Review

Teologi Al-Maun versus Teologi Al-‘Ashr

5 Mins read

Buku Teologi Al-Ashr: Etos dan ajaran KHA. Dahlan yang Terlupakan yang ditulis Azaki Khoirudin merupakan bukti, betapa sejarah tidak pernah sekedar narasi, melainkan selalu melibatkan rekonstruksi, terhadap masa lalu dengan perspektif dan keterlibatan masa kini. Buku ini pada dasarnya ingin menghadirkan informasi tentang ajaran Surat Al-‘Ashr Kiai Dahlan yang sepertinya belum banyak terungkap atau sudah banyak terlupakan, karena selama ini Kiai Dahlan lebih banyak dikenal dengan ajaranya terkait surat Al-Ma’un.

Logika Al-Maun VS Logika Al-‘Ashr

Al-‘Ashr dan Al-Ma’un—keduanya mewakili bukan hanya pandangan dunia yang berbeda melainkan memiliki konsekuensi institusional yang tidak sama. Ajaran Al-Ma’un yang mengidentikkan dimensi religius dan dimensi sosial—yaitu, kesalihan agama tidak substansial jika tidak dibarengi dengan kepedulian sosial. Sementara ajaran Al-‘Ashr terlihat menarik batas antara dimensi ruhani (iman) dan dimensi sosial (amal shalih). Bagi Al-Ma’un kepedulian sosial merupakan kriteria bagi kesalihan agama, sedangkan bagi Al-‘Ashr dimensi agama dan dimensi sosial merupakan dua hal yang berbeda—meskipun tidak terpisah—yang masing-masing memiliki kriteria dan ukuran.

Teologi Al-Ma’un mengajarkan bahwa kepedulian sosial merupakan komponen sekaligus kriteria dari kesalihan spiritual. Dalam bahasa populer kontemporer perspektif ini sering disamakan dengan ideologi “kiri”, yaitu pemahaman strukturalis terhadap ketimpangan sosial yang dilawankan dengan kesetaraan hak individual. Maka jadilah teologi Al-Ma’un sebuah evaluasi moralis terhadap ketimpangan sosial: bahwa peradaban selalu dikuasai kelompok kuat (penguasa, kaya, pandai, dsb.) namun moralitas selalu berpihak kepada kelompok lemah (miskin, tertindas, bodoh, dsb.).

Dalam tradisi Al-Ma’un para penguasa dan kelompok kaya cenderung dilihat sebagai “tersangka” secara moral, jika bukan sudah terdakwa, terkait dengan keberadaan berbagai persoalan dan penderitaan kelompok lemah dan tertindas.

Pemikiran ini akan memiliki konsekuensi insitusional yang dialektis bernuansa pertentangan, atau bahkan kombatif bernuansa anti kemapanan. Wawasan Al-Ma’un akan mendorong terbentuknya institusi atau sistem kehidupan yang memberikan peluang kepada kelompok lemah atau kelompok tertindas untuk menuntut kesamaan hak dan kesempatan dalam membangun kehidupan. Konsekuensinya akan terbuka kemungkinan benturan-benturan antara kelompok pendatang yang menginginkan perubahan dengan kelompok yang ingin mempertahankan kemapanan.

***

Perspektif strukturalis ini secara politis cenderung populis karena, disatu sisi, menggunakan logika simplistik: bahwa pada dasarnya secara moral manusia mempunyai status setara sementara secara sosial kehidupan manusia terbelah kedalam tingkatan-tingkatan dimana ada kelompok yang diuntungkan dan dirugikan. Sehingga kesimpulannya kelompok yang diuntungkan cenderung dianggap bersalah atau paling tidak bertanggungjawab untuk menolong kelompok yang tertindas. Sementara, disisi lain, kelompok lemah dan tertindas biasnya merupakan bagian mayoritas di masyarakat,  gagasan strukturalis moralis semacam ini akan mudah mendapatkan audiens dan menarik pengikut.

