Perspektif

Belajar Perbedaan dari Hal-hal Kecil

3 Mins read

Tentang Toleransi: Mengajarkan Perbedaan dari Hal-Hal Kecil — Desember tahun lalu, jelang Natal, anak perempuan saya yang berusia enam tahun minta dibelikan topi Natal bermotif Sinterklas. Tokoh baik hati itu dikenalnya ketika nonton Home Alone. Minggu lalu, anak saya kembali minta dibelikan hiasan Natal bermotif sama untuk digantung di pintu kamarnya.

Ada respon serupa dari kakak pelayan toko seperti tahun lalu ketika kami sedang memilih topi dan hiasan Natal. Padahal, ini dua toko berbeda di dua kota kecil berbeda dan transaksi yang berbeda juga. Tetapi reaksi dan ekspresi heran dari pelayan toko itu sama. “Untuk hadiah buk?” sambal memandangi saya yang berjilbab syar’i panjang menjuntai.

Aksesori Natal dan Perbedaan Kepercayaan

Bagi anak saya yang masih tujuh tahun, membeli topi Natal atau pernak-pernik lain menjelang Natal adalah kegembiraan. Dia suka warna-warni merah menyala, kuning keemasan atau warna putih perak bersinar yang membuat aksesoris Natal tampak cantik menawan. Aksesoris ini hanya mudah dijumpai jelang Natal bulan Desember. Dia tak akan melewatkannya. Saya pun suka.

Dia bahkan memilihkan satu hiasan Natal untuk aksesoris mobil, padahal kami tak punya mobil. Saya teringat saran seorang teman yang sekarang menyetir mobilnya sendiri. “Cara untuk beli mobil itu, Kakak beli aksesorisnya dulu. Nanti mobilnya menyusul,” Jangan-jangan, itu maksud anakku, ahaha.

“Ini untuk mobil Tulang,” katanya. Tulang, adalah sebutan Paman, bagi orang Batak. Yang dimaksud Tulang oleh anak saya adalah teman laki-laki saya yang akrab dengan keluarga kami, sudah seperti saudara. Seorang laki-laki Batak, Kristen dan sudah beristri. Anak saya memanggil istrinya Nantulang. Saya sendiri perempuan Banjar dan Muslim.

Baca Juga  Belum Untung, Sudah Buntung: Balada Pesohor yang Berpaling ke Dunia Politik

Nak, Mainan Tidak Memiliki Jenis Kelamin

Ternyata, “membiarkan” anak saya menyukai, membeli dan memberi hadiah Natal kepada “orang Kristen” adalah perjuangan tersendiri. Tidak mudah membuatnya mengerti bahwa di lingkungan sosial kita tidak hanya ada Islam, tapi juga ada Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan lain. Tidak hanya berbagai aksesoris untuk perayaan hari raya beragam agama, tetapi juga beragam tradisi, ritual, dan beragam perilaku orang-orang yang merayakannya.

Kenapa tidak mudah? Karena pertentangan justru datang dari lingkungan terdekat kami, dari keluarga. “Adek kok beli mainan orang Kristen?” Pertanyaan itu bertubi-tubi datang dari sepupunya, pakciknya, makciknya, dan tentu saja guru ngajinya.

Sebelumnya, anak saya kerap ditentang ketika memilih mainan mobil-mobilan atau lego kapal-kapalan yang dianggap mainan anak laki-laki. Sesudahnya, ia sering bimbang. Setiap hendak beli mainan, dia selalu bertanya, “Ini untuk perempuan atau laki-laki?”

Dengan susah payah saya kembalikan pemahamannya, bahwa mainan itu tidak memiliki jenis kelamin. Dia boleh memainkan apa saja, sepanjang tidak membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, dan sepanjang Mamaknya punya duit untuk beli.

Mumpung anak saya belum dijejali dengan narasi-narasi kebencian terhadap segala sesuatu yang berbeda, saya berusaha menanamkan counter fisik real di kepalanya. Mulai dari hal-hal kecil membeli mainan tanpa membuat mainan itu memiliki jenis kelamin dan agama, hingga mengucapkan selamat hari raya pada pemeluk agama berbeda.

