Perjumpaan Pertama Kali dengan Buya Syafii
Teladan Buya Syafii – Pertama kali berjumpa dengan Buya Syafii Maarif di kampus UIN Sunan Kalijaga tahun 2013 sebagai mahasiswa baru (maba) di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
Kala itu, Buya Syafii bersama Allahu yarham K.H. Hasyim Muzadi, memberikan kuliah umum. Sebagai maba, mendengarkan orasi keduanya meningkatkan ghirah perkuliahan saya.
Selang beberapa tahun, tanggal 23 Maret 2017, saya diberikan kesempatan untuk menjadi panitia bedah buku “Islam” karya Fazlur Rahman dengan narasumber utama disampaikan oleh Buya Syafii Maarif.
Rasanya tidak ada yang tepat untuk membedah cakrawala pemikiran Rahman selain Buya. Sebab beliau adalah salah satu cendekiawan yang sanad keilmuannya “muttashil” kepada pemikir Islam modern tersebut.
Proses menjadi panitia bedah buku memberikan kesempatan kepada saya untuk memotret laku Buya di belakang panggung. Sungguh di luar dugaan, Buya yang saat itu masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (kalau tidak salah ingat) dan masih sering bolak-balik Yogyakarta-Jakarta untuk memberikan kuliah dan urusan lainnya di ibukota, menampakkan sosok yang sangat sederhana.
Berangkat ke kampus menggunakan bus Trans Jogja dan saat azan Zuhur berkumandang, beliau langsung melaksanakan salat di ruang transit tamu. Sungguh pemandangan yang sangat kontras tatkala sebagian orang menganggap Buya sebagai tokoh “liberal”.
Nasihat dari Buya Syafii di Acara Bedah Buku
Melalui bedah buku tersebut, ada satu nasihat yang sampai saat ini masih membekas dalam benak saya, yaitu “bacalah Al-Qur’an dengan ‘aqlun sahih dan qalbun salim, akal yang sehat dan jiwa yang selamat”. Nasihat Buya ini sungguh sangat relevan dan perlu menjadi pembelajaran bagi kita.
Membaca Al-Qur’an tidak sebatas asal rasional, melainkan dengan logika yang benar. Tidak hanya dengan akal, membaca kitab suci juga perlu diselami dengan jiwa yang tenang. Keberagamaan yang terlalu fokus pada akal, hanya membuat diri menjadi nir-rasa.
Sedangkan, sikap yang terlalu menitikberatkan hati akan membuat kita menjadi umat yang “baperan”, sedikit-sedikit marah dan tersinggung. Kombinasi keduanya akan melahirkan ajaran Islam yang utuh dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Inilah yang bisa kita lihat dari sikap Buya dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa. Buya sudah menghidupi ‘aqlun sahih wa qalbun salim. Tahun 2016, ketika kasus politisisasi agama yang menyeret Ahok, Buya adalah di antara sedikit tokoh yang lantang membelanya.
Buya Syafii Selalu Berpihak kepada Kebenaran
Ketika banyak kasus intoleransi, tempat ibadah diserang dan dihancurkan, kelompok minoritas dipersekusi, Buya tampil melindungi kelompok al-mustadh’afin (termarjinalkan) tersebut.
Tatkala KPK ingin dilemahkan, beliau juga hadir mengkritik habis-habisan. Posisi beliau pun jelas dalam konstelasi konflik Israel-Palestina, mendukung kemerdekaan Palestina dengan menolak segala bentuk penjajahan. Sebagai guru bangsa, beliau telah menjadi pribadi yang melampaui urusan politik tanpa budi.
Bahkan di awal pandemi, ketika banyak dokter yang gugur, Buya secara tegas berpesan kepada Presiden, “Sebagai salah seorang yang tertua di negeri ini, batin saya menjerit dan tergoncang membaca berita kematian para dokter yang sudah berada pada angka 115 pagi ini plus tenaga medis yang juga wafat dalam jumlah besar pula”.
