Zaman semakin berkembang dan maju. Dinamika kehidupan terus menerus berubah dan bergeser mengikuti arus perubahan zaman. Selalu saja muncul problematika baru yang cepat sekali ditemui di lingkungan sosial. Pertanyaan terkait metode efektif yang ampuh untuk dapat digunakan sebagai solusi atasnya, selalu saja dilontarkan. Beruntung umat Islam punya pedoman. Yaitu berupa kitab suci Alquran yang berisi tuntunan-tuntunan untuk memecahkan suatu persoalan.
Dengan metode tertentu, kita dapat menafsirkan Alquran yang menghasilkan seperangkat makna-makna yang dapat digunakan untuk memecahkan problematika suatu zaman. Semakin maju zaman, semakin diperlukan metode baru guna memproduksi penafsiran Alquran yang kompatibel dengan isu-isu aktual.
Bagaimanapun hebatnya produk penafsiran, ia adalah produk zaman (ibn zamanih) yang dipengaruhi oleh konteks perubahan zaman dan epistem (cara berpikir) para penafsirnya.
Kesadaran inilah yang mendorong Muhammad Syahrur untuk menawarkan suatu metodologi baru dalam menafsirkan Alquran. Yaitu dengan teori batas (nazhariyyah al-hudud). Teori yang digagas oleh Syahrur ini mencoba menginterkoneksikan keilmuan tafsir dengan teori linguistik modern dan sains modern, terutama teori matematika.
Amin Abdullah dalam bukunya Studi Islam: Normativitas atau Historisitas (1996), menegaskan bahwa pengembangan metodologi merupakan keniscayaan sejarah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk penafsiran Alquran.
Kita bisa lihat sekarang. Betapa Barat sangatlah jauh melampaui dunia Timur dalam aspek keilmuan. Itu karena mereka mampu menguasai dan mengembangkan aspek-aspek metodologinya.
Teori Hudud: Ushul Fikir Baru
Muhammad Syahrur menilai literatur keislaman klasik cenderung memandang “Islam” sebagai ideologi (akidah). Baik dalam bentuk pemikiran, Kalam (Islamic Theology), ataupun Fikih. Implikasinya, stagnansi terjadi dalam pemikiran tafsir dan sulit sekali berkembang. Seolah pemikiran tafsir dianggap sebagai sesuatu yang sudah final. (Mustaqim, Teori Hudud Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam penafsiran Alquran, 2017)
Syahrur menawarkan Teori batas (the theory of limit) merupakan suatu teori sains dalam matematika yang dimasukkan ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Teori Hudud merupakan gagasan orisinal Syahrur melalui survey selama 20 tahun (1970-1990) saat menulis buku al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1994).
Teori tersebut muncul akibat konsekuensi logis dari pembedaan istilah oleh Syahrur tentang al-Kitab dan al-Qur’an atau Kitab ar-Risalah dan Kitab an-Nubuwwah. Metode ijtihad digunakan untuk memahami risalah (muhkamat atau ayat hukum). Sedang metode ta’wil untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat (nubuwwah di luar ayat-ayat hukum).
Teori tersebut dirancang dan dibangun atas asumsi bahwa, risalah Islam yang dibawa Muhammad Saw, adalah risalah yang bersifat mendunia (‘alamiyyah) dan dinamis. Ia tetap relevan setiap zaman dan tempat. Memang, teks Alquran-nya masih tetap, namun makna teksnya bisa mengalami perubahan sesuai zaman (tsabat al-nash wa taghayyur al-muhtawa).
Risalah Islam mengandung dua aspek gerakan. Pertama, gerakan konstan (istiqomah) dan kedua, gerakan dinamis (hanifiyyah). Kedua hal ini menyebabkan ajaran Islam menjadi fleksibel. Namun tetap dalam koridor bingkai hududullah (batas-batas Allah).
***
Rasul sebelum Muhammad, menerima risalah yang bersifat ainiyyah-haddiyah (real-fixed), yang artinya kongkrit dan tinggal mengamalkan. Namun, tidak demikian halnya dengan risalah yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir. Risalah Muhammad bersifat hududiyyah yang masih memungkinkan adanya ruang gerak ijtihad di dalamnya, bukan haddiyyah yang tidak ada lagi ruang ijtihad di dalamnya. (Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, 1994)
Maka sangat kentara, perbedaan antara haddiyyah dan hududiyyah. Hukum-hukum haddiyyah cenderung statis, fixed, dan tanpa alternatif. Sedangkan hududiyyah bersifat dinamis dan memungkinkan terjadinya interpretasi di dalamnya.
Dalam kamus Hans Wehr, hududullah adalah:
“The bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action”.
Artinya, lingkaran atau batas-batas di mana Allah menempatkan kebebasan manusia untuk bertindak dan ber-ijtihad. Makna inilah yang juga dipahami Syahrur.
Hudud tak hanya berkaitan dengan ancaman hukum, melainkan juga kebebasan bertindak (freedom of action), sesuai batas-batas yang ditetapkan oleh Allah.