Tahun lalu misalnya, saya mengajak anak saya mengunjungi teman beragama Hindu yang sedang merayakan Dipawali. Kami ikut menghadiri festival cahaya, nyala lilin dan lampu warna-warni di sana. Saya menggunakan momentum ini untuk memperkuat pemahaman anak saya akan beragamnya perayaan hari besar agama-agama, tak hanya Idul Fitri dan Natal.

Baca Juga  Perang Israel-Iran dan Masa Depan Dunia Islam

Antara Perayaan Hari Raya Agama Lain dan Akidah

Bagi saya, menghadiri perayaan hari raya agama lain tidak akan mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam yang saya anut dengan keyakinan agama lain. Berharap kelak anak saya akan terus merawat keberagaman dan menemukan sendiri caranya bertoleransi.

Pengetahuan tentang sejarah dengan berbagai faktor yang memengaruhi perbedaan, ruang dan waktu yang berbeda termasuk prasangka, keinginan dan kepentingan yang melatarinya saya sampaikan pelan-pelan.

Tidak dengan teori, tapi dengan narasi-narasi tentang silaturahmi, tentang keindahan senandung di gereja, keindahan warna-warni cahaya dan baju-baju bagus yang dikenakan perempuan India (Tamil) di sekitar kota kecil tempat tinggal kami ketika merayakan Dipawali.

Itu kenapa saya lebih suka menjelaskan Dipawali sebagai festival cahaya, perayaan kemenangan yang baik atas yang buruk, kemenangan cahaya (terang) atas kegelapan. Dan karena anak saya takut akan gelap, maka dia mendukung cahaya, mendukung terang dan menikmati sekali kegembiraan Dipawali.

Pada malam tahun baru, saya menghadiahi anak saya keliling kota naik motor. Tempat-tempat yang saya datangi dan lewati adalah gereja-gereja. Saya akan berkata kuat-kuat, “Alhamdulillah, gereja dijaga polisi. Semoga mereka aman menjalankan ibadahnya malam ini,” Tentu saja anak saya bertanya, kenapa gereja harus dijaga polisi?

Di sinilah pentingnya orang dewasa membantu anak beradaptasi dalam lingkungan sosial yang lebih luas dan beragam. Di atas paham mayoritas yang dimanjakan doktrin dan legitimasi untuk memenangkan berbagai interpretasi atas minoritas, toleransi harus tumbuh kuat dalam kesadaran.

Yaitu, kesadaran dan sikap menerima adanya berbagai perbedaan. Mulai dari suku, agama, ras, dan antar berbagai golongan, hingga perilaku atas internalisasi nilai-nilai yang masing-masing memiliki makna dan kepentingan yang berbeda-beda. Di situlah pentingnya toleransi.

Baca Juga  Pendidikan Inklusif: Strategi Wujudkan Manusia Adalah Sama

Karena hingga hari ini, intoleransi masih terus menggempur secara terbuka atau sembunyi-sembunyi. Itulah kenapa jelang Natal, gereja-gereja (masih) harus dijaga polisi. Kalau tidak ada polisi, seringkali warga Nasrani harus melewati Natal yang sakral dan penuh makna itu dengan waswas dan hati-hati.

Menanamkan Narasi-Narasi Toleransi Menghargai Perbedaan

Saya juga menanamkan narasi-narasi pentingnya saling menghargai setiap perbedaan, dengan memperkenalkan sahabat-sahabat saya yang beragam. Ya beragam suku dan agamanya, beragam orientasi seksualnya, beragam profesinya, hingga beragam kelakuannya.

Anak saya menyukainya, karena kebanyakan sahabat saya orang baik yang tidak hanya satu visi tentang keberagaman, tapi juga sering membelikan mainan atau jajanan. Tentu saja anak saya senang. Mamaknya apalagi.

Saya memang memilih mengambil tanggung jawab mengajarkan dan merawat toleransi mulai dari hal-hal kecil ini. Mulai dari anak kecil, anak saya sendiri.

Editor: Zahra

Avatar
3 posts

About author
Ibu Rumah Tangga sekaligus aktivis Perempuan Akar Rumput (HAPSARI)
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds