Sebelum tulisan ini diterbitkan, sebetulnya rencana esai saya adalah ingin mengangkat soal Covid-19 dalam perspektif etika populasi, sebuah gagasan yang dicetuskan oleh filsuf asal Inggris yang bernama Derek Parfit. Etika Populasi yang dimaksud Parfit adalah bagaimana kuantitas populasi manusia memiliki pengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Kualitas yang dimaksud tentu saja berkaitan dengan kelayakan hidup manusia sebagai makhluk eksistensialis.
Pada tahun 1984 Parfit berhasil menerbitkan sebuah buku yang berjudul Reasons and Persons, yang di dalam bukunya itu terdapat sebuah teori The Ropugnant Clonclusion. Teori yang cukup populer selama 30 tahun pasca bukunya terbit ini diawali dengan sebuah pertanyaan kritis, “apakah mungkin menciptakan dunia yang di mana hanya ada orang-orang yang bercukupan?” dan “apakah ada kewajiban moral untuk memiliki keturunan?”.
Tolak ukur yang digunakan Parfit ialah kualitas kebahagian dan peningkatan populasi kehidupan. Parfit membuat argumen sederhana terhadap standar utilitarian rata-rata bahwa lebih baik meningkatkan takaran kebahagian dan menekan angka populasi kehidupan, jika lebih dari itu maka jangan harap ada kualitas kebahagian yang terbaik.
***
Berawal dari teori Parfit inilah timbul skeptis saya terhadap peristiwa Covid-19 yang menjalar di berbagai belahan dunia. Saat itu saya menganggap bahwasannya ada sebuah skenario besar di balik pandemi virus Covid-19. Skenario yang saya maksud tentu saja lebih dari soal politik maupun ekonomi dunia, melainkan sebuah upaya untuk merealisasikan gagasan yang filosofis ini, yakni pembantaian massal. Dan terus terang saja bahwa jika sknario ini benar adanya, maka saya merasa takjub akan hal itu.
Untuk memperkuat argumen ini, saya berdiskusi dengan teman wedangan di rumah pakde saya yang kebetulan dia sedang menempuh magister ilmu hubungan internasional. Ketika saya sedang menyampaikan gagasan saya , teman saya ini bertanya, Opo gagasanmu iki salah satu pijakane seko teori konspirasi?
Dan tentu saja dengan yakin saya menjawab iya. Teman saya ini justru malah tertawa dan mengatakan bahwa, ketika kowe percoyo karo teori konspirasi, brarti kowe kui wong sing ora pengen berpengetahuan alias bodo. Seketika ucapanya tersebut membuat saya terdiam. Sedikit malu dan penasaran tentang apa yang menjadi latar belakang atas sebuah teori konspirasi.
Populernya Teori Konspirasi
Rasa penasaran membuat saya mengulik lebih dalam lagi tentang apa itu teori konspirasi, mulai dari sejarah hingga hal-hal yang melatarbelakngi teori ini sangat populer di kalangan masyarakat global. Untuk mendalami teori tersebut saya menggunakan kajian analisis wacana kritis dalam perspektif Facoult tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan.
Sangat populernya teori ini hingga menjadi konsumsi publik sampai saat ini menandakan bahwa ada agen yang sedang menggulirkan sebuah wacana. Joseph Uscinski, seorang profesor ilmu politik dari University of Miami, mengatakan bahwa, teori konspirasi merupakan alat bagi yang lemah untuk menyerang sekaligus bertahan melawan yang kuat. Ketika terdapat kata “menyerang” dan “bertahan”, maka ada sebuah pertarungan, entah itu pertarungan yang sifatnya politis ataupun ideologis sekalipun. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang lemah dan siapakah yang kuat?
Celakanya saya tidak menemukan jawaban pasti atas pertanyaan di atas. Perihal saya ini mengacu pada pendapat Chris French, seorang guru besar psikolog dari Universitas Goldsmith, London, yang mengatakan bahwa, teori konspirasi dapat dipercaya siapapun, dengan dimensi politik apa saja (kiri, kanan, atau tengahan), juga menembus lapisan kelompok sosial mana saja. Saya pun berasumsi bahwa yang lemah yang percaya, yang kuat yang tidak percaya akan teori konspirasi.
Skeptis itu Harus Berpengetahuan
Saya pun berskeptis bahwa muncul dan populernya teori konspirasi ini karena terlalu dominannya kapitalisme hingga teraktualisasikannya perilaku-perilaku hedonistik pragmatis. Kalaupun tidak, lalu mengapa Deddy Corbuzier dalam podcastnya bersama mas Young Lex mengangkat isu Corona sebagai kebongan konspirasi? Meskipun saya kira pijakan teori kospirasi adalah skeptisisme, tetapi kalau kata-kata yang paling dominan muncul dalam dialog mereka adalah kata “mungkin”, “siapa tahu”, dan “katanya”, itu namanya bukan skeptisisme, melainkan sekedar cocoklogi (asal cocok jadi logis).
Syarat skeptisisme itu harus berpengetahuan dan syarat berpengetahuan harus memperluas cakrawala ilmu. Tetapi kalau metode mencari ilmunya menggunakan simulasi dari mas Young Lex Lutor yang intinya mengatakan secara percaya diri bahwa dia tidak percaya bumi itu bulat kalau belum pernah melihatnya secara langsung, karena selama ini bumi itu bulat hanya ditunjukan melalui gambar saja, ya mengapa juga ada sekolah? Mengapa juga ada buku?
Mengapa juga ada koran, internet, medsos, dan sebagainya? Toh itu semua hanya media. Ada pilihan untuk melihat langsung, sederhana bukan? Saran untuk mas Ashley Young, coba deh sampeyan itu punya usus halus atau enggak? Cara ngeceknya ya bedah perut anda dan amati. Kan selama ini sampeyan tahunya usus halus cuman dari gambar bukan? Sangat masuk akal sekali. Saya harap konsisten!
Teori konspirasi sangatlah renyah, renyah bagi mereka yang malas berliterasi. Saya pun memaklumi karena literasi itu tidak memiliki ujung batasan. Banyaknya dialektika juga sulit untuk menentukan mana yang benar dan salah, yang ada adalah mana yang lebih rasional. Jelas perihal itu tidaklah menarik bagi mereka yang hanya ingin mengetahui kepastian-kepastian semu.
Adanya teori konspirasi bagi mereka yang percaya mampun yang tertarik membahasnya adalah kenikmatan hakiki untuk merangkai puzle-puzle realitas. Tentu upaya mereka tersebut perlu untuk kita apresiasi sebagai kesempatan emas menuju jahiliyah, karena tidak perlu ada orang yang berilmu atau berkapasitas untuk membahas hal-hal yang ternyata bisa untuk dijangkau.