Buya Hamka dan Tasawuf Modern
Tasawuf Modern–Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 dikenal dengan masa Renaissance atau masa kebangkitan bagi bangsa Barat. Masa kebangkitan tidak hanya membangkitkan semangat bangsa Barat untuk melakukan ekspansi di beberapa negara, melainkan juga membangkitkan semangat spiritual bagi dunia Barat dan dunia Islam.
Kebangkitan spiritual di dunia Barat ditandai dengan munculnya gerakan fundamentalisme agama dan kerohanian. Adapun di dunia Islam khususnya di Indonesia, kebangkitan spiritual ditandai dengan lahirnya beberapa gerakan tarekat di beberapa wilayah.
Kebangkitan spiritual agama Islam pada masa itu bersamaan dengan ekspansi Belanda di Indonesia. Sehingga, sangat memungkinkan munculnya beberapa aliran tarekat yang modern di beberapa wilayah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Salah satu tokoh tarekat yang terkenal pada masa itu adalah Buya Hamka.
Biografi dan Perjalanan Hidup Buya Hamka
Tentu, nama Buya Hamka bukanlah nama yang asing di telinga masyarakat. Buya Hamka sendiri memiliki nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka lahir pada hari Ahad malam, 16 Februari 1908 atau bertepatan dengan 13 Muharram 1326 H.
Hamka menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 78 tahun pada tahun 1981. Kampung halaman Hamka berada di Ranah Minangkabau, Desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatra Barat.
Hamka merupakan anak laki-laki tertua di keluarganya dan hal ini yang menjadikan Hamka menjadi tumpuan untuk melanjutkan dakwah yang telah dijalankan kakek dan ayahnya.
Seperti anak Minangkabau pada umumnya, Hamka belajar mengaji dan tidur di surau. Hamka-pun menjalankan sekolah hingga kelas dua tingkat sekolah dasar. Pada sore harinya, Hamka pergi untuk belajar diniyah di sebuah madrasah yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labai el-Yunusi yang merupakan ulama yang sepaham dengan ayah Hamka, Haji Abdul Karim.
Pada abad ke-20, muncul beberapa organisasi politik keagamaan yang salah satunya yaitu Sarekat Islam di Yogyakarta. Hingga pada akhirnya, tahun 1924 Hamka memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta dan tinggal bersama pamannya di sana.
Di Yogyakarta inilah Hamka aktif dalam organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Tahun 1925, Hamka kembali ke Minang dan dikenal sebagai ulama muda yang disegani walau saat itu usianya masih 17 tahun.
Akan tetapi, dua tahun setelah kembali ke tanah kelahirannya, Hamka memutuskan untuk berhaji ke Mekkah sekaligus memperdalam ilmu pengetahuannya.
Hamka menetap di Mekkah selama tujuh tahun. Di sana, Hamka dapat berguru langsung kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabauwi. Di Mekkah pula, Hamka bekerja di perusahaan percetakan milik mertua Syekh Ahmad Khatib Minangkabauwi sehingga kecintaannya pada membaca terpenuhi. Setelah menunaikan haji, Hamka bertemu dengan Agus Salim yang menyarankan Hamka untuk segera pulang ke tanah air.
Buya Hamka Berbicara tentang Tasawuf Modern
Kepulangan Hamka ke tanah air ini tidak hanya disambut hangat oleh ayahnya, melainkan juga sangat aktif di dunia kepenulisan. Dalam karyanya, Hamka menulis beberapa kajian yang berkaitan dengan tasawuf.
Kajian tasawuf tersebut tertuang dalam beberapa karya beliau yang berjudul Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Akhlakul Karimah, Lembaga Budi, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, pada tahun 1959, Hamka secara resmi menerima gelar Doktor Honoris Causa atas pemikirannya yang dituangkan dalam ceramahnya di Al-Azhar, Mesir, dengan makalah yang berjudul Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Gelar itu merupakan gelar yang pertama kali diadakan oleh Al-Azhar dan diberikan pertamakali pula kepada Hamka.
Empat Konsep Tasawuf Modern Menurut Hamka
Dalam kajian tasawuf modern-nya, Hamka lebih menekankan pada konsep tauhid. Menurutnya, seorang sufi harus menempatkan Tuhan dalam skala “tauhid”. Tauhid sendiri memiliki makna “Tuhan yang Esa itu ada pada posisi transenden (berada di luar dan di atas terpisah dari makhluk) tetapi sekaligus terasa dekat dalam hati (qalb). Hal ini bermakna bahwa Tuhan tidak ditempatkan “terlalu jauh” tetapi juga tidak “terlalu dekat”.
