Secara formal, Tarmizi Taher memiliki karir akademik di bidang kedokteran. Namun disamping itu, ia mendedikasikan hidupnya sebagai juru dakwah. Ia menghadapi berbagai tantangan dakwah Islam, baik langsung berhadapan dengan umat maupun sebagai pengambil kebijakan.
Melalui dakwah dengan kekuasaan, lisan, dan tulisan, Tarmizi Taher berusaha menguatkan sisi lemah dari tubuh umat Islam. Sisi lemah tersebut menjadi pemicu ketergoncangan peradaban Islam dalam percaturan global. Tarmizi Taher mengemukakan gagasan ‘MATI di Era Klenik’ yang ia tuangkan dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh Gema Insani Press, tahun 2002.
Siapa Tarmizi Taher?
Tarmizi Taher lahir di Padang, Sumatera Barat, tanggal 7 Oktober 1936. Ia lahir dari pasangan Muhammad Taher Marah Sutan dan Djawanie Syarief. Kedua orang tua Tarmizi merupakan tokoh berpengaruh di tanah Minang.
Sejak kecil, Tarmizi sudah mendapatkan pendidikan agama, baik dari ayah dan ibundanya maupun dari Madrasah Diniyah di kampungnya. Potensinya menjadi seorang juru dakwah terlihat sejak ia masih kecil. Hal ini dibuktikan dengan berbagai perlombaan pidato yang ia ikuti. Bahkan, saat remaja ia pernah didaulat sebagai pembakar motivasi rakyat dan digotong ke atas mimbar oleh para pemuda.
Tarmizi lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya tahun 1964. Pasca mengabdikan dirinya di dunia akademik, ia menjajaki karir di TNI Angkatan Laut, dan pensiun dengan pangkat Laksamana Muda.
Lepas dari karir militer, ia bertugas sebagai Sekjen Depag RI selama 5 tahun, sebelum diangkat sebagai menteri, tahun 1993. Tarmizi berhenti menjadi Menteri Agama tahun 1998, dan kembali ke Fakultas Kedokteran UNAIR, Surabaya. Ia pun sempat menjadi Rektor di Universitas Bangkalan (kini Universitas Negeri Trunojoyo).
Beberapa jabatan lain yang ia emban adalah Duta Besar untuk Norwegia dan Islandia, Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia periode 2006-2011, dan Rektor di Universitas Islam Az-Zahra di Jakarta periode 2004-2008.
Di Muhammadiyah, ia mewarisi jejak ayahnya. Aktif dalam Korps Mubalig Muhammadiyah dan pernah mendapat amanah sebagai Ketua Korps Mubalig Muhammadiyah Tingkat Nasional.
Tarmizi wafat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tanggal 12 Februari 2013, dan disemayamkan di rumah duka Kompleks Angkatan Laut (AL) Pangkalan Jati, Jakarta Selatan.
Islam dan Dunia Perklenikan
Islam merupakan agama universal, yang misi dan ajarannya melewati sekat suku, etnis, bangsa, dan bahasa. Sejak awal kemunculan Islam sampai sekarang, umat muslim menghadapi pertarungan teologi, ekonomi, politik, dan budaya.
Kancah pertarungan tersebut merupakan pisau bermata dua. Satu sisi memajukan peradaban Islam, dan di sisi lain menyerang akidah umat Islam. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa umat Islam berusaha melunakkan diri dengan mengakomodasi praktik dan paham lokal, yang hingga batas tertentu berujung sinkretisasi.
Jika menilik pada kasus Islam di Jawa, catatan-catatan sejarah menunjukkan terjadinya percampuran antara akidah tauhid Islam dengan unsur-unsur perklenikan dan syirik. Gerakan anti TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat) yang digencarkan Muhammadiyah merupakan bentuk usaha menyegarkan akidah umat.
Apa yang terjadi saat ini sebenarnya tidak berbeda dengan dakwah sebelumnya, yaitu percaturan antara umat Islam dengan dunia klenik. Perklenikan pada masa pra modern adalah praktik perdukunan dengan cara-cara yang tidak masuk akal tetapi dipercayai banyak orang. Praktik tersebut bertentangan dengan pandangan Islam bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, manusia harus menyembah dan meminta kepada-Nya.
Sedangkan perklenikan masa modern adalah meminta bantuan pada paham-paham yang secara terselubung menanggalkan akidah umat Islam. Tarmizi Taher menyebutkan dua paham yang dapat mengaburkan akidah Islam, namun dipercaya banyak orang. Dua paham tersebut adalah kapitalisme dan komunisme.
Tarmizi (2002) mengatakan, “Masyarakat modern yang kapitalis mengalami dehumanisasi (menipisnya nilai manusiawi) dan masyarakat modern yang komunis secara konsepsional bersikap ateis atau anti Tuhan.”
Jika menggunakan paradigma Islam, maka kedua paham tersebut tidak logis, karena merendahkan manusia dan menentang tauhid, sekaligus merupakan cara pandang yang bebas nilai. Tarmizi menilai harus ada upaya untuk ‘Menyegarkan Akidah Tauhid Insani (MATI) di era klenik’.
‘MATI’ di Era Klenik
Inti dari gagasan Tarmizi Taher, ‘MATI’ di Era Klenik, adalah membersihkan kembali akidah umat Islam dari polusi budaya tradisional dan budaya modern yang penuh kemusyrikan. Umat Islam harus meyakini dan mempraktikkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta).
Akidah merupakan aspek paling penting dalam keislaman seseorang, sehingga perlu mendapat penjagaan yang ketat. Tarmizi mengutip pendapat Muhammad Abduh, “Manusia hidup menurut akidahnya, jika akidahnya benar maka benar pula jalan hidupnya.”
Ulama sebagai pewaris para nabi merupakan orang yang bertugas untuk menyegarkan akidah tauhid insani. Selain itu, orang tua muslim wajib memberikan fasilitas memadai guna menjaga akidah anak-anaknya. Segala akulturasi budaya yang mengancam akidah umat harus ditangani dengan khusus dan serius.
Bagi Tarmizi, keluarga memainkan peran penting dalam menyukseskan ‘MATI’ di era klenik ini. Misi penanaman tauhid kepada anak harus ada sejak usia dini. Orang tua perlu membekali anak dengan iman dan ilmu pengetahuan, sebab keduanya menjadi asas amalan-amalan di masa mendatang. Sehingga, tidak ada alasan untuk menyudutkan bahwa Islam menjadi kendala kemajuan.
Menurut Tarmizi, iman dan takwa kepada Allah merupakan rumusan yang mengarahkan sekaligus mengamankan manusia dari ateis dan dehumanisasi. Ia berpendapat ada empat strategi untuk mencapai masyarakat yang beriman dan bertakwa.
Pertama, meningkatkan pengamalan ajaran agama. Kedua, meningkatkan peran sebagai penggerak umat. Tiga, menanggulangi dampak negatif modernisasi. Empat, mengimbangi proses modernisasi dengan bentuk pikiran-pikiran ilmiah.
Editor: Lely N