Belakangan ini kita sering menemukan term “diskriminasi” di beberapa media online maupun cetak. Kata ini digunakan dalam sebuah tema/ judul berita yang menggambarkan peristiwa, baik nasional, regional maupun mancanegara, yang lebih mengarah kepada hal-hal negatif. Seperti pada persoalan sosial, ras, keagamaan, jenis kelamin, golongan, suku, ekonomi bahkan warna kulit.
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “diskriminasi” menunjukkan pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama dan sebagainya). Secara sederhana, dapat dipahami seseorang atau kelompok telah melakukan suatu tindakan yang bersifat negatif (kesalahan) yang patut dicela.
Beberapa minggu lalu Kompas.com menggunakan term ini, “Perawat Ini Alami Diskriminasi Saat Merawat Pasien Virus Corona.” juga dalam Tribunnews.com pada 20 Desember 2019, “Ancaman Diskriminasi Terhadap Umat Islam di India.” Beberapa hari yang lalu, dalam Tirto.Id, “Karena Sawit, Indonesia Lembek Sikapi Diskriminasi Muslim di India.” Sementara di Antaranews.com juga menggunakan kata ini, “MUI: Indonesia jangan diam diskriminasi muslim di India.”
Pemakaian kata “diskriminasi” di atas kelihatannya tidak masalah. Tetapi pembaca harus hati-hati dalam menyimpulkan sebuah berita karena dalam konteks tertentu bisa terjebak dalam pemaknaan yang keliru. Penulis tidak bermaksud untuk menggantikan apalagi menafikan term ini, namun mengkhawatirkan pembaca terlalu cepat menyimpulkan dari tema/ judul berita yang disajikan.
Kita tahu bahwa zaman industri 4.0 ini perkembangan tekhnologi semakin canggih. Setiap orang mudah mendapatkan berita. Tak lepas dari anak-anak, remaja, hingga dewasa dengan mudah mengakses berita di mana saja dan kapan pun. Tentunya latar belakang kehidupan dan pendidikan yang berbeda mempengaruhi analisa berita yang mereka baca, sehingga menimbulkan perbedaan penarikan kesimpulan dalam sebuah tulisan.
Oleh karena itu, bagaimana seorang pembaca memahami persoalan secara menyeluruh, bukan hanya memahami teks itu apalagi hanya membaca judul beritanya saja, dalam konteks ini memakai kata “diskriminasi”. Pembaca harus menginterpretasi apa yang terjadi melalui pendekatan dan mungkin metode yang lebih akurat.
Mengutip dari tulisan Dr W Poespoprodjo bahwa Interpretasi merupakan suatu hakikat transendensi manusia dalam menghadapi dan menghindari bahaya imanensi (ketenggelaman, kebekuan) eksistensinya. Sehingga manusia seyogyanya menafsirkan (membuat interpretasi) tentang dirinya, dunianya, kebudayaannya, hingga segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupannya (baca : Interpretasi).
Poespoprodjo menegaskan, sebelum interpretasi dimulai, dituntut adanya suatu latar belakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus bersifat gramatikal-kebahasaan serta bersifat sejarah. Maksudnya agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan tulisan yang ada mengenai lingkungan munculnya tulisan dan bahasa yang dipakai. Dengan pengetahuan itu kita mendekati tugas interpretasi.
Karena menurut Dilthey, tugas interpretasi (hermeneutika) adalah melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah aman dari penyelundupan-penyelundupan pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih lanjut Poespoprodjo menyatakan bagaimana pandangan dan perlakuan orang terhadap interpretasi selalu membawa kepada perbedaan-perbedaan. Karena interpretasi merupakan kegiatan berfikir manusia. “Lain kepala, lain pula hasil interpretasi”, karena setiap orang memiliki sudut pandang dan pendekatan yang berbeda.
Persoalan lain juga dalam masalah ini ketika seseorang telah berhenti untuk berfikir kritis. Bahkan malas membuat interpretasi, atau hanya membaca dan memahami secara tekstual yang membuat ia terjebak dalam pemahaman yang sempit dan kaku.
Penggunaan kata seperti “diskriminasi” di atas menurut hemat penulis merupakan kata yang “sensitif” dan mudah disalahpahami oleh sebagian orang. Memang bukan hanya term itu saja, tapi berbagai kosakata seperti, “umat”, “agama”, “Islam”, “rakyat,” dan lain sebagainya.
Ketika ada tulisan yang menyatakan “Semua Agama Itu Sama”, tentunya pembaca tidak secara otomatis menelan mentah teks itu. Penting memunculkan pertanyaan-pertanyaan dasar seperti, agama dalam hal apa ? Agama yang mana ? Sama dalam hal apa ? Apakah sama dalam praktek atau sama pada persoalan supranatural ? Demikian seterusnya yang membuat pembaca menggali persoalan lebih jauh.
Sama juga dalam contoh potongan kalimat “..Musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” sebut kepala BPIP beberapa minggu yang lalu (lihat : video wawancara bersama detik.com) yang diterbitkan pada Rabu 12 Februari 2020. Pemberitaan mulai meluas dengan mengutip potongan kalimat itu oleh beberapa media yang menimbulkan kecaman dan hujan kritik dari berbagai pihak, tak lepas para netizen/warganet hingga anggota DPR bersuara, bahkan menghakimi kepala BPIP.
Dalam membaca persoalan ini seharusnya pembaca tidak secara cepat menarik kesimpulan apa yang ada di teks. Pembaca seyogyanya mempertanyakan, agama yang mana? Agama yang seperti apa? Apakah penyalahgunaan agama? Politisasi agama? Praktek agama? Atau orang yang selalu mengatasnamakan agama dalam kepentingan mereka? Persoalan Kepala BPIP tidak mampu menempatkan kata/komunikasi yang tepat bukan poin dalam tulisan ini.
Pemahaman seperti ini menurut penulis akan memunculkan pikiran kritis. Sehingga pembaca akan meneliti dan memahami persoalan secara objektif yang akan membuat hasil bacaan lebih mendekati kepada pemahaman yang valid dan realistis.
Secara umum tulisan ini sebenarnya lebih menekankan kepada pembaca berita agar lebih teliti dalam memahami term-term yang digunakan oleh media. Tujuannya agar pembaca tidak mudah terprovokasi dengan keadaan yang belum tentu pemaknaannya seperti tercantum di teks. Karena pembacaan dalam memahami teks tidak cukup untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi sebenarnya. Sehingga pembaca seharusnya memahami secara kontekstual baik dari segi sosial, politik, dan kebudayaan untuk menghindari pemahaman yang keliru. Wallahu a’lam.