkan mereka. Berbeda dengan soft power yang terbuka dalam mempengaruhi, sharp power beroperasi secara tersembunyi, memainkan distorsi, dan mengendalikan emosi.
Operasi-Operasi Senyap
Kehadiran Tiongkok di Indonesia, misalnya, tidak hanya terkait dengan perdagangan, proyek infrastruktur, dan Belt and Road Initiative (BRI). Melalui jaringan media Mandarin, asosiasi budaya, dan jaringan-jaringan komunitas dunia usaha yang dimilikinya, Beijing berupaya memengaruhi diaspora Tionghoa Indonesia.
Mereka membingkai isu seperti Laut Cina Selatan, Taiwan, Tibet, dan Xinjiang agar selaras dengan narasi politik kekuasaan di negaranya. Beijing juga memanfaatkan platform digital, termasuk TikTok, WeChat, dan portal-portal berita untuk menyaring dan memperkuat konten-konten yang mendukung kebijakannya.
Sebagai contoh lain, meski kehadiran Rusia tidak sebesar Tiongkok, Rusia menyebar pengaruhnya lewat jaringan disinformasi. Hal ini seringkali berkaitan dengan narasi global tentang dekadensi Barat, agresi NATO, dan legitimasi pemerintahan otoriter.
Media-media Rusia seperti RT dan Sputnik, menyebarkan konten-konten berbahasa Indonesia. Terutama, saat terjadi perang di Ukraina. Saluran ini mengombinasikan berita-berita faktual dan teori konspirasi, menyasar sebagian publik yang memiliki sentimen nasionalis dan anti-Barat.
Sedangkan Turki, di bawah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), secara aktif mempromosikan perpaduan antara nostalgia neo-Utsmani, solidaritas Islamis, dan konservatisme politik. Di Indonesia, sekolah-sekolah dan program-program kebudayaan yang didanai Turki, membangun citra Turki sebagai pemimpin global umat Islam melalui drama televisinya.
Walau hal ini tampak sebagai diplomasi budaya, media dan lembaga keagamaan negara, sesekali membingkai peristiwa seperti kudeta 2016, terutama Gulen Movement, sebagai ancaman bagi Islam dan demokrasi.
Tantangan Indonesia
Sayangnya, kerangka hukum Indonesia saat ini, terutama Undang-Undang Intelijen Negara (2011) dan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme (2018), lebih berkonsentrasi pada ancaman keamanan konvensional dan tindakan kekerasan. Keduanya, belum memberikan perhatian pada operasi senyap yang manipulatif.
Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah memantau disinformasi serta ancaman siber, namun belum berfokus pada strategi nasional yang terpadu untuk mendeteksi dan menanggulangi sharp power.
Sharp power mengeksploitasi identitas keagamaan, nasionalisme, sentimen anti-elite untuk menebar ketidakpercayaan, memanipulasi emosi, dan mengarahkan perdebatan politik ke narasi yang ramah terhadap otoritarianisme.
Tanpa adanya langkah proaktif, yang dimulai dari pembaruan hukum, penguatan kapasitas media independen, hingga kampanye literasi digital publik, kita berisiko membiarkan kekuatan asing membentuk ruang publiknya secara terselubung.
Melindungi Kedaulatan Bangsa dan Negara
Sebagai upaya untuk menanggulangi sharp power yang beroperasi, kita perlu memiliki regulasi hukum yang berkaitan secara langsung dengan masalah transparansi pengaruh asing.
Regulasi ini perlu mengatur tentang pengungkapan berbagai entitas yang melobi atau berkampanye atas nama kekuatan asing. Hal ini juga perlu menegaskan definisi “operasi senyap” yang terpisah dengan spionase atau terorisme, termasuk berkaitan dengan masalah pendanaan yang terselubung, perilaku non-otentik yang terkoordinir rapi, dan kendali media-media perantara.
Pengarusutamaan penanggulangan sharp power juga membutuhkan mesin komando yang rapi. Pemerintah dapat membentuk satgas koordinasi sharp power yang melibatkan BIN, BSSN, Kominfo, BNPT dan berbagai institusi relevan lainnya, yang mampu menciptakan jalur intel-ke-aksi, pengarahan ancaman berkala, dan protokol takedown cepat, terutama saat pemilu.
Platform-platform digital seperti TikTok, YouTube, X, dan Meta wajib tunduk pada aturan tegas, yakni segera menurunkan konten-konten menyesatkan saat pemilu. Di samping itu, mereka perlu menyimpan arsip terbuka semua iklan politik dan konten berbayar dari para influencer, serta memberi akses data terbatas bagi para peneliti.
***
Sebagai upaya pencegahan, pemerintah dan penyelenggara pemilu menayangkan penjelasan singkat tentang pencegahan hoaks dan kotak fakta sebelum berbagai informasi palsu menyebar. KPU, Bawaslu dan partai-partai politik bisa memakai alat pantau langsung untuk mendeteksi kampanye hitam terselubung dan jaringan akun robot (Bot). Para influencer wajib memberi label #DidanaiOleh (PaidForBy) pada konten politik berbayar.
Untuk mengoptimalkan proses ini, lembaga-lembaga riset dan universitas perlu didukung dengan hibah-hibah riset untuk mengamati tentang sumber kampanye-kampanye sharp power. Sejalan dengan hal ini, media-media perlu mendapatkan dukungan dana untuk peliputan berbagai kasus intervensi asing.
Pada akhirnya, pemerintah perlu berbicara dengan satu suara, cepat dan berbasis bukti yang kuat. Ini semua tiada lain adalah untuk menjamin kedaulatan, kemajemukan, dan kemandirian ekonomi Indonesia. Dalam konteks pergaulan internasional, Indonesia bisa berbagi informasi keamanan siber dengan ASEAN, Australia, Jepang, dan Uni Eropa untuk penurunan konten bersama dan penerapan sanksi terkoordinasi.
*Artikel opini ini ditulis oleh Ihsan Yilmaz Deputi Direktur di The Deakin Institute for Citizenship and Globalisation, Deakin University, Australia, dan Hasnan Bachtiar Peneliti di RBC Institute Abdul Malik Fadjar, Universitas Muhammadiyah Malang.


Peran apa yang seharusnya dimainkan kampanye literasi digital dalam membantu warga mengenali dan melawan taktik sharp power?