Oleh: Ayub*
‘Aisyiyah, organisasi wanita yang lahir tumbuh dari pengajian khusus wanita binaan Kiyai Dahlan itu, baru saja melakukan Tanwir. Sebuah perhelatan level nasional untuk membahas hal-hal urgen menyongsong Muktamar.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, rekomendasi-rekomendasi Tanwir ‘Aisyiyah mendapatkan perhatian, atau setidaknya laporan, dari berbagai media. Meskipun sebenarnya mereka yang ingin tahu tak perlu repot-repot melihat media sebab file berisi keputusan serta rekomendasinya bisa diunduh dengan gratis. Apalagi, ketika melihat apa yang diangkat ungkit oleh beberapa media (dan para influencer media sosial) terkait tanwir ini kelihatannya tidak begitu klop dengan isi dokumen yang bisa dibaca setiap insan berkuota itu.
Melihat perkembangannya, well, setidaknya perkembangan yang masuk ke radar saya yang memang jangkauannya tidak seberapa ini, saya jadi teringat kasus-kasus lucu yang menimpa Majelis Tarjih. Di Muktamar Tarjih yang menggodok Fikih Air dahulu itu, Prof. Din sempat melontarkan ucapan bahwa beliau mengharamkan dirinya meminum air mineral produk tertentu.
Ucapan itu sebenarnya bentuk penegasan beliau dari semangat Fikih Air yang anti privatisasi air. Apalagi jika privatisasi itu dibarengi eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab. Tapi media tentu tidak akan mau repot-repot masuk ke area itu. Maka naiklah headline seperti “Sebut Haram, Din Syamsuddin masih minum air mineral” fiiuh. Itu terjadi saat Muktamar Tarjih 2014.
Pada Muktamar Tarjih 2017 lalu, sebuah tema naik menjadi pembicaraan, yakni Fikih Lalu Lintas. Fikih ini memang belum dibuat, ia direncakanakan akan dirancang susun pada Muktamar Tarjih berikutnya. Sejatinya, Fikih Lalu Lintas adalah respon MTT untuk request dari bapak-bapak polisi. Bahkan di acara yang diadakan di Makassar itu, perwakilan POLRI hadir memaparkan kuliah umum terkait kegawatan-kegawatan di lalu lintas serta peran social engginering yang mungkin dimainkan ormas keagamaan. Wacanaya mulai dari etika berlalu lintas hingga kerugian ekonomi dari kemacetan dan seterusnya. Lalu tibalah masa QnA dengan wartawan.
Apa pertanyaan awak media itu?, begini “Pak apakah nanti akan ada pengharaman wanita menyetir?” duh gusti! Saya tahu, tidak ada pertanyaan bodoh dan dia berhak bertanya apa saja. Tapi jika saja ia mau menyimak sedikit ke poin-poin diskusi dari pakar, polisi, dan beberapa tokoh Tarjih di situ, setidaknya dia akan ada gambaran kemana arah fikih ini. Tentu arahnya tidak ke “Saudi”.
Hikmahnya? Hal-hal sensasional selalu lebih diburu. Lebih asyik diungkit ungkit. Lebih mudah viral. Ini tentu hanyalah impresi saya pribadi. Tapi tampaknya Tanwir Aisyiyah mengalami kemalangan yang sama. Kelucuan serupa. Jika tuan dan puan membaca putusan dan rekomendasi mereka, di situ isu-isu strategis dan urgen bagi bangsa ini direspon dengan penuh perhatian. Soal pemberantasan korupsi, ada kritikan yang elegan pada sikap pemerintah yang tampak pasif-pasif saja melihat pelemahan dan pengebirian idependensi KPK. Ada pula penolakan keras bagi diangkatnya mantan napi korupsi menjadi pejabat, termasuk di BUMN.
Rekomendasi yang juga cukup penting diajukan tanwir untuk program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah. Selama ini Muhammadiyah memang dikenal kritis pada pola-pola deradikalisasi yang dianggap kontraproduktif atau rawan pelanggaran HAM. Di rekomendasi ini, ‘Aisyiyah maju selangkah dengan secara tegas menentang oversimplifikasi yang kerap terjadi, dimana radikalisme dan ekstremisme seolah-olah diasosiasikan ke kelompok Islam saja.
Tanwir menyatakan bahwa ada faktor kompleks dan beragam yang harus diurai. Ini tentu rekomendasi yang menarik untuk didalami maksudnya dalam konteks perdebatan seputar langkah deradikalisasi yang tampaknya terlalu terpaku pada simbol-simbol keberagamaan sebagian Muslim. Padahal simbol-simbol itu belum tentu menandakan adanya ideologi radikal pada diri penyandangnya.
Terkait isu perlindungan anak, ‘Aisyiyah masih siap sedia melanjutkan war on stunting yang memang sudah lama bergulir. Perang ini kemudian mendapatkan sokongan penuh lewat Fikih Perlindungan Anak yang dihasilkan Muktamar Tarjih di Makassar beberapa waktu lalu itu. Dalam konteks ini pula, Aisyiyah mendesak agar pendewasaan usia perkawinan anak perempuan menjadi 19 segera diimplementasikan dengan penuh.
