Tarekat Sufi yang paling terkenal dan tertua, dalam pengertian komunitas pengikut yang teroganisir, adalah Qadiriyah. Ia didirikan oleh ulama asal Persia dan seorang wali Abdul Qadir al-Jailani, yang lahir di Gilan tetapi pada usia delapan belas tahun pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu, di mana dia ahli dalam bidang hukum Islam dan tasawuf.
Meskipun ia telah menerima jubah sufi dari al-Mubarak al-Mukharrimi cendekiawan Mazhab Hanbali, seorang pendiri mazhab Hanbali pertama di Baghdad, perpindahannya ke tasawuf terjadi di tangan guru sufi yang keras, Abul Khayr al-Dabbas (w. 1131), yang bekerja dengan berjualan sirup (Knysh: 2010, 179).
Abdul Qadir menjalani penempaan dan bimbingan yang keras oleh gurunya. Setelah belajar dengan al-Dabbas, Abdul Qadir terus mempraktikan gaya hidup yang keras yang sudah ditanamkan oleh gurunya; dia menjaga salat malam, berpuasa sepanjang tahun, mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali, mengembara di padang gurun tanpa bekal apapun.
Ketika berusia lima puluh tahun, dia merasa telah mencapai kedewaaan spiritual dan berkeinginan untuk kehidupan sosial kepada masyarakat dengan memberikan pengajarannya kepada orang-orang, ia memulai karir sebagai seorang pengkhotbah yang populer.
Seorang pengkhotbah dengan semangat yang berapi-api, ia menarik banyak hadirin dari rakyat jelata hingga bangsawan dan pedagang kaya raya. Sesaat sebelum meninggalnya, al-Mukharrimi menempatkan Abdul Qadir sebagai penanggung jawab sekolah agama (madrasah) di salah di sudut kota Baghdad. Di sana, ia mengajar Al-Qur’an dan tafsir, hadis, dan hukum.
Pancaran Spiritual Abdul Qadir al-Jailani
Dengan cepat, dia menjadi tokoh spiritual paling tersohor pada masanya. Bahkan, didatangi oleh beberapa pendiri tarekat sufi yang lain baik yang dekat maupun jauh. Bahkan setelah zaman para sahabat Nabi, tidak ada tokoh dalam sejarah Islam yang memiliki pancaran spiritual seperti Abdul Qadir al-Jailani sepanjang dunia Islam.
Dia berbicara menggunakan istilah-istilah sederhana yang dapat dinikmati oleh kalangan orang yang awam. Wacana moralnya menerangi masalah moral mereka sehari-hari dan memberi mereka solusi terbaik, yang ia telusuri kembali yang sudah ditetapkan oleh para sufi awal. Seperti, halnya Ihya ulum al-Din nya al-Ghazali, tasawuf Abdul Qadir al-Jailani didorong oleh agenda komunal yang jelas yang bertujuan untuk mengangkat moral sesama muslim dan membimbing mereka menuju keselamatan.
Untuk mengejar tujuan ini, ia dengan hati-hati menghindari spekulasi metafisik yang dikemukakan oleh beberapa ahli teori sufi sezamannya. Ia juga mengecilkan aspek sensasional dan individualistis dari pengalaman mistik seperti yang dicontohkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj.
Dia menyeru umat Islam untuk memulai jihad yang lebih besar, yang sesuai dengan hadis, yaitu melawan jiwa bawahnya dan nafsu yang merusak dan dorongan tak terkendali yang menghalangi manusia dari rahmat Allah.
Dengan nada yang sama, Abdul Qadir menyuguhkan ketaatan orang beriman kepada kehendak Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dan sunah, sebagai satu-satunya ekspresi cintanya kepada Tuhan.Seorang sufi seperti al-Gazali dan Abdul Qadir al-Jailani menjalani kehidupan asketis dan tidak menikah sampai dia berusia lebih dari lima puluh tahun. Tetapi kemudian dia menikah dan memiliki banyak anak, yang barakahnya menyebar luas.
Karya Abdul Qadir al-Jailani
Hingga saat ini, keturunannya memainkan peran penting dalam perkembangan Tarekat Qadiriyah di berbagai wilayah Islam. Abdul Qadir al-Jailani juga meninggalkan banyak karya tentang sufi, termasuk Futuh al-Ghayb (Kemenangan yang Tak Terlihat), yang berisi teks dari beberapa khotbahnya. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Abd al-Haqq seorang ahli hadis dari Delhi (w. 1624), karya ini menjadi sangat populer di India.
