Teriakan ABK Indonesia yang wafat dan mati di laut perlu kita renungkan. Karena hakikatnya, seorang manusia adalah yang memanusiakan manusia. Demikian Douwes Dekker pernah menulis dalam Max Havelaar, novelnya. Pendidikan memiliki tugas yang tidak mudah dalam menanamkan makna memanusiakan manusia.
Orang sering menganggap mudah perkara memanusiakan manusia. Namun, pada kenyatannya amat sulit mendidik kita semua agar lebih manusiawi. Sikap manusiawi ini tentu saja tidak hanya dalam urusan sikap antar manusia tetapi juga sikap kita terhadap alam dan seisinya.
Teriakan ABK Indonesia
Betapapun kerasnya hidup, betapapun konflik antar manusia yang tak dapat dihindarkan, kita diajari batas. Batas inilah yang membedakan bagaimana keunggulan ras manusiawi kita bisa dilihat. Kita memiliki bekal akal untuk menimang batas itu.
Sering meski manusia diberi akal dan diberi segala kelebihan Tuhan, ia kerap lalai sehingga derajatnya bisa turun bahkan lebih rendah dari binatang.
Kapitalisme sering tidak sadar bahwa ia mengejar hasrat ekonomi dan kepuasan yang kadang melupakan sisi-sisi manusiawi kita. Ia menggerus habis sisi manusiawi kita. Kita jadi seperti mesin yang mengejar haus dan dahaga akan kemakmuran dan material.
Kapal, bau amis, darah ikan, serta bau asin air laut yang menumpuk jadi satu mengingatkan saya pada novel Lekaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway. Pak Tua yang memiliki kegigihan dan etos hidup itu akhirnya keluar dari siksaan alam dan mencoba menaklukkan tantangan laut.
Ia menaklukkan egonya, ia menaklukkan rintangannya sebagai manusia. Kehendak untuk keluar dari laut dan segala cobaannya itu pun dialami oleh Pie yang dikisahkan Yan Martel dalam novelnya. Si tokoh pada akhirnya dikuatkan oleh dorongan bahwa ia harus bertahan hidup.
Apa yang dialami oleh Pie dan Pak Tua yang ditulis Hemingway dialami juga oleh Anak ABK pekerja kapal dari Indonesia. Mereka mengarungi Samudera Pasifik. Mereka berburu hiu bekerja dalam 18 jam. Hidup seperti hanya memburu ikan dan memenuhi hasrat kapten ( Si Bos).
Video pembuangan jenazah ABK ke laut oleh para nelayan Cina itu sungguh membuat kita prihatin. Bagaimana mungkin manusia dipaksa bekerja 18 jam hampir tidak ada waktu istirahat berdiri dan hanya diberi jeda saat makan. Bahkan minum mereka beda dengan para awak kapal lain dari Cina. Mereka ABK dari Indonesia dipaksa minum air laut yang asin itu.
Meski diawali dengan menyalakan dupa, jenazah itu akhirnya dibuang, dilarung ke laut.
Materi Mengalahkan Nurani
Media dan seorang YouTuber Korea Selatan pun segera bertindak dan melaporkan kepada dunia apa yang telah dilakukan oleh perusahaan ikan yang mengoperasikan kapal itu. Dunia pun menjadi tahu, ada bau busuk dan kejahatan kemanusiaan yang terungkap.
Salah satu awak kapal ABK yang masih hidup memberi pengisahan bagaimana hidup mereka begitu keras di hadapan para pengusaha culas.
Hasrat manusia pada materi akhirnya harus mengalahkan sisi terdalamnya sebagai manusia.
Orang menjadi lupa, beringas, dan kejam. Kapitalisme telah mengubur dalam-dalam nurani. Para ABK itu tidak tahu harus menuntut kemana. Mereka hanya bergumam mengapa manusia bisa lebih kejam daripada binatang buas. Dalam batin dan jerit mereka, mereka masih berteriak : “Aku Manusia”!
Mereka para ABK itu dari Indonesia. Negeri yang menguasai laut. Tapi justru tersingkir di kubangan laut peradaban yang luas.
Kita hanya mendoa, semoga para ABK ini membukakan mata kita dan dunia. Manusia tidak layak memperlakukan dan menganiaya saudaranya secara keji dan hina.
Editor: Nabhan