Syahrur mengambil konsep istiqomah dari derivasi q-w-m yang secara bahasa artinya al-intishab aw al-‘azm (lurus, kuat, tegak, atau kokoh). Hal itu dipahami dari beberapa ayat yaitu surat al-Fatihah: 6, al-Anam: 153, 161 dan al-Shaffat: 118.
Konsep hanifiyyah berasal dari h-n-f yang berarti al-mail wa al-inhirof (condong dan “menyimpang”). Diambil dari beberapa ayat, antara lain; al-An’am: 79 dan 161, al-Rum: 30, al-Bayyinah: 5, al-Hajj: 31, Al-Nisa’: 125, Yunus: 105, al-Nahl: 120 dan 23, Ali Imron: 65 dan 95.
Dalam ayat di atas, kata “hanif” oleh Syahrur tidak diartikan dengan “lurus”. Melainkan diartikan dengan taghayyur, gerak dinamis atau elastis. Dua karakter (istiqamah dan hanifiyyah) yang berbeda, tapi menyatu dalam ajaran Islam. Menurut Syahrur, itu akan memunculkan berbagai alternatif dalam tasyri`(penetapan hukum atau undang-undang) dalam perilaku manusia (al-suluk al-insani). Juga akan menjadi basis tegaknya Islam sepanjang waktu dan tempat. (Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h.449)
Penerapan Teori Hudud dalam Penafsiran Alquran
Syahrur membagi hudud menjadi dua macam.
Pertama, al-hudud fi al-ibadah (batasan-batasan terkait ibadah ritual murni). Di sini tidak ada medan ijtihad. Cukup diterima begitu saja seperti cara shalat, puasa, dan haji sebagaimana cara Rasul dahulu mempraktikkannya.
Kedua, al-hudud fi al-ahkam (batas-batas dalam hukum). Syahrur membaginya menjadi enam macam. Dalam hal ini, ia menggunakan pendekatan analisis matematis (at-tahlil ar-riyadli).
Untuk persamaan fungsi, dirumuskan dengan Y= F(X), jika ia hanya mempunyai satu variabel dan Y+F(X,Z), jika ia mempunyai dua variabel atau lebih. (Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h.579)
Memahami persamaan fungsi ini merupakan keniscayaan bagi seseorang untuk memahami ajaran Islam yang memiliki dua sisi yang berlawanan, tetapi saling berkaitan (interwined), yaitu al-tsabit (al-istiqamah) yang bergerak konstan dan sisi yang al-hanifiyyah (al-mutaghayyir) yang bergerak dinamis. Hubungan antara alistiqamah dan al-hanifiyyah digambarkan seperti kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.
Kaitannya dengan metode ijtihad, wilayah ijtihad sesungguhnya berada pada kurva tersebut, di mana sumbu X menggambarkan zaman konteks waktu dan sejarah, sedang sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah Swt.
Dengan lain ungkapan, dinamika ijtihad sesungguhnya berada dalam wilayah kurva (hanifiyyah), ia bergerak sejalan dengan sumbu X. Hanya saja gerak dinamis itu tetap dibatasi dengan hudadullah, yakni sumbu Y (kurva istiqamah)
***
Dari enam bagian, penulis akan memberi satu contoh penafsiran Alquran dengan teori Hudud.
Contoh dari kaidah pertama: Halah al-hadd al-a’la (حالة الحد الأعلى). yaitu di mana daerah hasil (range) dari persamaan fungsi Y=F(X) berbentuk garis lengkung yang menghadap ke bawah (kurva tertutup), yang hanya memiliki satu titik balik maksimum, berhimpit dengan garis lurus dan sejajar dengan sumbu X. Gambar persamaan fungsi tersebut adalah:
Halah al-hadd al-a`la ini hanya memiliki batas maksimal saja, sehingga penetapan hukumnya tidak boleh melebihi batas maksimal, tetapi boleh di bawahnya atau tetap berada pada garis atau batas maksimal yang telah ditentukan Allah Swt.
Contohnya:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ. وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 38)
Menurut Syahrur hukuman potong tangan atau qishash merupakan batas hukuman maksimal. Artinya seorang hakim tidak boleh menetapkan hukuman kepada pencuri atau pembunuh melebihi batas maksimal tersebut. Namun ia boleh menetapkan hukuman yang lebih rendah dari hukum potong tangan atau qishash, sesuai dengan situasi kondisi objektif.
Itu artinya, jika suatu negara belum atau tidak menerapkan hukum potong tangan, negara itu tidak dapat dengan serta merta diklaim sebagai negara yang tidak Islami. Sebab boleh jadi di sana ada syubuhat, sehingga negara tidak menerapkan hukum maksimal, yaitu potong tangan.
Misalnya negara tersebut belum benar-benar menciptakan keadilan atau kesejahteraan buat rakyatnya atau kondisi ekonomi pencurinya memang sangat memprihatinkan dan sebagainya.