Oleh: Andika Setiawan
Ir H. Ahmad Soekarno atau akrab dengan sapaan Bung Karno merupakan anak dari pasangan suami istri Raden Soekemi Sastrodiharjo—masih memiliki keturunan dengan sultan Kediri—dan Ida Ayu Nyoman Ray—dari kasta Brahmana, keturunan bangsawan. Ia lahir di Lawang Seketeng Surabaya, pada hari Kamis, bulan Juni, tahun 1901.
Nama aslinya ialah Kusno, akan tetapi karena ia sering terkena penyakit malaria dan disentri, maka ia berganti nama menjadi Soekarno—nama ini dipilih oleh Soekemi karena dilihat dari segi historis dalam cerita Mahabarata, Karno atau Soekarno merupakan seorang adipati yang kuat, patriot yang saleh, pejuang bagi negaranya, dan ia juga seorang yang setia kepada kawan-kawannya, dan kepercayaanya. Setelah pulang ibadah haji pada tahun 1955, ada penambahan Ahmad di depan namannya.
Soekarno: Latar Belakang dan Kiprahnya
Saat bersama kakeknya—Raden Harjodikromo, seorang ahli kebatinan, Soekarno mulai menempuh pendidikan formal di sekolah dasar Tulung Agung. Kemudian ia pindah ke sekolah Angka Loro Sidoarjo. Selanjutnya di saat usianya telah memasuki 12 tahun, ia kembali pindah ke sekolah Angka Satu Mojokerto, dan karena kecerdasan yang ia miliki, membuat Soekemi untuk kesekian kalinya memindahkan Soekarno ke sekolah dasar Eropa Mojokerto atau Europeeshe Lagene School (ELS). Setelah lulus dari ELS, Soekarno melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burger School (HBS) yang merupakan sekolah menengah tertinggi di Jawa Timur yang terletak di Surabaya. Semenjak bersekolah di HBS Soekarno mulai mengenal teori Marxisme dari gurunya yang yang berpaham sosial demokrat—bernama C. Hartogh.
***
Meskipun Soekarno mendapatkan didikan dari Barat tetapi Soekemi menginginkan anaknya tidak meninggalkan identitasnya sebagai orang Jawa. Oleh karena itu, selama di Surabaya, Soekarno dititipkan Soekemi kepada HOS Tjokroaminoto—sahabat Soekemi. Dan saat ia tinggal bersama, Soekarno digembleng oleh HOS Tjokroaminoto dan ini adalah suatu rangakian untuk membentuk kepribadian Soekarno. Selain itu, Soekrano juga banyak belajar politik dari HOS Tjokroaminoto. Bahkan secara sadar Soekarno mengatakan bahwa HOS Tjokroaminoto telah merubah dan mempengaruhi hidupnya.
Setelah ia menyelesaikan pendidikannya—10 Juni 1921—di HBS, terbesit keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda, namun hal tersebut tak diizinkan Ibunya—karena Ida Ayu Nyoman Ray percaya nasib Soekarno ada di tanah Nusantara.
Lantaran hal tersebut, Soekarno lantas melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool) atau Institut Teknologi Bandung—sekarang. Di bandung ia pun dititipkan HOS Tjokroaminoto kepada kenalannya yang bernama Sanusi—memiliki istri bernama Inggit Ginarsih, yang nantinya menjadi istri Soekarno.
***
Di sana ia meneruskan aktivitasnya di ranah politik dan berhasil mencetuskan ide Marhaen—bagi kawula kecil. Ide itu muncul karena dialognya dengan seorang tani kecil yang bernanama Marhaen—dialog terjadi pada 25 Mei 1926. Singkatnya, selepas menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik dengan gelar insinyur (Ir) di bidang jalan raya dan pengairan di tahun 1926—dan saat ia memasuki usia yang ke-26 tahun, ia mencapai pada kematangan dalam berpikir.
Soekarno pun mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juni 1927, dengan dukungan beberapa koleganya yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia secara utuh.
Setelahnya pada 28 Oktober 1928 Ir Soekarno dengan para pemuda bersepakat untuk mengikrarkan sumpah pemuda. Kemudian ia bersama koleganya—Maskundan Supriyadinata—diamankan polisi terkait aktivitasnya yang dinilai mengganggu.