Baca Juga  Layla-Majnun: Cinta Tanpa Alasan kepada Tuhan

Logika Al-Ma’un yang strukturalis ini juga akan berkonsekuensi kepada logika bagaimana strategi membangun kehidupan yang ideal dan berkeadilan. Sebagaimana kelompok strukturalis diberbagai belahan dunia wawasan Al-Ma’un sangat dekat dengan filsafat idealis yang melihat ukuran kebaikan berakar pada sistem yang beroperasi. Sistem atau struktur dipahami sebagai kerangka yang menentukan dan mewarnai realitas kehidupan. Sistem yang baik akan menghasilkan realitas kehidupan yang baik, sistem yang buruk akan menghasilkan kehidupan yang buruk.

Logika Al-Ma’un selalu berupaya merumuskan sebuah sistem alternatif untuk peradaban Islam karena mereka meyakini bahwa problem sosial, ketimpangan dan ketidak adilan lahir dari adanya sistem sosial yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga, logisnya, untuk memperbaiki situasi dan untuk menanggulangi ketimpangan dan ketidakadilan tidak ada cara lain kecuali memperbaiki, atau jika perlu mengganti, sistem yang ada.

Sementara teologi Al-‘Ashr mengajarkan bahwa iman dan amal shalih, meskipun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari keberislaman, namun keduanya berbeda dalam dimensi dan konstruksinya. Artinya, meskipun upaya untuk membangun salah satunya akan secara otomatis membantu dan memfasilitasi perbaikan yang  lain, namun ketiadaan atau kekurangan salah satunya  tidak serta merta membatalkan atau mengurangi nilai yang lain. Kepedulian sosial mengandung nilai dan kebaikan agama namun kebaikan agama tetap dapat dicapai meskipun tanpa kepedulian sosial.

***

Logika Al-‘Ashr ini akan memiliki konsekuensi institusional yang berorientasi kepada keterbukaan kesempatan untuk meraih kebaikan, yang mengutamakan kapasitas dan kemampuan usaha individu, apresiasi dan perlindungan kepada hasil kinerja dan prestasi personal. Dalam konteks ini, logika Al-‘Ashr akan menempatkan peradaban sejalan dengan evaluasi moral. Kebaikan tidak hanya dilihat dari perspektif moral yang pasif melainkan dari ukuran moralitas aktif. Kejayaan dan keberhasilan lebih utama dibanding kekalahan dan kegagalan jika posisi moralnya sama. Keberhasilan tidak identik dengan kecurangan sementara kegagalan tidak selalu identik dengan ketulusan.

Baca Juga  Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

Berbanding terbalik dengan logika Al-Ma’un, logika Al-‘Ashr akan cenderung melihat penguasa dan orang kaya sebagai teladan untuk diikuti sedangkan kelompok lemah dan tertindas sebagai peringatan dan bahan pelajaran untuk dihindari.

Dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan dan memperbaiki situasi, teologi Al-‘Ashr tidak berorientasi pada sistem dan tidak mendorong intervensi atau rekonstruksi sistem-sistem alternatif,  melainkan lebih kepada upaya untuk menghilangkan atau mengurangi persoalan dan ketidakadilan yang secara konkrit dihadapi oleh masyarakat. Logika Al-‘Ashr ini dekat dengan tradisi pemikiran “liberal” yang rasional dan empiris.

Dalam pandangan pengikut kelompok ini (liberal), sistem kehidupan merupakan rangkuman dari seluruh proses tindakan dan interaksi usaha seluruh anggota masyarakat. Sehingga, sistem kehidupan bukanlah hasil ciptaan seseorang atau sebuah kelompok, melainkan hasil akhir dari gabungan kehendak dan usaha semua orang. Sistem yang baik dan berkeadlian adalah sistem yang terbuka, yang memberi kesempatan semua orang berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan secara setara. Intervensi dan modifikasi terhadap sistem bukanlah sebuah tindakan yang baik karena berarti menempatkan seseorang atau salah satu pihak memiliki posisi lebih tinggi dibanding yang lain.

Meskipun sebenarnya istilah liberal dan istilah kiri sama-sama bersifat konotatif, yang tidak deskriptif melainkan evaluatif, namun istilah kiri cenderung berkonotasi positif sementara istilah liberal cenderung berkonotasi negatif. Penamaan peradaban liberal, atau yang mungkin lebih banal lagi peradaban kapitalis, adalah istilah yang digunakan atau yang berasal dari kelompok yang tidak suka terhadap sistem tersebut. Sementara para pendukungnya lebih suka menggunakan istilah liberal secara politis atau pilihan publik (public choice) secara metodologis.

Teologi Sejati Muhammadiyah: Al-Ma’un (kiri), atau Al-‘Ashr (kanan)?

Barangkali selama ini orang lebih melihat Muhammadiyah memiliki doktrin dan ajaran yang lebih condong kepada ideologi kiri, karena Kyai Dahlan sangat terinspirasi oleh surat Al-Ma’un. Namun, buku Azaki menunjukkan bukti yang berbeda, yaitu bahwa Kyai Dahlan juga sangat terinspirasi oleh surat Al-‘Ashr yang memiliki logika institusional berbanding terbalik dengan Al-Ma’un.

Mungkin sekilas ini terlihat janggal atau bahkan mengada-ada untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah sebenarnya mengikuti ideologi liberal. Namun jika di cermati secara metodologis akan terlihat bahwa modus gerakan yang dibangun oleh Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah bukanlah dengan cara membangun sebuah sistem alternatif—baik sistem sosial, politik, maupun ekonomi—melainkan dengan secara langsung menanggulangi persoalan dan ketidakadilan yang secara nyata dihadapi oleh masyarakat.

Baca Juga  Review Buku: Sains Religius Agama Saintifik

Kyai Dahlan tidak pernah merumuskan pemikiran tentang sistem kehidupan yang idealis: apakah sistem  sosial harus hierarkhis atau egaliter, apakah sistem politik harus demokratis atau teokratis, apakah sistem ekonomi harus bergantung atau lepas dari negara. Kyai Dahlan lebih fokus membangun kerja nyata menanggulangi problem dan ketidakadilan yang ada di masyarakat: kemiskinan, kesehatan, pendidikan.

Hal ini juga terlihat secara gamblang dalam praksis Muhammadiyah sebagai organisasi, dimana tidak pernah ada upaya secara serius dan sistematis untuk merumuskan sistem kehidupan kolektif alternatif yang lebih baik: Sosial, Politik, Ekonomi.

***

Muhammadiyah cenderung terbuka untuk menerima realitas sistem kehidupan yang ada sembari berfikir dan bekerja keras bagaimana menanggulangi persoalan ketidakadilan di masyarakat terutama dalam bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya, rumusan formal cita-cita institusional (peradaban) Muhammadiyahs selalu ambigu: “Peradaban Utama,” “Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya”—yang sekedar normatif, tanpa acuan indikator, dan bisa ditafsirkan kemana saja.

Lalu, mana sebenarnya teologi sejati Muhammadiyah: Al-Ma’un yang kiri, atau Al-‘Ashr yang liberal? Banyak orang terbiasa berfikir simplistik, dengan menganggap jika ada dua hal yang berbeda pasti yang satu benar dan yang satu salah. Padahal kemungkinan logisnya tidak hanya itu: karena keduanya bisa sama-sama benar, atau sama-sama salah! Jika mengikuti sosiologi pengetahuan dari Ibnu Khaldun dan para pemikir Neo-Institusionalis, akan terlihat bahwa Al-Ma’un dan Al-‘Ashr bukanlah pilihan melainkan keniscayaan dalam perjalanan hidup warga Muhammadiyah—yang memiliki konteks kehidupan beragam.

Apakah teologi Ma’un atau ajaran Al-‘Ashr yang harus diikuti, tidaklah tergantung kepada pilihan dan kehendak bebas, melainkan akan ditentukan oleh konstruk kognitif sebagai hasil dari pengalaman institusional yang jalani oleh seseorang: jika dia berada pada situasi yang tidak diuntungkan oleh realitas maka dia akan terdorong mengikuti perspektif dan ajaran Al-Ma’un yang melihat realitas secara struktural serta memotivasi untuk mengubah sistem yang ada.

Namun jika dia berada pada situasi yang diuntungkan oleh realitas, maka dia akan terdisposisi mengikuti perspektif ajaran Al-‘Ashr yang menyediakan insentif untuk berfokus pada penyelesaian problem riel yang ada di masyarakat tanpa perlu terlalu mempersoalkan gambar besar sistem yang ada.

Wallahu a’lam.

*Tulisan ini adalah bagian kecil dari epilog buku Teologi Al-Ashr, karya Azaki Khoirudin
Avatar
2 posts

About author
Ketua Lembaga Pengambangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds