Terima Kasih NU!
Betapa sepinya jika ramadhan tanpa kehadiran masjid NU. Rajab dan Sya’ban adalah prolog menyambut Ramadhan yang eksotik. Wajah Islam terasa sangat dekat, bukan lagi jauh di langit tujuh. Bukan hanya berbagi takjil kurma, tapi juga berbagi pahala. Membaca Al Quran juga kebajikan yang banyak, menjadikan masjid NU kian humanis dan dibutuhkan.
Meski disebut-sebut banyak melakukan aktifitas bid’ah, tapi saya sangat suka karena banyak mendapat manfaat. Itulah kesan yang saya dapat.
Dari masjid-masjid NU itu, saya bisa membedakan antara bulan biasa dan bulan Ramadhan. Tadarus bersahut-sahutan, bedhug ditabuh, mercon dibakar, tarhim dikumandangkan, lima belas menit sebelum adzan sebagai tanda masuk shalat.
Dari masjid NU pula saya dapat informasi kapan harus persiapan pulang sebelum shalat Jumat. Petani dan pekebun bersiap pulang. Saya juga bisa bedakan mana masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat dan mushala biasa.
Pada setiap Ramadhan, jujur saya akui bahwa masjid-masjid NU yang paling semarak, makmur dengan berbagai aktifitas tadarus, shalawatan, dibaan, dan khataman. Anak kecil hingga orang tua seperti parade mengaji. Bukan hanya berbagi takjil kurma tapi berbagi pahala kebajikan.
Nyadran, Megengan, Malem selikuran, Malem Songo dan lainnya. Berbeda dengan masjid-masjid lainnya yang lampunya dimatikan usai shalat taraweh, jendela ditutup, pintu digembok rapat, masjid sepi aktifitas, ‘ngaji harus di rumah’ sebab ngaji di masjid usai Taraweh dibilang bid’ah, tidak ada uswah.
Dini hari jelang subuh, jauh di pelosok dan penjuru kampung, masjid-masjid NU seperti di gerakkan : “sahur..! sahur..! sahur..!” Kemudian “imsak..! imsak..!” Kemudian tarhim bersahut-sahutan. Hanya ada di masjid NU. Dan saya meski tak sepaham ikut mendapat manfaat dari berbagai pertanda meski sering saya bilang bid’ah. Tapi perlahan saya mulai akrab. Semacam mengenang masa kecil di kampung halaman.
Islam ditangan orang NU begitu humanis dan dekat dengan kehidupan. NU adalah Islam yang dipahami Mbok Jum, Mbakyu Tumiati, Kang Supingi, Kang Supardi atau Cak Nur. Orang-orang sederhana dengan kebutuhan beragama yang juga sangat sederhana, tidak muluk-muluk. Mereka orang biasa, hidup biasa, beragama juga dengan cara biasa.
NU dapat merangkum semua status sosial dan struktur masyarakat dalam sebuah jamiyah. Mewarisi dan merawat metode jitu yang ditemukan para wali penyebar Islam di tanah Jawa. NU tidak melawan tradisi apalagi mengubah budaya, sebaliknya menjadikan tradisi dan budaya sebagai media dakwah.
Definisi dan konsep bid’ah perlu diubah. Tidak setiap amal butuh dalil dan tidak setiap yang tidak ada dalil disebut bid’ah. Buya Yunahar Ilyas menyebut bahwa dalam ibadah ghairu mahdhah tidak ada bid’ah. Prof Din menyarankan memperbanyak bid’ah sosial.
Mengenang yang telah mati mulai akrab dilakukan meski dengan cara virtual bahkan ada takziah virtual mengenang yang telah mati. Hal tersebut juga bid’ah baru yang diakrabi warga Persyarikatan. Sungguh menggembirakan.
Meski banyak kata saya pujikan untuk NU, tapi saya tetap Muhammadiyah. Saya hanya mencoba jujur melihat realitas, melihat kekurangan sendiri dan mengakui kelebihan orang lain tanpa saling merendahkan. Terima kasih NU!
Editor: Yusuf