Masalah yang paling mendasar dan sering memicu permusuhan adalah pertentangan pendapat. Gejolak politik di Indonesia yang terjadi mulai dari rakyat biasa hingga para pemangku kepentingan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan pilihan politik. Gejolak agama di Indonesia yang terjadi mulai dari kaum santri hingga kaum kiai sebenernya juga dipengaruhi oleh pertentangan pendapat dalam aliran-aliran yang diyakini.
Padahal, jika diamati lebih jauh, semua pertentangan tersebut adalah hal-hal yang wajar saja. Sebab pertentangan pendapat tidak hanya terjadi antara satu makhluk dengan makhluk yang lain; tetapi juga terjadi di dalam tubuh setiap individu, yakni pertentangan antara ruh dan jasad.
Pertentangan Ruh dan Jasad
Diceritakan di dalam sebuah atsar yang termaktub di dalam kitab Raudhal al-Muhibbin wa Nuzhah al-Musytaqin karya Ibn Qayyim al-Jauzy, bahwa pertentangan antar-makhluk hidup di muka bumi akan terus terjadi hingga hari kiamat tiba. Tidak hanya antar-makhluk hidup, pertentangan juga dialami oleh jasad dan ruh. Jasad berkata kepada ruh, “Engkaulah yang menggerakkan aku, memerintahku, melarangku, dan membolak-balikkan tubuhku! Jika bukan karena ulahmu, maka sudah pasti aku tidak akan bergerak untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu”.
Ruh tidak terima dijadikan ‘kambing hitam’ oleh jasad. Lalu ruh berkata pada jasad, “Engkaulah yang makan, minum, tidur, bangun, bersuka ria, dan merasakan segala macam kenikmatan. Oleh sebab itu, hanya kamu (jasad) yang berhak mendapatkan siksa. Aku (ruh) tidak ikut menanggung siksaan tersebut”. Ruh dan jasad terus berdebat, saling menyalahkan, dan saling merasa benar. Kemudian Allah mengirimkan malaikat kepada ruh dan jasad untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang bersalah di antara mereka berdua (ruh dan jasad).
Selanjutnya, malaikat utusan Allah tersebut berkata kepada ruh dan jasad, “Perumpamaan di antara kalian berdua (ruh dan jasad) adalah layakya orang melihat (memiliki penglihatan yang normal) yang hanya bisa duduk (mengalami kelumpuhan kaki, sehingga tidak bisa berdiri) dan orang buta yang hanya bisa berjalan. Dua orang tersebut (orang yang lumpuh dan orang yang buta) memasuki sebuah kebun.
Orang dengan penglihan normal yang mengalami kelumpuhan kaki berkata kepada orang yang buta, ‘Di dalam kebun ini; aku melihat banyak buah yang segar dan sepertinya enak untuk dikonsumsi, tetapi aku tidak bisa berdiri sama sekali. Buah-buah ini hanya bisa diamati, tetapi tidak untuk dinikmati’. Sementara itu; orang buta berkata kepada orang yang lumpuh, ‘Aku bisa berdiri dengan tegap, tetapi tidak bisa melihat buah-buah segar seperti yang kau ungkapkan. Mungkin kau benar bahwa buah-buah tersebut hanya masuk dalam imajinasi, tetapi tidak bisa untuk dijadikan konsumsi’. Ketika jalan yang ditemui seakan-akan adalah jalan buntu; tetiba orang dengan penglihatan normal yang mengalami kelumpuhan kaki berkata kepada orang buta, ‘Gendonglah aku dan berjalanlah. Sisanya, biarkan aku yang mengarahkanmu menuju buah-buah segar yang aku lihat dan aku akan memetiknya untuk kita berdua’.“
Berdasarkan kisah di atas, siapakah yang harus menanggung beban atas sebuah amalan? Ruh atau jasad? Malaikat mengatakan bahwa beban atas suatu amal harus ditanggung oleh mereka berdua (ruh dan jasad), sebab mereka adalah dua hal berbeda yang saling melengkapi.