Wejangan Buya perlu diperhatikan oleh generasi muda. Laksana nasihat dari orang tua kepada sang anak, beliau memberikan penuturan untuk kemajuan bukan kemapanan. Buya tidak segan mengkritik sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan koridor bangsa yang termaktub dalam Pancasila. Sesuatu yang pahit tetap harus disampaikan, meskipun tidak semua orang siap untuk mendengarkan.
Dalam refleksi terbaru yang beliau tulis di Kompas (31 Mei 2021), beliau dengan cadas mengatakan, “kita tak sungguh-sungguh mengurus bangsa dan negara ini jika Pancasila sebagai dasar filosofi negara dijadikan parameter utama. Saya ulangi, Pancasila hanyalah didudukkan sebagai etalase politik. Sedangkan perilaku sebagian penguasa, pengusaha, politisi, dan tak mustahil para tokoh agama, secara telanjang telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila itu dalam perbuatan”. Kritik Buya menyongsong hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni itu seharusnya menjadi pengingat, tak perlu berkata “saya Pancasila”, cukup buktikan dalam tindakan nyata.
Buya Syafii: Teladan Otentik untuk Kaum Muda
Gagasan yang disampaikan Buya semakin berkesan melalui kekuatan gaya tutur dan tulis beliau. Boleh dikatakan Buya Syafii adalah Buya Hamka yang hidup saat ini. Setidaknya beliau mewariskan keluwesan Buya Hamka dalam menulis. Jika Hamka melahirkan magnum opus tafsir Al-Qur’an, maka Buya Syafii menorehkan tafsir kehidupan yang tersebar dari berbagai karya yang beliau hasilkan.
Bahasa Buya begitu lugas, tegas dan bernas. Siapa pun yang membaca tulisan beliau tentu dapat merasakan kekuatan kata yang tersimpan di dalamnya. Tulisan-tulisan Buya hadir sebagai refleksi dari pemikiran panjang beliau menyerap berbagai petuah kebijaksanaan.
Delapan puluh enam tahun sudah beliau menjadi saksi perjuangan bangsa dari masa ke masa. Sejak era sebelum merdeka hingga reformasi yang kian direka. Di usia yang tak lagi muda, Buya tetap mewariskan semangat muda, idealisme yang tak kunjung sirna.
Bahkan di akhir tahun 2020 silam, beliau sempat masuk ke rumah sakit untuk operasi pengangkatan batu ginjal. Tak berselang lama, beliau juga terkena covid dengan status Orang Tanpa Gejala (OTG).
Melihat hal itu, orang terdekat Buya memberi nasihat agar beliau tidak usah berpikir yang berat-berat, cukup pulihkan kesehatan Buya saja. Namun, jawaban Buya sungguh membuat kita terhentak, “yang membuat saya sehat adalah berpikir dan menulis”. Mana suara anak muda yang sering mengatakan mager (malas gerak), malulah dengan semangat Buya yang di tengah sakit terus berkarya tiada henti.
Selamat Tahun Buya Syafii Maarif, Semoga Selalu Menjadi Teladan!
Karenanya kehadiran Buya bukan lagi sebatas sebagai tokoh Muhammadiyah. Beliau telah melampaui itu. Ibu Susi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kesempatan memperingati ultah Buya ke-86 menegaskan, “jangan lelah untuk berbicara, jangan sungkan untuk membentak, berkata lantang jika sesuatu itu tidak benar untuk menjaga persatuan Indonesia. Tampar kami dengan literasi Buya yang menyakitkan tapi benar”.
Selamat Ulang Tahun ke-86, Buya Syafii Ma’arif. Tak ada doa terbaik yang kami panjatkan selain limpahan kesehatan dan kekuatan untuk terus menjadi oase bagi negeri, memancarkan kesejukan di tengah kekeringan spiritual, memberikan ketegasan di tengah kegamangan sosial, menampakkan kesederhanaan di tengah kemewahan individual, teruslah menjadi teladan bagi kemanusiaan. Wallahu a’lam.
Editor: Yahya FR