Oleh: Muhammad Ridha Basri
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganugerahi penghargaan ‘Muhammadiyah Award 2018’ kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyerahkan langsung penghargaan tersebut dalam agenda Milad Muhammadiyah ke-106, pada 18 November 2019, di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Penghargaan bergengsi ini diberikan sebagai wujud apresiasi Muhammadiyah atas berbagai kiprah dan pengabdian Pak JK bagi nusa dan bangsa. Torehan dedikasi dan capaian prestasinya merentang di penjuru negeri. Meskipun hanya menyandang RI 2, kiprahnya tidak bisa dibilang sederhana, selalu memberi warna. Sejumlah tokoh dan wartawan senior pernah menerbitkan buku berjudul Jusuf Kalla The Real President (2009).
“Pak Jusuf Kalla telah menggoreskan sejumlah kepeloporan, kiprah nyata dalam merekat integrasi nasional, untuk tegaknya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana telah dilakukan di Aceh, Poso, dan Ambon, yang sangat berarti bagi keutuhan Indonesia,” tutur Haedar Nashir dalam pidatonya. Jusuf Kalla dikenal sebagai sosok yang diterima semua kalangan dan men-design banyak perundingan.
Situasi nasional (jelang) tahun politik saat itu telah memperkeruh ruang publik. Gesekan dan polarisasi yang tajam kerap terjadi. Dalam situasi itu, Haedar melihat bahwa bangsa Indonesia membutuhkan sosok semisal Pak JK yang mampu berpikir jernih untuk meredakan suasana dan menjadi jembatan antar berbagai kepentingan. “Perbedaan politik tetap diikat oleh rasa bersaudara dan tidak menyuburkan suasana permusuhan yang merugikan kehidupan berbangsa.”
Pertimbangan lainnya, kata Haedar, adalah karena Jusuf Kalla dinilai sebagai sosok saudagar yang berintegritas, tangguh, pekerja keras, dan berjasa bagi kemajuan umat Islam. Menurut Haedar, prinsip yang dipegang teguh Jusuf Kalla dinilai sama dengan nilai-nilai yang menjadi denyut langkah Muhammadiyah. Bergandeng tangan ta’awun untuk negeri. Muhammadiyah memegang slogan: sedikit bicara, banyak bekerja. Dibutuhkan banyak sosok yang mau peduli dan mau berbagi. Jusuf Kalla dinilai sebagai salah satu pengusaha yang mau memberdayakan sesama. Tidak hanya untuk kepentingan oligarki kalangan sendiri.
Pandangan hidup Jusuf Kalla sejalan dengan aforisme yang sering diingatkan Haedar Nashir, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Faqidu al-sya’i la yu’thi. Dengan prinsip ini, Muhammadiyah berusaha untuk terus memberi. Islam rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam kerja nyata, tidak cukup diwacanakan dalam retorika. Mustahil bisa menebar rahmat jika dirinya saja dalam kekurangan dan tidak memiliki rahmat. Supaya menjadi khairu ummah, umat harus berdaya secara ekonomi dan memiliki sesuatu untuk ditawarkan. Mentalitas tangan di bawah hanya membawa kita pada buritan peradaban sebagai komoditas politik-ekonomi.
Dalam berbagai forum internasional, Pak JK menggunakan istilah diplomasi tangan di atas. Pernah pada tahun 2009, Wapres Indonesia ini bertemu Wapres Amerika Serikat, negara adikuasa yang sedang dilanda krisis. Wapres AS bertanya sebagaimana lazimnya kepada negara berkembang, “Negara Anda butuh apa?” Pak JK dengan percaya diri menjawab tegas, “Indonesia tidak butuh apa-apa. Sekarang negara Anda sedang krisis, Anda yang harusnya kami bantu.” Wapres AS kaget. Kata JK, “Negara Anda krisis karena uangnya habis untuk perang di Timur Tengah. Kami bisa bantu mendamaikan konflik…”
Pada 20 Oktober 2019, Jusuf Kalla resmi purnatugas sebagai wakil presiden. Jasa wakil presiden 2004-2009 dan 2014-2019 ini akan terus dikenang. Pada 2009, Jusuf Kalla mendaftarkan diri sebagai calon presiden. Saat itu, Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif menunjukkan dukungan secara pribadi. Menurut Buya Syafii, Jusuf Kalla adalah sosok yang lidahnya kadang kalah cepat dibanding pikirannya yang gesit. Dukungan senada diberikan oleh Din Syamsuddin.