Bahkan menurut Gubernur Jenderal saat itu aktivitasnya merupakan persoalan yang serius—ia melakukan pidato ke hadapan khalayak ramai dengan judul Indonesia Menggugat—dan pada akhirnya Soekarno dan koleganya dijerat dengan pasal 169 KUHP tentang penyebaran rasa kebencian terhadap pemerintah Belanda dengan hukuman 8 bulan penjara.
Pengawasan begitu ketat yang dilakukan sipir penjara kepadanya dan ia pun dilarang secara keras membaca buku politik, membuatnya mulai mendalami agama Islam. Sebenarnya sejak umur 15 tahun sewaktu tinggal bersama HOS Tjokroaminoto, Soekarno telah belajar agama dan ia juga sering berdiskusi dengan A. Hassan pendiri Persatuan Islam.
Soekarno dan Muhammadiyah
Meskipun keduanya memilki perbedaan yang mencolok tentang Nasionalisme dan Islam, hubungan keduanya masih terjaga hingga suatu ketika ia ditangkap pihak Belanda dan ia pun diasingkan ke Endeh pulau Flores, mereka berdua melakukan diskusi meskipun hanya melalui surat menyurat—inilah yang kemudian surat menyurat antara keduanya dijadikan buku yang berjudul  Surat-surat Islam Dari Endeh.
Selanjutnya ia dipindahkan Belanda dari Endeh ke Bengkulu. Di Bengkulu ia menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah tahun 1938. Ia didaulat menjadi ketua bagian pengajaran Muhammadiyah daerah Bengkulu sekaligus merangkap sebagai pendidik di sekolah Muhammadiyah atas permintaan Hasan Din—ayah Fatmawati istri Soekarno, seorang konsul Muhammadiyah Bengkulu saat itu.
Ini yang jarang diketahui oleh mayoritas masyarakat Indonesia bahwa Ir Soekarno adalah warga Muhammadiyah, begitu pun sebagian warga Muhammadiyah dan beberapa kader-kader PDIP sendiri. Dilansir dari tempo.co (10/11/2019) saat Haedar Nasir diundang untuk menghadiri ceramah PDIP di kediaman Megawati, dan dalam ceramahnya ia mengulas tentang Ir Soekarno dan menjelaskan bahwa ia adalah kader Muhammadiyah, ternyata beberapa kader PDIP dalam forum itu baru mengetahui hal tersebut.
***
Menariknya saat Soekarno menjadi pengurus Muhammadiyah Bengkulu, ia mulai mengkritik masalah tabir, bagi Soekarno tabir merupakan bentuk perbudakan kepada kaum perempuan, pernah pula ia membuat surat terbuka untuk KH Mas Mansur terkait masalah tabir dan meminta dibahas dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Tidak heran jika ia bersikap demikian, karena memang ia sangat peduli dengan persoalan-persoalan perempuan. Ini tidak terlepas juga dari pengaruh Frederick Engels, Clara Zetkin dan Alexander Kollontai.
Soekarno menekankan perempuan harus keluar dari permasalahan rumah tangga seperti cuci piring, baju, dan sebagaianya. Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa merebut kemerdekaan ialah tanggang jawab bersama. Bukan hanya milik kaum laki-laki saja, kaum perempuan pun juga memilikinya. Di samping itu pula, ia menyatakan secara tegas bahwa perempuan memiliki andil yang besar dalam melahirkan tunas-tunas bangsa.
Feminisme Marxis-Sosialis merupakan paham yang dianutnya dalam melihat paradigma tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan perempuan. Paham ini juga berpandangan bahwa ketimpangan gender di dalam masyarakat terjadi akibat kapitalis mendukung sistem tanpa upah untuk perempuan di lingkungan rumah tangga.
Kita sering melihat kaum perempuan dalam ranah politik dan publik selalu saja kaum perempuan diposisikan menjadi kaum terpinggirkan. Dan kita lihat berapa persen kaum perempuan yang menduduki kursi daerah dan sebagainya. Maka dari itu, cita-citanya ialah emansipasi gender harus selalu ditegakkan di dalam ranah domestik dan publik.