Kemajuan teknologi serta pesatnya industrialisasi menyebabkan dampak yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Berbagai macam krisis menimpa kehidupan manusia, permasalahan semakin menumpuk, tetapi kekosongan selalu mengisi jiwa. Hal ini menjadikan tasawuf sebenarnya hal yang penting bagi manusia, terutama tasawuf ala Syekh Ibrahim al-Kurani. Namun, apakah dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan sufi tidak sesat?
Banyak yang beranggapan bahwa tasawuf itu tidak penting. Tasawuf masih menjadi disiplin ilmu yang masih dipandang sebelah mata, jika dibandingkan dengan disiplin ilmu lain seperti ilmu fiqih, tafsir, dan hadis. Ketidakseimbangan dalam diskursus ilmu agama Islam ini menimbulkan krisis spiritual dalam umat Islam sekarang.
Bahkan ada saja sebagian kaum yang menilai bahwa tasawuf hanya mengelabuhi umat dengan slogan-slogan, pernyataan tidak mendasar dan klaim kosong. Ajakan untuk menyucikan hati, membina akhlak, untuk mempermudah dalam mengajak umat agar ikut dalam ajaran tasawuf dianggap sebagai tipuan belaka.
Benarkah Sufi Tidak Sesat?
Dari segi kebahasaan, tasawuf memiliki beberapa asal kata, antara lain; shopos (hikmat), sufi (suci), shuf (bulu domba kasar, lambang kesederhanaan). Semua itu menggambarkan keadaan yang selalu bertujuan pada kesucian jiwa, pola hidup sederhana, mengutamakan kebaikan dan panggilan Allah.
Menurut Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, tasawuf adalah membersihkan hati dari kecenderungan pada keduniawian, memadamkan sifat-sifat buruk manusia, menjauhkan tuntunan hawa nafsu, mengkaji hakikat, melakukan perbuatan semata karena Allah, tunduk dan patuh kepada Rasul serta mengikuti dalam hal syariat. Dari sini dapat dinilai bahwa sesungguhnya sufi tidak sesat.
Sederhananya, tasawuf adalah ilmu yang mengajarkan sikap mental seorang seharusnya dalam berhubungan dengan Tuhan dan makhluk berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Intisari dari ajaran tasawuf memfokuskan pada kesadaran akan adanya komunikasi antara ruh manusia dengan Tuhan.
Terdapat para teladan sufi dalam sejarah, seperti Jabir ibn Hayyan, seorang ilmuwan muslim yang terkenal, merupakan seorang pelaku tasawuf. Al-Junaid yang dikenal sebagai sufi, merupakan seorang pengusaha. Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili, tokoh sufi terkenal adalah seorang petani sukses.
Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf sesungguhnya tidak memisahkan atau menyingkirkan dunia secara total. Hanya saja, para pelaku tasawuf memagari dunia agar mendapatkan ketenangan dan keteduhan jiwa. Karena itu, sufi bisa disebut tidak sesat.
Syekh Ibrahim Al-Kurani
Syekh Ibrahim Al-Kurani, seorang mahaguru para ulama nusantara, menulis sebuah kitab, yaitu Ithaf al-Dhaki, sebagai komentar atas kitab al-Tuhfah al-Mursalah (kitab tentang ilmu hakikat). Dahulu, kitab tersebut masuk ke Nusantara dan diajarkan tanpa memahami terlebih dahulu syariat Nabi. Hal ini menyebabkan adanya kesalahpahaman dalam pengambilan ilmu dari kitab yang ditulis oleh Syekh Al-Burhanburi itu.
Syekh Ibrahim Al-Kurani menulis komentar atas kitab tersebut supaya dapat menjelaskan masalah-masalah yang dibahas dengan prinsip dasar agama, yang diperkuat dengan dalil al-Quran dan hadis.
Syekh Ibrahim Al-Kurani menjelaskan bahwa ada hal-hal penting yang harus dipahami oleh seseorang yang ingin memperdalam ilmu ini, agar tidak adanya kesalahpahaman atas apa yang disampaikan pada maksud utama dari ilmu tasawuf. Setidaknya ada tujuh hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Al-Quran dan Hadis sebagai Landasan Utama
Pertama, meyakini dan tidak meragukan bahwa al-Quran dan hadis sebagai landasan utama, adalah timbangan bagi semua timbangan. Dan tidak ada kitab suci lainnya yang mampu menaunginya. Tasawuf harus senantiasa sejalan dengan ajaran Islam dalam al-Quran dan hadis.
