Pengetahuan Muhammadiyah | Tarjih dan tajdid termasuk dua hal yang mewarnai produksi pengetahuan di Muhammadiyah. Hal ini nampak dari eksistensi Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai jantungnya Muhammadiyah.
Lantas, apa makna tarjih dan tajdid khususnya bagi Muhammadiyah?
Secara umum tarjih bemakna menguatkan. Sebagaimana ar-Razi mendefinisikan tarjih sebagai aktivitas “menguatkan salah satu dalil atas yang lain, sehingga diketahui mana yang kuat lalu diamalkan yang lebih kuat itu dan ditinggalkan yang tidak kuat.” Dalam usul fikih, aktivitas tarjih meliputi upaya dalam menetapkan dalil yang paling rajih setelah sebelumnya melakukan penyelidikan terhadap dalil yang saling bertentangan, dan juga menetapkan pendapat ulama yang paling kuat berdasarkan pada sumber ajaran dan penggunaan kaedah usul fikih.
Kholidah dalam disertasinya berjudul Dinamika Tarjih Muhammadiyah dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa,awalnya pemaknaan tarjih diMuhammadiyah masih lekat dengan makna umum, dipahami sebagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pendapat yang dipandang kuat dari sejumlah pendapat yang ada.
Hal ini sesuai dengan latar belakang lahirnya Majelis Tarjih di Muhammadiyah adalah untuk menghindari perselisihan dalam khilafiyah yang terdapat di kalangan anggota. Namun, dalam perkembangannya pengertian itu mengalami perluasan makna. (Kholidah, 2021: 53-54).
Muhammadiyah melihat tarjih bukan lagi sekadar aktivitas menentukan (menguatkan) dalil yang paling rajih di antara dalil-dalil yang telah ada, melainkan juga sebagai upaya melahirkan ketetapan hukum terhadap persoalan yang tidak disinggung Al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalam karya ulama klasik.
Ini sejalan dengan penjelasan Syamsul Anwar dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah bahwa, “…dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai setiap aktivitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam.” (Anwar, 2018: 3).
Jadi kegiatan ke-tarjih-an di Muhammadiyah menjadi semacam upaya dari ulama dan cendekiawan Muhammadiyah dalam merespon persoalan umat dengan kaca mata Islam. Hal ini membuat tarjih di lingkungan Muhammadiyah memiliki makna yang luas.
***
Aktivitas tarjih tidak sebatas untuk menguatkan suatu dalil atau pendapat di antara pendapat yang telah ada sebelumnya, namun juga bisa menjadi aktivitas penetapan hukum (pendapat) baru yang dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan Muhammadiyah dengan menggunakan kaca mata Islam.
Perluasan makna tarjih agaknya turut dipengaruhioleh semangat tajdid (pembaharuan). Sebagai ormas yang mengedepankan semangat tajdid dalam gerakannya, Muhammadiyah terbuka dalam menetapkan metode untuk mencari jawaban baru terhadap persoalan keagamaan. Sehingga, tidak heran jika terjadi perluasan makna tarjih dari hanya memilih pendapat yang telah ada kepada makna menemukan yang sebelumnya tidak ada (ijtihad).
Muhammadiyah dikenal sebagai ormas Islam dengan gerakan pembaharu atau gerakan tajdid. Kholidah menjelaskan bahwa bagi Muhammadiyah salah satu karakter ajaran Islam adalah tajdid. Konsep tajdid di masa awal Muhammadiyah belum dirumuskan dengan rinci.
Kiai Ahmad Dahlan dalam gerakannya waktu itu fokus membasmi praktek keagamaan yang menyimpang dan berusaha mengembalikannya kepada ajaran Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pada tahun 1968, menjelang Muktamar ke-37, M. Djindar Tamimy menawarkan rumusan tajdid sebagai khittah Muhammadiyah. Dia menyatakan tajdid dengan arti pembaharuan mempunyai dua segi: pertama, tajdid berarti kembali kepada keaslian dan kemurnian.
Itu bila sasarannya adalah soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap dan tidak berubah-ubah. Dan kedua, tajdid berarti modernisasi, bila sasarannya masalah metode, sistem teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi, kondisi, ruang, dan waktu.
Pada tahun 1989, dalam Muktamar Tarjih di Malang, konsep tajdid dibahas kembali dan menghasilkan rumusan resmi tajdid bagi warga Muhammadiyah. Adapun rumusan dimaksud adalah dari aspek etimologi tajdid bermakna pembaharuan, dan dari aspek terminologi tajdid mengandung dua makna: pertama pemurnian, dan kedua peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna dengannya.
***
Kholidah menjelaskan kalau dalam arti pemurnian, tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shohiha. Dalam arti peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna dengannya, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shohiha. (Kholidah, 2021: 55-56).
Sejalan dengan itu, Syamsul Anwar juga menerangkan kalau tajdid memiliki dua makna: pertama dalam akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan kedua dalam bidang muamalat keduniaan, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. (Anwar, 2018: 7).
Karakter tarjih dan tajdid menjadi warna dalam produksi pengetahuan Muhammadiyah. Tarjih merupakan aktivitas Muhammadiyah dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan, dan tajdid menjadi ruh dalam gerakan warga Muhammadiyah. Sehingga, tidak heran jika Lembaga Tarjih dan Tajdid menjadi salah satu lembaha istimewa dalam tubuh Muhammadiyah, bahkan dikatakan merupakan jantungnya Muhammadiyah.
Editor: Yahya FR