Dengan jiwa negarawan, Jusuf Kalla dikenal mampu menyelesaikan banyak situasi kritis di negeri ini. Pak JK selalu punya alternatif solusi atas berbagai persoalan pelik. Para menteri dan kolega mengenal Pak JK sebagai pemimpin yang luwes dalam cara, namun teguh dalam prinsip. Pribadinya bersahaja. Bahkan ‘musuh’ pun diperlakukan layaknya saudara. Kesaksian itu disampaikan oleh mantan tokoh juru runding Gerakan Aceh Merdeka Zaini Abdullah dalam acara “Mata Najwa” di sebuah stasiun TV, 16 Oktober 2019.
Pak JK menjadi orang paling berjasa dalam menghentikan konflik Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun. Lebih dari 15.000 jiwa meninggal sia-sia dalam perang saudara itu. Derita Aceh semakin berlipat ganda ketika pada 26 Desember 2004, gempa dan tsunami secara tiba-tiba meluluhlantakkan sepertiga wilayah provinsi paling barat Indonesia itu. Lebih dari 230.000 jiwa gugur sebagai korban. Kita semua berduka.
Di saat-saat genting seperti itu, Pak JK mengambil inisiatif dan memimpin di depan. Presiden SBY bersama sejumlah menteri sedang di Nabire, Papua. Sore itu juga, JK segera memberangkatkan menteri Sofyan Djalil dan kolega dengan pesawatnya sendiri. Mereka dibekali uang tunai sepuluh milyar, yang sebagiannya bersumber dari kocek Pak JK. Malamnya, JK mengadakan rapat dengan menteri dan pejabat terkait. Memerintahkan untuk membuka semua gudang logistik malam itu juga dengan cara menembak gembok, membuka akses masuk ke Aceh tanpa visa bagi semua relawan kemanusiaan internasional.
Fenty Effendy menceritakan detil tentang hari-hari menegangkan itu dalam bukunya Ombak Perdamaian, Inisiatif dan Peran JK Mendamaikan Aceh (2015). Misalkan tentang kebutuhan obat bagi korban yang diperkirakan mencapai 12 ton, JK berujar tegas, “Saya tidak mau tahu bagaimana caranya, malam ini kumpulkan semua obat yang ada di Jakarta untuk segera angkat ke sana dengan Hercules yang telah disiapkan Panglima TNI. Harus berangkat pukul lima pagi.”
Tentang kebutuhan logistik dan uang tunai, terekam ujaran tegas Pak JK menghadapi anak buahnya yang takut melanggar tata aturan baku dan rumitnya administrasi. “Keluarkan uang tersebut malam ini juga dan bawa besok pagi-pagi ke Medan. Di sana Saudara beli mie dan langsung bawa ke Aceh. Saya adalah Wapres dan Saudara adalah pegawai negeri. Saudara jalankan perintah ini. Saya yang bertanggung jawab atas segala persoalan yang akan timbul di kemudian hari. Saya yang akan masuk penjara, bukan Saudara.”
Setelah subuh keesokan hari, Pak JK berangkat bersama menteri, duta besar, dan wartawan. Pendaratan pesawat masih sangat terbatas, bandara Sultan Iskandar Muda Aceh Besar rusak parah. Listrik mati total. Korban terus berjatuhan. Sesampai di Aceh, Pak JK sendiri yang mengecek situasi, melakukan asesmen dan pemetaan. Pak JK juga meminta negara-negara yang ingin membantu untuk membawa serta helikopter, karena akses darat yang rusak parah.