Ketika al-Quran menaungi kitab-kitab suci lainnya, menandakan bahwa kitab-kitab umum pun ikut ternaungi di dalamnya. Dan hadis adalah penjelasan pada apa yang terdapat dalam al-Quran, sesuai apa yang disabdakan oleh Nabi SAW, “Aku telah tinggalkan untukmu Kitabullah dan Sunahku, maka berilah penjelasan Al-Quran dengan Sunahku, niscaya penglihatanmu tidak akan buta, kakimu tidak akan tergelincir, dan tanganmu tidak akan terpotong, selama kamu memegang teguh keduanya.”
2. Makna Tersurat dan Tersirat dari Ayat al-Quran
Kedua, membenarkan bahwa terdapat dua sisi makna dalam ayat Al-Quran, yaitu makna yang tersurat dan tersirat. Setiap maknanya tidak bertentangan, melainkan terdapat makna lahir dan batin dari ayat tersebut. Diriwayatkan sebuah hadis dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf, setiap ayatnya mengandung makna lahir dan batin, dan dalam setiap hurufnya terdapat batasan serta keleluasaan…”
Pada dasarnya, menolak makna tersurat adalah pendapat golongan Bathiniyah. Mereka hanya memandang satu sisi dari sesuatu, serta tidak peduli dan tidak memahami akan keseimbangan alam. Ia sama halnya seperti penolakan makna tersirat sebagaimana pendapat golongan Hashwiyah, yaitu kelompok yang berpikir sebatas harfiyah.
Jadi, orang yang hanya meyakini makna tersurat dapat disebut sebagai seorang Zahiri dan Hashwi. Dan orang yang hanya meyakini makna tersurat dapat disebut sebagai seorang Batini. Sedangkan orang yang meyakini kedua-duanya adalah seorang yang sempurna, paradigma yang perlu dimiliki dalam tasawuf.
3. Bertasawuf Merujuk Pada Para Salaf
Ketiga, berkeyakinan seperti para ulama saleh terdahulu (al-salaf al-salih) agar terhindar dari penafsiran yang keliru yang hanya mengandalkan akal pikiran, dan tidak mencampur antara keyakinan dengan analogi belaka. Dibutuhkan juga penunjuk (guru) agar tidak salah ketika memahaminya.
Al-Imam Al-Syafi’i berkata, “Akal itu memiliki batas di mana ia berhenti, seperti halnya penglihatan juga memiliki batas di mana ia melihat.” Diharuskan untuk meyakini bahwa akal memiliki keterbatasan dalam memahami dan mengetahui tentang al-Haq.
4. Tidak Mendustakan Ilmu Para Sufi
Keempat, tidak mendustakan ilmu-ilmu yang berasal dari para sufi yang saleh dan jujur, karena mereka tidak menyampaikan sesuatu yang menyimpang dari syariat.
Inilah sikap paling dasar yang harus dimiliki sebelum terjun ke dalam dunia tasawuf. Derajat terendah seorang pencari ilmu adalah membenarkan apa yang dialami dan diajarkan oleh para sufi (yang mengikuti syariat) adalah benar, tidak ada penyimpangan terhadap syariat.
5. Wahdah al-Wujud Sesuai dengan Syariat
Kelima, meyakini bahwa tidak adanya kontradiksi antara konsep wahdah al-wujud dengan syariat untuk mematuhi segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah. Tidak ada alasan bagi seorang pelaku tasawuf untuk meninggalkan syariat dengan dalih sudah dekat dengan Allah, merasa bahwa dirinya sudah kasyaf.
Perlu adanya keyakinan dengan yang sebenar-benarnya bahwa ilmu hakikat itu berbanding lurus dengan kewajiban syariat. Orang sering menyalahpahami tasawuf bahwa bila sudah mencapai tingkatan tertentu, maka tidak perlu mengikuti syariat. Hal ini salah dan perlu diluruskan.
Wahdah al-wujud juga tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Al-Junaid, “Tauhid adalah memisahkan yang tidak diciptakan dari yang diciptakan.” Serta tidak bertentangan dengan ucapan golongan ahlu sunnah, yaitu “Tauhid adalah penolakan terhadap al-Tasybih dan al-Ta’til.”
6. Tetap Beribadah Sesuai Syariat
Keenam, tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh syariat, seperti apa yang disebutkan pada poin sebelumnya bahwa tidak adanya kontradiksi antara tasawuf dan syariat. Menandakan bahwa tasawuf tidak menggugurkan kewajiban dalam melakukan syariat, seperti salat, puasa, zakat, dan juga haji.
Wallahu a’lam bi shawaab
Editor: Shidqi/Nabhan