Hamka juga menekankan tasawuf melalui taat beribadah dan merenungi hikmah di balik ibadahnya tersebut. Kehidupan tasawuf bisa dikatakan berhasil apabila seseorang tersebut memiliki etos sosial dan kepekaan sosial yang tingi.
Adapun konsep dari tasawuf modern Hamka meliputi konsep hawa nafsu dan akal, ikhlas, qona’ah, tawakal, kesehatan jiwa, dan konsep malu.
Hawa Nafsu Menurut Hamka
Hamka mendefinisikan hawa nafsu dengan hawa yang berarti “angin”. Ada tiga tingkatan dalam perjuangan melawan nafsu. Tingkatan pertama adalah ketika kalah dalam melawan nafsu sehingga diperbudak oleh nafsu. Tingkatan selanjutnya adalah kondisi peperangan antara seseorang dalam melawan nafsu sehingga timbul istilah kalah dan menang.
Sedangkan tingkatan terakhir adalah kondisi seseorang ketika dia yang mengendalikan nafsu. Hamka menuturkan bahwa tidak selamanya hawa nafsu itu tercela.
Adakalanya hawa nafsu yang terpuji seperti kehendak untuk mempertahankan diri, berikhtiar, dan menangkis marabahaya. Adapun akal, Hamka artikan sebagai “ikatan”. Hal ini dikarenakan akal selalu mengikat manusia dan dengan akal pula manusia dapat membedakan yang tecela dan yang terpuji.
Ikhlas Menurut Hamka
Pada konsep ikhlas, Hamka mengartikan iklhas dengan bersih atau murni. Bahkan Hamka mengibaratkan ikhlas itu ibarat emas murni yang tdak tercampur apapun.
Permisalan dari ikhlas dicontohkan dengan sebuah pekerjaan yang dikerjakan tanpa pamrih dan mengerjakannya sesuai dengan tujuan dasarnya. Ikhlas memiliki lawan sifat yaitu isyrak. Apabila ikhlas sudah masuk ke dalam hati, maka isyrak tidak bisa masuk begitu juga sebaliknya.
Qona’ah Menurut Hamka
Dalam konsep qona’ah, Hamka menuturkan bahwa ada lima perkara pokok dalam qona’ah. Perkara itu antara lain menerima dengan rela akan apa yang ada, memohon dengan sepantasnya kepada Allah dan tentu dibarengi dengan usaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Allah, bertawakal kepada Allah, dan tidak tertarik dengan tipu daya dunia.
Qona’ah tidak hanya bersikap rela atas apa semua keadaan, tapi merupakan sifat untuk menjaga kesederhanaan agar hati tidak tenggelam dalam gelombang dunia. Adapun konsep tawakal Hamka artikan dengan menyerahkan segala perkara, ikhtiar, serta usaha kepada Allah.
Kesehatan Jiwa Menurut Hamka
Konsep tasawuf berikutnya adalah kesehatan jiwa. Hamka berpendapat bahwa dalam menjaga kesehatan jiwa diperlukan sifat syaja’ah (berani pada kebenaran), iffah (pandai menjaga kehormatan batin), hikmah (tahu rahasia dari pengalaman kehidupan), dan ‘adalah (adil walaupun kepada diri sendiri).
Keempat sifat ini merupakan pusat sifat dari budi pekerti. Dalam sifat ini, apabila berlebihan maka akan menimbulkan sifat zalim dan apabila kekurangan akan menimbulkan sifat hina. Maka, kesehatan jiwa yang sejati adalah sifat yang berada di tengah, tidak berlebihan dan kekurangan.
Konsep yang terakhir yaitu konsep malu, amanah, dan benar. Sifat malu dapat membawa orang kepada menahan nafsu. Adapun sifat amanah berartikan dipercaya.
Amanah ini merupakan sikap yang penting karena manusia tidak mungkin hidup sendiri. Sedangkan sikap yang terakhir adalah benar yang tentunya juga menjadi tiang dalam kehidupan bermayarakat.
Editor: Yahya FR