Pak JK lalu memerintahkan semua gudang logistik di Aceh dijebol dengan senjata, semua toko makanan dibuka paksa dan Pak JK menjamin negara yang akan membayar nanti. Beberapa memo khusus dikeluarkan untuk perintah-perintah teknis semisal itu. “Saya tidak mau dengar kata ‘tidak bisa’ karena alasan prosedur. Itu kalau situasinya normal. Sekali lagi saya ingatkan, bagi yang tidak bisa ikut dengan ukuran ini, silahkan mengundurkan diri.”
Sementara itu, suasana perang di Aceh masih menjadi momok bagi relawan kemanusiaan. TNI membantu korban dengan tetap menenteng senjata. Di pekan pertama setelah tsunami, terjadi dua kali kontak senjata serta satu kali penculikan terhadap petugas medis. “Bagaimana kita bisa membangun Aceh kalau truk semen, pasir, dan batu dibajak di tengah jalan? Kalau Bapak Presiden kasih kewenangan untuk menyelesaikannya, saya segera laksanakan,” kata JK ke Presiden SBY yang dijawab dengan anggukan persetujuan.
Hari itu juga JK menyarankan SBY untuk bertemu duta besar AS, Jepang, Singapura, Inggris, Swedia, dan Libya. Swedia merupakan negara yang menjadi tempat menetap para pucuk pimpinan GAM. Salah satu tokoh GAM juga memegang paspor kewarganegaraan Singapura. Libya dikenal pernah memberikan pelatihan militer bagi GAM. AS punya pengaruh politik dan Jepang punya pengaruh ekonomi di dunia internasional. Semua negara itu diminta membantu.
Sementara itu, JK segera membentuk tim inti perundingan: Hamid Awaluddin, Farid Husain, dan Sofyan Djalil. Pak JK sendiri mempersiapkan diri dengan membaca banyak buku tentang sejarah Aceh, buku-buku tokoh GAM, dan bahkan mempelajari pantun-pantun Aceh. “Harus ikut menjiwai sebagai orang Aceh.” Kepada Ketua Juru Runding Indonesia Hamid Awaluddin, JK berpesan, “Hamid, lawan rundingmu harus kau beri martabat, jangan kau anggap lebih rendah. Dignity for all.”
Sebelum perundingan di Helsinki, Pak JK sering membekali bacaan dan menguji tim runding dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis-sosiologis-historis tentang Aceh. Memberi pekerjaan rumah tentang informasi dan pengetahuan mendasar terkait tokoh inti GAM. Pak JK juga yang mentraining langsung taktik berunding, bahkan sampai pada hal detil terkait dengan pemilihan dasi hingga tata cara menatap mata lawan bicara. Kisah-kisah di balik layar itu banyak diceritakan Hamid Awaludin dalam bukunya Damai di Aceh (2008).
Perundingan berlangsung beberapa putaran di Helsinki dan JK memantau langsung dari Jakarta. Di Jakarta, langkah Pak JK menginisiasi perundingan dengan GAM mulai menimbulkan reaksi kontra. Beberapa pejabat tinggi negara dan sebagian besar anggota DPR RI menentang upaya perundingan yang dinilai hanya menguntungkan pihak GAM. Pak JK kukuh untuk melanjutkan upaya dialog. Di antara tokoh yang memberi dukungan adalah Wakil Ketua MPR AM Fatwa.
Saya termasuk salah satu warga Aceh yang ikut merasakan berkah dari perdamaian ini. Terima kasih Pak JK. Ada banyak lagi kisah-kisah dan keunikan Pak JK, semisal selalu membawa kalkulator sendiri dan dengan itu mampu memangkas beban anggaran yang mubazir, contoh paling nyata adalah dana Asian Games 2019 yang semula diproyeksikan 8 Triliun menjadi hanya 5 Triliun.
Terima kasih Pak JK!