IBTimes.ID – Agar tidak mengalami kemandekan dan kemunduran, umat Islam perlu memahami ulang teologi yang selama ini dianut. Muhammad ‘Abduh adalah pelopor gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah serta ijtihad” yang mencoba melakukan penafsiran ulang terhadap ajaran-ajaran teologi Islam. Abduh sangat mewarnai gerakan pembaruan Islam abad ke-19 dan 20 bahkan hingga sekarang.
Dalam jurnal Teosofi Volume 2 Nomor 2 Desember 2012 yang berjudul “Teologi Muhammad ‘Abduh: Kajian Kitab Risalat al-Tawhid”, Hadi Ismail, penulis jurnal tersebut menyebutkan tiga pokok bahasan dalam Kitab Risalat at-Tawhid. Tiga pokok bahasan tersebut antara lain kedudukan akal dan fungsi wahyu, kebebasan manusia dan fatalisme, dan sifat-sifat Tuhan.
Relasi Akal dan Wahyu
Menurut Muhammad Abduh, umat sebelum Islam sudah mengenal tauhid. Namun, tidak banyak dari mereka yang menggunakan akal untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan agama. Alih-alih menggunakan akal, mereka bahkan menganggap akal selalu bertentangan dengan agama.
Maka, datangnya agama Islam adalah untuk menghapus paham tersebut. Alquran tidak hanya datang dengan cerita, namun juga dengan dalil dan fakta yang dapat mematahkan kepercayaan penentangnya. Sehingga diperlukan dalil akal, dibangkitkan pikiran, dan diperlihatkan undang-undang alam yang sesuai dengan akal. Kemudian masyarakat diajak untuk memahami alam menggunakan akal untuk menemukan kebenaran.
Dalam Kitab Risalat at-Tawhid, Abduh menulis bahwa agama Islam adalah agama yang satu (tauhid) dalam akidahnya, akal adalah alat penopangnya, sedangkan teks-teks keagamaan adalah yang menguatkan rukun-rukunnya. Selain keduanya adalah tipu daya setan dan hawa nafsu para penguasa.
Menurut Abduh sebagaimana dikutip oleh Hadi Ismail, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat.
“Akan tetapi, kekuatan akal manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena itu, Abduh membagi manusia ke dalam dua golongan: khawwas dan ‘awam,” ujar Hadi.
‘Abduh juga sangat menentang taklid buta. Baginya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam di abad modern. Ia mengecam taklid yang terdapat di setiap lini kehidupan Muslim. Karena, dengan adanya taklid, perkembangan Islam menjadi statis.
Lebih jauh, ‘Abduh menyebut bahwa akal dapat mengetahui hal-hal tersebut, antara lain:
- Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
- Keberadaan hidup di akhirat
- Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
- Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
- Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagian akhirat.
- Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Adapun wahyu menurut ‘Abduh mempunyai fungsi sebagai berikut:
- Wahyu memberikan keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Dengan wahyu, akal mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana.
- Wahyu membantu akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat
- Wahyu membantu akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterima kasih kepada Allah.
- Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang berguna bagi manusia.
Kebebasan Manusia dan Fatalisme
‘Abduh berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan memilih. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang dimiliki.
Meskipun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan absolut. Kebebasan manusia dibatasi oleh kehendak Tuhan yang berupa sunnatullah. Allah telah menciptakan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seluruh makhluk, tak terkecuali bagi manusia.
Jadi, kebebasan manusia terletak pada hak pilihnya terhadap sunnatullah yang ada. Jika manusia ingin pandai maka, ia haruslah memilih sunnatullah yakni belajar agar supaya bisa pandai, bukan hanya menunggu untuk menjadi pandai. Pendapat tersebut sama dengan pendapat gurunya, Jamaludin Al-Afghani.
Keyakinan yang benar tentang masalah qada’ dan qadar, imbuh Abduh, akan membawa umat Islam ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran, karena itu dapat menyebabkan manusia bermalas-malasan dan tidak suka bekerja keras, seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.
Sifat-Sifat Tuhan
Menurut Hadi Ismail, ‘Abduh berpendapat jika manusia menggunakan akalnya, maka dia akan meyakini bahwa Allah adalah Zat yang maha sempurna. Dia menawarkan cara untuk mengetahui kesempurnaan Allah dengan memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya, baik yang kasat mata, insting ataupun yang hanya ada di dalam angan-angan.
Menurut ‘Abduh, Zat Allah tidak berbentuk dan tidak tersusun dari apapun, oleh karena itu, akal manusia tidak dapat mengetahui Zat-Nya secara nyata, tetapi yang dapat diketahui adalah dampak-ampaknya yang kemudian berubah sebagai ciptaan-Nya.
“Dia menganalogikan Zat Allah seperti cahaya yang tidak dapat diraba dan dirasa, sehingga hakikat dari cahaya tersebut tidak dapat dipahami oleh manusia, meskipun kita yakin akan keberadaan cahaya tersebut lewat kedua mata kita,” tulis Hadi.
Kenikmatan akal adalah jika dapat mengetahui sifat-sifat itu, serta dapat mengkaitkannya dengan dasar-dasar yang ditetapkan oleh akal. Maka, usaha untuk mengetahui hakikatnya merupakan perbuatan yang sia-sia, karena menghabiskan waktu.
Kendati merupakan seorang rasionalis, Abduh meyakini bahwa memikirkan Zat Allah (mencari hakikatnya) adalah larangan yang tidak boleh dilakukannya, karena akal tidak mampu untuk mengarah kesana, disinilah letak keterbatasan akal. Pembicaraan panjang tentang Zat Allah ialah perbuatan yang sia-sia dan merusakkan, sia-sia karena berusaha atas sesuatu yang tidak akan diketahuinya dan merusakkan karena mendorong pada kerancuan dalam akidah.
“‘Abduh menyikapi pernyataan di atas dengan mendahulukan sikap taslîm dan tafwîd (menyerahkan persoalan kepada Allah) tanpa harus berdebat yang justru akan membawa pada kesesatan. Ia lebih bersikap sederhana saja dalam berteologi,” tulis Hadi. Dalam hal ini ia terlihat seperti bukan Muhammad ‘Abduh yang selalu berani mendobrak batasan-batasan akal.
Reporter: Yusuf