Falsafah

Berkenalan dengan Teologi Pembebasan Farid Esack

4 Mins read

Teologi Pembebasan Farid Esack | Farid Esack melalui teori hermeneutika Al-Qur’an, mencoba untuk mengubah klaim kebenaran eksklusif agama dengan gagasan plularis dan membebaskan.

Dari teorinya tersebut, Esack berharap umat beragama dapat hidup dalam kerukunan sehingga bisa melahirkan kekuatan besar untuk menentang segala bentuk ketidakadilan.

Sekilas Mengenai Farid Esack

Farid Esack merupakan seorang pemikir Islam kontemporer yang lahir di Cape Town, Wymberg, Afrika Selatan pada tahun 1958. Ia hidup di kawasan pinggiran khusus bagi pekerja miskin kulit hitam dan berwarna.

Dalam karyanya Qur’an, Liberation, Pluralism, Farid Esack menceritakan bahwa pemikirannya terinspirasi oleh kehidupannya di masa lalu yang begitu kelam (Soleh, 2005).

Sedangkan untuk Afrika Selatan pada masa itu, memang terkenal dengan rasisme yang begitu tinggi. Hal ini sejalan dengan berkuasanya rezim Apartheid kulit putih. Mereka melihat orang kulit hitam sebagai golongan rendah dan pantas untuk dijadikan budak. Tentu ini mendapat kecaman dari berbagai kalangan termasuk Farid Esack sendiri (Soleh, 2005).

Atas dasar ironi dari nasib bangsanya sendiri, Farid Esack bertekat untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Ia kemudian memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di Pakistan selama beberapa tahun. Hasil dari studinya tersebut Esack bawa kembali ke Afrika Selatan dan ia implementasikan melalui organisasi Call of Islam (Soleh, 2005).

Kontestasi Agama dalam Politik Afrika Selatan

Agama menjadi bagian penting dalam konteks perjuangan dan politik Afrika Selatan. Semua pelaku politik menggunakan agama sebagai pembenaran atas diri mereka sendiri. Hal ini yang memicu terjadinya konflik antara dua ekspresi keagamaan yaitu teologi akomodasionis dan teologi liberasionis (Soleh, 2005).

Ketegangan antara dua ekspresi keagamaan tersebut, tidak hanya di alami oleh Islam saja, melainkan juga agama lain seperti Kristen, Hindu, Yahudi, dan agama lokal Afrika. Dengan melihat persoalan tersebut, Esack memilih teologi liberasionis. Karena, lebih mengutamakan usaha praksis bagi keadilan, serta memiliki wilayah signifikansi dalam perjuangan (Soleh, 2005).

Baca Juga  Max Muller: Penggagas Konsep Science of Religion

Keinginan Farid Esack yang begitu kuat untuk menghapus ketidakadilan melalui solidaritas antar umat beragama di Call of Islam, justru membuatnya dituduh sebagai kolaborator kafir.

Lebih parahnya lagi, orang yang melakukan kerja sama dengan kaum Nasrani dan Yahudi meskipun itu untuk tujuan mulia, dianggap sebagai kafir juga. (Soleh, 2005)

Atas dasar stigma yang berkembang di kalangan masyarakat Islam tersebut, membuat Esack tertarik untuk mempelajari Al-Qur’an dan Bible secara lebih lanjut. Ia merasa perlu untuk menemukan jawaban mengapa kitab suci masih melegitimasi adanya penindasan dan ekslusivisme. Karena itulah Esack memutuskan untuk belajar hermeneutika ke Inggris dan Jerman (Soleh, 2005).

Al-Qur’an Menurut Farid Esack

Dalam bukunya yang berjudul The Qur’an: an User’s Guide, Farid Esack menjelaskan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a” yang memiliki arti komplikasi dan bacaan. Sedangkan untuk sisi yang lain, Al-Qur’an dapat dipahami sebagai “petunjuk bagi umat manusia”, “pembeda antara haq dan batil”. Farid Esack mengkritik pengertian tersebut karena hanya menganggap Al-Qur’an sebagai bacaan saja (Wahid, 2016).  

Menurut Esack, Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan sebagai bentuk respon dari berbagai macam peristiwa yang terjadi. Ia setuju dengan pendapat Cragg bahwa Al-Qur’an menjadi wahyu karena diturunkan atas dasar keterikatan dengan suatu peristiwa (Wahid, 2016).

Dalam Al-Qur’an terdapat tiga indikasi yang ingin dikedepankan, yaitu kontekstualisasi makna, partikular teks, dan relevansi praksis. Pemahaman mengenai relevansi praksis tersebut, menginspirasi Farid Esack untuk menciptakan cara pandang baru dengan “progressive revelation” yaitu adanya hubungan antara konteks dengan teks dalam proses turunnya wahyu (tadrij) (Wahid, 2016).