Ini sebenarnya bukanlah barang baru bagi Aisyiyah atau Muhammadiyah secara umum. Aspirasi penentangan pada praktek pernikahan yang terlamapau dini sudah disurakan sejak tahun 30-an oleh Muhammadiyah. Selain alasan kesehatan reproduksi, ada pula pertimbangan kesiapan intelektual, ekonomis, dan kesempatan melanjutkan pendidikan. Lagi-lagi, Majelis Tarjih telah menyediakan kerangka dan rel normatif untuk persoalan ini di Fikih Perlindungan Anak.
Sepertinya, perlu juga disebut tentang rekomendasi seputar ekonomi kerakyatan dan masalah kerusakan alam. Saya menganggap ini isu yang layak dijadikan satu paket sebab trennya memang demikian. Persoalan lingkungan yang belakangan mencuat tidak jauh-jauh dari soalan ekonomi. Kebakaran hutan yang secara eksplisit disebutkan rekomendasi tanwir tak terpisahkan dari industri sawit. Ada pula pencemaran makanan oleh limbah industri yang beberapa hari lalu diekspos oleh media asing.
Tentu menarik sekali untuk menggali respon Aisyiah lebih jauh terkait masalah-masalah yang mereka angkat di atas. Semisal kasus penangkapan petani yang mengembangkan bibit “ilegal” contohnya. Jika Aisyiyah pro UMKM, apa langkah strategisnya untuk mengakhiri hal tidak lucu itu? Bagaimana tanggapan Aisyiyah untuk argumen moral dibalik penolakan peningkatan usia perkawinan mengingat Aisyiyah juga menekankan pentingnya menjaga moral generasi.
Apa menurut Aisyiyah presiden perlu mengeluarkan Perpu soal KPK? Apakah Aisyiyah bersedia mengadvokasi perempuan bercadar yang tampaknya mendapatkan fokus tertentu dalam wacana deradikalisasi pemerintah? Ada banyak yang bisa ditanyakan dan diperdalam. Tapi. Semua itu tidak penting. Tidak usah dinaikkan jadi headline. Sebab ada satu kata kunci yang lebih seksi dan asik dibincang. Terutama oleh bapak-bapak. Apakah itu? yeeeaap! Poligami!
Menyimak berita yang dinaikan situs resmi Aisyiyah, tampaknya persoalan poligami, atau tepatnya penegasan prinsip asal pernikahan adalah monogami, ini sebenarnya hanya muncul sebagai fragmen kecil dari tanwir. Bahkan yang menyampaikannya bukanlah perwakilan dari Aisyiyah tapi dari Muhammadiyah. Jelas, sebab itu memang sudah lama ditetapkan di Muhammadiyah lewat Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. Hal itu bukanlah keputusan, bukan pula rekomendasi tanwir. Terlebih semacam fatwa dari Aisyiyah. Maka ketika melihat pegiat medsos yang begitu antusias menyambutnya, juga ketika saya jadi begitu tertarik mendiskusikannya, saya merasa heran sendiri.
Saya pun jadi bermuhasabah diri (padahal jarang lo saya muhasabah); mengapa saya, dan beberapa lelaki di medsos ini begitu fokus ke persoalan poligami ketika bicara soal Tanwir? Apa mungkin ini semacam “pelecehan” pada Aisyiyah? Ketika mereka mengangkat isu-isu strategis diluar urusan nikah dan anak, saya tidak begitu tertarik mengangkat ungkitnya?
Jangan-jangan karena ada semacam seksisme yang meracuni paradigma saya ketika melihat dan membincang Aisyiyah? Apa diam-diam alam bawah sadar pikiran saya mengelompokan urusan KPK, lingkungan, UMKM sebagai urusan maskulin sedangkan urusan perkawinan dan anak sebagai urusan feminim sehingga Aisyiyah hanya valid dan layak sorot bila bicara soal yang feminim itu? Mengapa saya begitu terobsesi pada isu poligami ketika Aisyiyah saja tidak sedikitpun membicarakannya di rekomendasi mereka?
Ataukah tidak sedalam itu sebenarnya. Jangan-jangan saya begitu gembira membincang poligami karena memang lagi trending topic berkat layangan putus? Aduh, bukannya itu berarti kader ormas berkemajuan menari mengikuti genderang algoritma medsos semata? Hah! Semoga tidak begitu. Itu seram sekali. Itu tidak bermutu sekali.
Di akhir tulisan, saya hanya ingin berpesan pada ibu-ibu Aisyiyah, bu, kalo mau implementasi Fikih Perlindungan Anak, itu kampus kampus Muhammadiyah, termasuk kantor-kantor PP dan PWM dipaksa bikin ruang laktasi dong! Waktu istri saya yang bukan anggota ‘Aisyiyah itu tak ajak nyari snek gratis ke kantor PP, dia terpaksa nyusui sembunyi-sembunyi lo bu, gak nemu ruang laktasi soale. Pripun niku bu?!
*) Tulisan ini dikutip dari website santricendekia.com dengan beberapa penyuntingan.