Sama halnya dengan orang buta dan orang lumpuh yang sama-sama menanggung beban untuk tidak bisa menikmati buah-buah segar di dalam kebun karena kekurangan masing-masing. Tetapi mereka berdua memilih untuk saling melengkapi kekurangan sehingga mereka berdua berhasil menikmati buah-buah segar dengan bersama-sama pula.
Pada hakikatnya. perbedaan tercipta bukan untuk saling merasa sempurna. Tetapi perbedaan diciptakan untuk saling merasa lemah dan satu-satunya hal yang dibutuhkan adalah bersama bukan berpisah.
Jangan Mudah Terjebak dengan Kata
Di Negara yang konon disebut dengan ‘tanah surga’ ini (karena tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman); sering terjadi perselisihan pendapat yang berujung saling olok, saling hina, saling caci, hingga saling membenci hanya gegara terjebak dengan urusan ‘kata’. Fakta ini dapat dilihat dari tragedi ‘saling merasa benar’ dalam istilah Islam Nusantara, Islam Rahmatan lil ‘Alamin, Islam Garis Keras, hingga Islam Garis Lucu.
Sementara itu, pernahkah ‘mereka yang merasa paling benar’ itu, benar-benar memahami kandungan makna dari setiap istilah tersebut? Padahal hal yang paling utama sebelum ‘berkata’ adalah ‘bermakna’. Berikut ada sebuah kisah tentang topik ini di dalam kitab al-Matsnawi karya Jalaluddin Rumi.
Dikisahkan terdapat empat orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan dan baru saja mendapatkan hadiah sekeping dirham yang harus dibagi secara adil untuk empat orang tersebut. Empat orang tersebut terdiri atas orang Persia, orang Arab, orang Turki, dan orang Yunani. Setelah mendapatkan hadiah tersebut (sekeping dirham), setiap orang mengutarakan keinginannya masing-masing. Orang Persia mengatakan bahwa ia ingin membeli “anggur” dengan uang tersebut. Orang Arab berkeinginan membeli “’inab”. Orang Turki ingin membeli “uzum”. Sementara orang Yunani ingin membeli “astaphil”.
Setiap dari empat orang ini memaksa tiga teman sisanya untuk setuju dengan keinginannya, sehingga yang terjadi adalah pertengkaran bukan kesepakatan. Setiap orang merasa pilihannya adalah pilihan yang paling tepat, hingga datang seorang lelaki tua yang masyhur dengan kebijaksanaannya.
Orang bijak ini menanyakan perihal permasalahan mereka. Setelah mengetahui akar dari permasalahannya; orang bijak tersenyum lalu berkata, “Wahai orang-orang yang hanya sibuk melihat ‘kata’ tanpa mendalami ‘makna’, ketahuilah! Sesungguhnya semua hal yang kalian inginkan itu sama. Anggur, ‘inab, uzum, dan astaphil memiliki makna yang sama, tetapi dari bahasa-bahasa yang berbeda”.
Mendengar penjelasan dari orang bijak tersebut, mereka berempat sungguh merasa malu dengan diri mereka sendiri. Pertengkaran yang telah mereka lakukan adalah pertengkaran sia-sia yang seharusnya tidak terjadi. Pertengkaran tersebut merupakan akibat dari ‘berkata’ tanpa mempertimbangkan ‘bermakna’.
***
Kisah di atas, sejatinya juga berhubungan dengan pengucapan ‘selamat natal’. Beberapa orang dengan terang-terangan menyebut pengucapan “selamat natal” adalah haram, karena dianggap termasuk menyerupai kelompok tersebut. Menyerupai berarti termasuk bagian dari kelompok tersebut.
Padahal, sudahkah ‘mereka’ mengetahui makna dari ucapan “selamat natal”? Benarkah dalam ucapan “selamat natal” terkandung makna penyerupaan? Atau justru yang terkandung dalam ucapan “selamat natal” adalah rasa kasih sayang terhadap sesama ciptaan? Lalu sebenarnya siapa yang paling mengetahui makna dari setiap perkataan? Orang yang mengatakan ucapan tersebut atau mereka yang hanya mendengar tanpa dasar?
Wallahu A’lam
Editor: Nabhan