Prinsip tadrij menurut Esack memiliki signifikansi dalam kebutuhan personal, politik, dan sosial ekonomi, sebagai gambaran dari kehidupan di masa Nabi Muhammad. Karena itu, Farid Esack memilih hermeneutika liberatif sebagai pisau analisis dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Wahid, 2016).

Baca Juga  Ibnu Rusyd, Memadukan Ilmu Agama dan Metode Filosofis

Terdapat empat prinsip dasar yang bisa menjadi gambaran awal dari hermeneutika liberatif Farid Esack. Prinsip dasar ini menjadi pondasi dari rasionalitas yang diterapkan Esack dalam hermeneutikanya (Wahid, 2016).

Prinsip pertama, pewahyuan Al-Qur’an menjadi gambaran bahwa Tuhan merupakan Zat Maha Transenden. Dalam pewahyuan progresif, Tuhan digambarkan tidak hanya menurunkan wahyu untuk disampaikan kepada Nabi saja, melainkan juga ikut aktif dalam urusan dunia dan umat manusia (Munir, 2018).

***

Prinsip tadrij merupakan implementasi dari interaksi kreatif-progresif yang terjalin antara kehendak Tuhan, kebutuhan manusia, dan realitas bumi untuk direspon.

Esack begitu mengagumi pemikiran progresif dari Syah Waliyullah Dehlawi. Ia melihat Dehlawi berhasil mengembangkan suatu teori yang begitu rinci terkait dengan hubungan pewahyuan dengan konteksnya (Munir, 2018).

Prinsip kedua, seperti yang banyak diketahui bahwa ayat Al-Qur’an dikategorikan menjadi dua yaitu makkiah dan madaniah. Pengetahuan yang terbangun dari tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, menjadi salah satu kebutuhan dalam memahami isi dan konteks Al-Qur’an (Munir, 2018).

Prinsip ketiga, turunnya Al-Qur’an selalu disertai dengan sebab-sebab yang sering juga disebut sebagai asbab an-nuzul. Dalam tradisi hermeneutika kontemporer, sebab tersebut terbagai menjadi dua yaitu sebab umam dan sebab khusus (Munir, 2018).  

Sebab yang bersifat umum merujuk pada kondisi masyarakat pada masa Nabi, yaitu penindasan terhadap kelompok lemah, kapitalisme petinggi Quraisy, dan rasialisme budak. Sedangkan sebab khusus merujuk pada kondisi yang lebih spesifik dan biasanya terdapat dalam ayat-ayat tertentu (Munir, 2018)

Prinsip keempat, perdebatan mengenai teori naskh seharusnya dilakukan melalui perspektif yang progresif. Yaitu adanya fakta situasional dari Al-Qur’an. Seluruh ayat khusus diturunkan sampai pada konteks kondisi sosial tertentu. Hal ini dapat dilihat melalui kasus larangan meminum khamar (alkohol)  (Munir, 2018).

Baca Juga  Ramai-Ramai Menyerang Agama

Hermeneutika Pembebasan Farid Esack

Seperti yang diakui sendiri oleh Farid Esack, metode hermeneutika yang ia gunakan terinspirasi dari konsep teologi pembebasan Gueterriez dan Segundo. Serta, pemikiran regresif-progresif Muhammad Arkoun dan hermeneutika double movement Fazlur Rahman (Sudarman, 2015).

Terhadap ketiga pemikiran tersebut, Esack meraciknya dengan disertai penambahan beberapa kunci yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Afrika Selatan pada waktu itu. Ia memilih teologi pembebasan karena dianggap memiliki tujuan terhadap pembebasan agama melalui struktur religius, ide sosial, dan politik (Sudarman, 2015).

Teologi Pembebasan Farid Esack

Dalam teologi pembebasan, terdapat prinsip yang menyatakan bahwa kebenaran terhadap suatu keyakinan (ortodoksi), bisa tercipta melalui tindakan yang benar (ortopraksis). Keberadaan ortopraksis merupakan bentuk dukungan bagi keadilan sebagai praksis liberatif.(Sudarman, 2015)

Jika sesuai dengan perkataan Farid Esack, maka teologi pembebasan memiliki kemiripan dengan pemikiran Gustave Guiterrez. Menurut Guiterrez teologi pembebasan dapat berhasil apabila memenuhi tiga tahap yaitu: 1) Kesadaran kolektif (concientization), 2) Pembebasan (liberation), dan 3) Partisipasi (participation) (Sudarman, 2015).

Ketika berbicara mengenai pembebasan dari segala bentuk rasisme dan eksploitasi kaum Apartheid, Esack berusaha untuk menginterpretasi retorika pembebasan Al-Qur’an ke dalam suatu teori teologi dan hermeneutika agama. Ia kemudian membangun kunci hermeneutikanya sendiri yaitu: takwa, tauhid, manusia, kaum tertindas, keadilan, dan perjuangan (Sudarman, 2015).

Editor: Yahya FR

Muhammad Abdul Rosmi Alwi
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds