Dalam Kamus Bahasa Indonesia, altruisme dimaknakan dengan orang yang banyak mengutamakan kepentingan orang lain atau orang yang mencintai sesama manusia. Selanjutnya, dalam kamus tersebut diberikan dua pengertian lebih luas. Pertama, perilaku seorang yang mengutamakan kebahagiaan serta kesejahteraan orang lain. Kedua, sifat atau karakter masyarakat atau kelompok anggota-anggotanya benar-benar larut di dalam kelompoknya sehingga tidak memiliki kepentingan diri sendiri.
Pembentukan Teologi Altruisme dengan Piagam Madinah
Di dalam ajaran Islam, teologi altruisme diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad di kota Madinah dengan membentuk perjanjian piagam Madinah. Teologi altruisme ialah teologi yang didasarkan pada tepo siliro, tenggang rasa terhadap keyakinan dan perasaan agama lain.
Menurut Syed Othman dan Faisal di dalam buku Islam and Tolerance, ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an seharusnya menjadi faktor utama yang memengaruhi atau membentuk cara pandang perilaku umat Islam terhadap umat lain. Hal ini didukung oleh contoh yang diperlihatkan Nabi Muhammad dalam berperilaku terhadap pengikut agama lain.
Sejumlah hadis Nabi menggambarkan nilai yang perlu diteladani mengenai sikap umat Islam terhadap masyarakat non-Muslim. Nabi bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang non muslim Zimmi, dia tidak akan masuk surga,’’ (HR. al-Bukhari), “Allah melarang saya untuk bertindak tidak adil terhadap non Muslim yang telah menjadi warga negara.” (HR. al-Hakim), “Siapa pun orang Islam yang berlaku tidak adil terhadap non Muslim yang ikut dalam kesepakatan untuk hidup damai bersama umat Islam akan mendapat ganjaran di akhirat nanti.” (HR. Abu Dawud)
Penulis buku sejarah asal Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam hayat Muhammad, menyebut perilaku Nabi di dalam piagam Madinah sebagai “watsiqah siyasiyah” atau dokumen politik yang menjadi kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik dan pelarangan kejahatan.
Kalangan Kristen, ilmuwan, dan agamawan Najran pernah berdebat dengan Nabi mengenai pandangan Islam terhadap Kristen. Di dalam perdebatan tersebut, Nabi berjanji akan melindungi hak-hak keberagaman mereka dan memelihara tempat beribadah, yang tentunya juga melakukan hal serupa kepada umat Islam.
Teologi Altruisme
Teologi altruisme terangkum sempurna didalam piagam Madinah. Bahkan untuk menghilangkan kepentingan kelompok atau pribadi, Nabi Muhammad menggunakan kalimat “ummah”.
Dengan kata tersebut, Nabi berusaha menyatukan setiap golongan ke dalam tatanan bangsa-negara bahwa “kaum Yahudi dari suku Bani Auf adalah satu bangsa-negara dengan warga yang beriman” dan “kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka sebagaimana kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka”.
Hassan Hanafi, di dalam buku Agama, Kekerasan & Islam Kontemporer, berpendapat bahwa di dalam ajaran Islam tidak diajarkan ikroh (pemaksaan), yang juga berarti penekanan atau pendesakan.
Al-Qur’an menyebutkan tema ikroh sebanyak tujuh kali, lima kali sebagai kata kerja dan dua kali sebagai kata benda. Pemaksaan menurut Hassan Hanafi terjadi akibat perlawanan terhadap kekuatan luar yang mencengkeram kemauan dan kebebasan sikap individu.
Fenomena demikian berkaca kepada kisah Musa dan Fir’aun. Firaun memaksa rakyatnya yang minoritas untuk percaya akan ketuhanannya, meninggalkan keimanan mereka, dan meyakini kekuatan sihir.
Tindak pemaksaan adalah tindakan sia-sia dan tidak bermakna. Tindakan tersebut tidak dibenarkan menurut dasar hukum mana pun. Tindakan tersebut bertentangan dengan nurani suci manusia. Dalam konteks ke-Indonesiaan, tindakan pemaksaan akan berdampak pada runtuhnya kemajemukan.
Kita seyogyanya harus memahami bahwa Indonesia memiliki lebih dari 900 kebudayaan dan 500 bahasa. Ini artinya, masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat multikutural.
Masyarakat Islam yang disuguhkan di dalam cita-citanya memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, masyarakat yang mengambil nilai-nilai ilahiyah yang diajarkan oleh baginda Nabi di piagam Madinah. Piagam Madinah sebagai kekuatan menjunjung tinggi kemajemukan agama dan pemihakan terhadap kepentingan seluruh elemen masyarakat, perdamaian, dan nir kekerasan, serta menjadi terdiskriminasi.
Siege Mentality, Mentalitas Neo Khawarij
Tindakan kekerasan berangkat dari kepala, turun ke tangan, dan jatuh di tanah. Ancaman yang masih menjadi PR besar bangsa kita saat ini ialah Neo Khawarij. Neo Khawarij adalah mereka yang membayangkan bahwa seluruh isi dunia memusuhi dirinya, dan sebab itu ia harus membangun sekat, melindungi diri dari serangan.
Hal demikian dinamakan Siege Mentality, mentalitas bertahan merasa dikepung oleh ancaman. Beberapa ciri yang menonjol dari mereka adalah berpikir sederhana, sempit, dan fanatik. Misalnya mereka mereka membagi wilayah hanya menjadi dua kategori, Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam adalah kelompoknya sedangkan Dar al-Harb adalah wilayah yang wajib diperangi.
Dalam tataran praktis, cara berpikir seperti ini akan berimplikasi pada pembersihan terhadap siapa pun yang berseberangan pendapat dengan mereka. Pada tingkat yang mengerikan, mereka menggunakan senjata dalam melakukan inkuisisi terhadap siapa pun yang berbeda pandangan politik dan keagamaan. Inilah watak yang masih menjadi acaman bagi bangsa kita.
Melihat realitas sosial ini, selayaknya tiap umat beragama mampu memperluas lingkungan solidaritas. Lingkaran solidaritas akan meluas bila ada sikap keterbukaan. Sikap terbuka merupakan manajemen kemajemukan yang berguna untuk mengorkestrasi dari majemuk menjadi harmoni sosial.
Dengan mengimplementasikan harmoni sosial perdamaian akan dapat terwujud. Islam sebagai agama perdamaian dianjurkan semata-mata untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Allah.
Perdamaian dan harmoni sosial adalah penting yang harus disepakati dengan terbuka dan hipokritis. Inilah maksud dari kata as-salam dari esensi agama. Wa Allahu’alam.
Editor: Zahra