IBTimes.ID, Jakarta (26/10/24) – Tantangan di era digital semakin besar karena informasi sangat mudah disebarluaskan dan diterima sebagai sebuah kebenaran. Itulah sebabnya, pemuda sebagai agen-agen perubahan, perlu memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking) yaitu kemampuan berpikir analitis, evaluatif, bahkan kreatif.
“Tantangannya di era digital sekarang semakin besar, karena begitu mudahnya melontarkan dan menelan berita bohong, hoaks, bahkan fitnahan, yang dapat memecah belah bangsa dan menimbulkan kebencian terhadap sesama manusia. Hanya modal jempol, tanpa menggunakan akal sehat, apalagi nalar kritis,” kata Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam rangka Hari Sumpah Pemuda yang diadakan Institut Leimena bekerja sama dengan Maarif Institute, Jumat (25/10/2024) malam.
Dalam webinar yang mengangkat tema “Peran Pemuda di Era Digital dalam Memperkuat Kerja Sama Lintas Agama dan Budaya di Dunia yang Terpolarisasi dan dihadiri pembicara kunci Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti tersebut, Matius mengatakan para pemuda tahun 1928 menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi luar biasa karena mereka mampu menganalisa, hingga menghasilkan sebuah gagasan cemerlang yang dirumuskan dalam Sumpah Pemuda.
Peristiwa Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang selama itu mudah terpecah belah dan diadu domba. Melalui Keputusan Kongres Pemuda, para pemuda dan pemudi dari lintas suku, agama, dan kepercayaan sepakat menjadi bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
***
“Apakah setelah hampir seratus tahun, kita semakin baik dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi ini? Atau justru semakin menurun, serta mudah dihasut dan diadu domba? Atau malah ikut-ikutan menyebar hoaks dan menebar kebencian?,” kata Matius.
Matius menegaskan peran pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Institut Leimena bersama Maarif Institute, dan 30 lembaga lainnya, telah mengadakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang memprioritaskan para guru dan pendidik lainnya untuk memperkuat kompetensi mereka sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan berpikir guru yang analitis, evaluatif, dan kreatif.
Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya menekankan pada pengembangan kompetensi agar kita mampu mengatasi masalah prasangka dan stereotip negatif kita terhadap orang yang berbeda agama, kepercayaan, atau bahkan berbeda budaya dari kita. Pada akhirnya, kita berani dan mampu membangun kerja sama dengan orang-orang yang berbeda tersebut, tanpa khawatir kita akan kehilangan identitas kita masing-masing yang unik.
“Inilah Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Berbeda tetapi tetap satu. Satu tetapi tetap berbeda,” kata Matius.
***
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo, mengatakan bahwa teladan Sumpah Pemuda tetap relevan untuk terus digelorakan dan diwujudkan dalam dunia yang terpolarisasi. Invansi digital dan teknologi internet menjadi kendaraan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ujaran kebencian, kabar palsu, dan berita bohong untuk memecah belah rasa kebangsaan dan kemanusiaan.
Andar menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah terwujud jika sesama anak bangsa Indonesia terjebak pada identitas primordial dan kultural masing-masing. Sumpah Pemuda menjadi konsensus pertama dalam sejarah bangsa Indonesia untuk bersatu dan bekerja sama membangun dan mewujudkan imajinasi kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.
“Untungnya, keragaman bangsa Indonesia itu tidak menghambat kolaborasi dan sinergi, tetapi justru menjadi modal intelektual, sosial, dan politik untuk membina-bangun dan mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia merdeka, adil, makmur dan aman sentosa,” kata Andar.
Andar menambahkan peristiwa yang terjadi hampir 1 abad silam memberikan keteladanan luhur bagi semua pihak, putra-putri bangsa Indonesia dan juga masyarakat global, bahwa persatuan dan kebersamaan dapat menggerakan inisiatif baik untuk menghalau persoalan kemanusiaan.
“Dunia digital perlu diisi dan direbut oleh energi dan inisiatif baik, seperti pada webinar kita malam ini, yang dihadiri lebih dari 2.200 orang dari berbagai negara, untuk terus menyuarakan dan mempromosikan sinergi dan kolaborasi dalam mempromosikan literasi keagamaan lintas budaya,” kata Andar.
Kerja sama program Literasi Keagamaan Lintas Budaya antara Institut Leimena dan Maarif Institute telah diadakan sejak Oktober 2021, sebagai kelas perdana Literasi Keagamaan Lintas Budaya yaitu program internasional peningkatan kapasitas guru-guru madrasah dan sekolah. Sampai Oktober 2024, kelas pelatihan LKLB telah dilaksanakan 58 kali dengan total alumni yang lulus sebanyak 9.160 guru dan pendidik lainnya dari 37 provinsi di Indonesia dari kalangan Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan sebelum tahun ini berakhir akan dilaksanakan kelas perdana untuk guru-guru agama beragama Konghucu.
(Soleh)