Karya utama Abdul Qadir, “Yang Cukup bagi Para Pencari Jalan Kebenaran” (Ghunya li-Thalibi Thariq al-Haqq) menjadi buku pedoman favorit bagi para generasi berikutnya, baik sufi dan non-Sufi.
Sebuah uraian standar dari ajaran etika dan moral yang wajib bagi muslim suni, kitab Ghunya “kemungkinan kecil dikritik oleh kaum puritan yang paling ekstrem.”
Beberapa ulama Hanbali, terutama Ibn Taymiyyah, memang megkritik tindakan kesalehan dan litani mistik berlebihan yang dipromosikan kitab Ghunya. Mereka juga menunjukkan, bahwa Abdul Qadir banyak mengutip Qutul Qulb karya Abu Talib al-Makki yang menjadi sumber inspirasinya. Namun, tidak seperti karya Abu Talib al-Makki, Ghunya berisi bagian tentang heresiografi. Ini mewakili mazhab Hanbali yang khas tentang sekte-sekte yang menyimpang. Secara kebetulan, Ghunya mengkritik ajaran Basran Salimiyya, yang berafiliasi erat dengan Abu Talib (Knysh: 2010, 189).
Praktik Tarekat Qadiriyah
Praktik utama dari tarekat ini adalah berdoa dengan menyebut nama-nama Tuhan (zikir). Serta, ada penekanan pada pengetahuan dan penyingkapan (kashf).
Namun di berbagi wilayah, tarekat ini menjadi tarekat dengan peragaan di luar batas seperti menusuk tubuh mereka dengan jari-jari, berjalan di atas api, makan pisau cukur yang tajam, dan bahkan memotong perut mereka.
Hal ini sebagaimana yang diamati oleh Seyyed Hossein Nasr ketika berkunjung pada suatu majelisnya di Sanandaj ibu kota provinsi Kurdistan, Iran. Seyyed Hossein Nasr mengisahkan tentang kejadian tersebut dengan mata kepala sendiri sehingga sulit untuk mempercayai apa yang ia lihat.
Fenomena seperti itu memang menunjukkan bahwa ada lebih banyak realitas keadaan manusia, termasuk tubuh, dan dunia di sekitar manusia daripada yang terlihat. Tetapi praktik semacam itu tidak boleh diidentikkan dengan tasawuf. Faktanya, sebagian besar guru sufi telah menentang praktik ini, yang berlangsung dalam keadaan keterikatan Ilahi dan di bawah kondisi integrasi tubuh ke fisik (Nasr: 2007, 191).
Abdul Qadir al-Jailani sendiri mendapat gelar Qutb (kutub atau poros spiritual) semasa dengan Ibn Arabi, dan kemudian dalam sejarah Sufi ia mendapat gelar al-Ghawth al-A‘zam (Penolong Terbesar). Banyak mukjizat yang dikaitkan dengannya dalam karya-karya hagiografi sufisme, khususnya Nafahat al-Uns (Nafas Keakraban) karya Jami (w. 1492).
Penyebaran Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah telah meyebar luas. Pada abad kelima belas, ia telah memiliki cabang. Tidak hanya di negara-negara Arab di Timur Tengah, tetapi juga di Maroko, Spanyol, Turki, India, Ethiopia, Somalia, hingga Mali. Pada abad keenam belas, telah mencapai Cina dan Malaysia. Sejak dari abad ketujuh belas, telah menjangkau wilayah Eropa di kerajaan Ottoman.
Salah satu faktor yang menyebabkannya tarekat ini bisa menyebar luas dan dapat diterima oleh masyarakat luas adalah karena sifat keluesan dari para pemimpin dari setiap regional yang tidak memiliki kepemimpinan spiritual terpusat. Lebih jauh lagi, Qadiriyah tidak memiliki aturan agama yang ditetapkan yang harus dipatuhi oleh setiap syekhnya di berbagai negeri.
Abdul Qadir al-Jailani menyetujui ibadah zikir yang dilakukan secara komunal. Tetapi tidak menetapkan aturan tertentu untuk pelaksanaannya. Dan dia mengapresiasi, pembacaan doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan yang dia sebut sebagai penghargaan. Ia menunjukkan sejumlah doa alternatif yang mungkin dibacakan oleh orang-orang saleh.
Editor: Yahya FR