Pembahasan mengenai apakah bapak dari Nabi Ibrahim adalah seorang musyrik sudah menjadi pembahasan panjang sampai saat ini. Para ulama Al-Qur’an mencoba mencari jawaban dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Dengan metode dan sumber penafsiran yang mereka gunakan, maka munculah beberapa pendapat berbeda menganai bentuk penafsiran apakah bapak dari Nabi Ibrahim adalah seorang musyrik atau seorang yang beriman kepada Allah.
Tidak jarang perbedaan pendapat ini menjadikan luasnya pemahaman mereka tentang Al-Qur’an.
Bahwa Al-Qur’an bisa ditafsirkan dengan metode-metode berbeda dengan syarat metode tersebut memang sudah diakui dan dijadikan pedoman penafsiran Al-Qur’an.
Lafaz Azar Tak Bermakna Bapak Nabi Ibrahim
Salah satu mufassir yang mengatakan bahwa lafaz ‘Azar pada QS. Al-An’am ayat 74 bukanlah bapak dari Nabi Ibrahim adalah Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Seorang mufassir yang santun, bijak, dan tegas ini dikenal sebagai salah satu tokoh dalam bidang tafsir kontemporer abad 21.
Beliau dilahirkan di desa Daqadus, Mait Ghamir, ad-Dakhaliyyah pada tanggal 17 Rabi’ Al Tsani 1329 H, menyebutkan bahwa beliau masih memiliki nasab sampai kepada cucu Nabi SAW, yaitu Husein ra.
Dalam kitab tafsir karangannya yang berjudul Tafsir al-Sya’rawi, beliau menafsirkan surat al-An’am ayat 74 dengan memaknai lafaz‘Azar bukan sebagai bapak dari Nabi Ibrahim As, tetapi Azar adalah paman Nabi Ibrahim As.
Beliau berpendapat dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi, “Saya adalah pilihan (orang) terbaik dari yang terbaik”.
Ditambah sabda Nabi yang berbunyi, “Saya berasal dari rahim (keturunan) suci yang (berpindah) ke rahim yang suci”. Maka tidak mungkin ada silsilah (nenek moyang) beliau yang kafir. Lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim selaku nenek moyang para Nabi?
Nabi Ibrahim tentu mengikuti bapaknya. Beliau mengesakan Allah dan melakukan apa yang beliau lakukan. Lalu bagaimana mungkin ada yang beranggapan bahwa bapak dari Nabi Ibrahim adalah kafir dan musyrik?
Tetapi dalam sabdanya, Nabi berkata bahwa beliau berasal dari rahim yang suci dan berpindah ke rahim yang suci. Dan beliau adalah pilihan yang terbaik di antara yang terbaik.
Sehingga tidak mungkin bapak Ibrahim adalah orang kafir. Maka tidak mungkin memunculkan silsilah yang kafir. Lalu bagaiman dengan firman Allah dalam surah al-An’am ayat 74?
Penafsiran Syeikh Al-Sya’rawi Terhadap Surat Al-An’am Ayat 74
۞وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصۡنَامًا ءَالِهَةً إِنِّيٓ أَرَىٰكَ وَقَوۡمَكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan dikaummu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. al-An’am [6]: 74).
Kalimat إِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ disebut sebanyak 8 kali. Yang pertama di Surah Al-An’am dan terakhir di Surah al-Mumtahanah. Tidak ada yang menyelingi kecuali dalam kisah Nabi Yusuf.
إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي رَأَيۡتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوۡكَبٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ رَأَيۡتُهُمۡ لِي سَٰجِدِينَ
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”.(QS. Yusuf [11]; 4).
Dari 8 ayat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, hanya satu ayat yang menyertakan kata “Azar” di dalamnya, yakni pada surat al-An’am ayat 74 seperti yang tertera di atas.
Dalam surat al-An’am inilah Allah sudah menjawab dengan tuntas permasalahan tentang siapa bapak dari Nabi Ibrahim yang haqiqi. Syekh Al-Sya’rawi menjelaskan penafsiranya menggunakan uslub Al-Qur’an.
Beliau menjelaskan bahwa kata “لأبوة” mewakili dari bentuk kata “لأب” (bapak), “الجد” (kakek), “جد الجد” (kakek buyut), dan bentuk pemaknaan kata “لأب” lainya adalah sama seperti “العم” (paman).
Maka pemaknaan kata” لأب” bisa dimaknai dengan ‘paman’ Nabi Ibrahim, bukan sebagai bapak Nabi Ibrahim. Penjelasan ini seperti firman Allah surat al-Baqarah ayat 133.
أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.(QS. Al-Baqarah [2]; 133).
Bentuk lafaz لأب disini adalah jama’. Dan kalau kita hitung, maka jumlah bapak-bapak dalam ayat ini terdapat 3 bapak. Nabi Ibrahim, Ismail, dan Ishaq.
Maka Nabi Ya’qub sebagai anak dari Nabi Ishaq, mempunyai bapak Ismail yang juga sebagai paman Nabi Ya’qub dan Nabi Ibrahim sebagai bapak yang juga sebagai kakek dari Nabi Ya’qub. Maka Al-Qur’an seakan-akan memaknai kata “العم” (paman) sebagai ” لأب” (bapak).
Membaca Penafsiran Syeikh Al-Sya’rawi dari teori Bahasa Gilbert Ryle
Jika melihat penafsiran Syekh Al-Sya’rawi di atas, nampaknya ada kesesuaian dengan teori bahasa milik Gilbert Ryle dalam karyanya yang berjudul The Concept of Mind yang menjadi salah satu buku terpenting di bidang filsafat Inggris dalam periode sesudah Perang Dunia II.
Gilbert Ryle menjadi salah satu filsuf yang berdiri di barisan terdepan yang mendukung Ordinary Language Philosophy. Konstribusinya bagi filsafat tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam khazanah pemikiran filsafat secara khusus dan bidang ilmu pengetahuan lain secara umum.
Setelah berkembangnya pemikiran Wettgestein II yang menitik beratkan pada Ordinary Language Philosophy, para kelompok filsuf Oxford mulai melakukan penyelidikan tentang macam-macam jenis bahasa.
Gilbert Ryle (1900-1976) sibuk dengan penyelidikannya disekitar konsep-konsep yang menyangkut hidup psikis dengan Cateogory Mistake-nya.
Category Mistake, yaitu sebuah kekeliruan mengenai kategori (kegiatan kategori). Kekeliruan kategori ini menurut Ryle terjadi tatkala kita melukiskan fakta-fakta yang termasuk satu kategori dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori yang lain. Kesalahan kategori ini juga dapat dibatasi sebagai suatu pertentangan kategori atau bentuk logis satu sama lain sebagai akibat dari kesalahan berpikir kita.
Dalam karyanya yang berjudul The Concept of Mind menjelaskan bahwa category mistake terjadi ketika seseorang mengidentifikasi objek hanya menggunakan body atau physical word dan mind atau concept.
***
Di dalam body seseorang melihat secara langsung dan memasukkanya dalam definisi mind, maka akan menciptakan mistaken preposition atau preposisi yang salah sementara kita tidak langsung menyelami atau mengalami.
Mengalami di sini bukan sekedar masuk kedalam satu arah, tetapi melihat satu persatu. Maka dalam keadaan mengalami ini seseorang akan lahir self knowledge.
I mean this book is good atau I think this book is interesting, kata interesting ini sejatinya merujuk kemana? Apakah hanya merujuk ke covernya saja atau kepada hal yang lainya?
Ini menunjukkan seseorang hanya melihat kepada sisi bodynya saja lalu mengkonseptualisasi kata ‘interesting’. Maka, jadi tidak menunjukkan keseluruhan dari sesuatu itu atau objek yang diamati.
Hal ini sesuai dengan pendapat Imanuel Kant bahwa objek itu tidak bisa diindentifikasi secara keseluruhan. Manusia hanya bisa menangkap fenomena dari objek tersebut.
Maka ketika kita mengamati fenomena hanya pada sisi body dan mind nya saja, berarti tidak berdasarkan pengalaman kita langsung. Dan ketika fenomena itu kita alami secara langsung, maka kita baru akan bisa menjelaskan fenomena dengan baik.
Kesalahan seperti itu sering terjadi di kalangan tekstualis dan kontekstualis dalam mengkaji Al-Qur’an. Berbeda halnya dalam penafsiran Syekh Al-Sya’rawi.
Beliau mengkombinasikan seluruh aspek termasuk aspek mengalami dan dengan beberapa aspek body yang disebut di dalam Al-Qur’an, lalu merelasikan antar ayat termasuk mind.
Namun untuk memunculkan self knowledge dibutuhkan pengalaman Nabi Ibrahim ketika bersentuhan dengan lafaz ” لأب” (bapak) itu.
Dengan demikian, self knowledge itu akan diketahui dari pengalamannya Ibrahim ketika kita masuk ke dalamnya sehingga kata “Azar” itu dapat diketahui bukan bapaknya langsung. Tetapi ia adalah pamanya Nabi Ibrahim.
Editor: Yahya FR