Pola Tindakan Teror
Aksi meledakan diri di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021). Dramatisnya, aksi itu dilakukan sepasang suami istri. Muda, dan masih hangat-hangatnya menempuh kehidupan baru pasca melepas lajang.
Insiden itu masih menyisakan trauma. Trauma itu tak hanya dirasakan para keluarga korban. Publik secara umum juga ikut terkena imbas itu. Tak berhenti di situ, aksi teror masih saja berlanjut. Saat seorang remaja putri berhasil menerobos pintu penjagaan di Mabes Polri dengan membawa senjata api di tengah harapan kepastian kondusifnya keadaan pasca insiden.
Sampai hari ini aksi-aksi martir tersebut masih ada dan entah sampai kapan kejadian seperti ini akan berakhir. Banyak pertanyaan muncul, doktrin, dan ideologi, seperti apa yang mereka anut sehingga berani melakukan tindakan yang justru tidak dianjurkan oleh agama Islam, bahkan oleh agama manapun. Apa motif yang melatarbelakanginya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas masih sangat aktual, dan tidak sedikit para peneliti melakukan analisa untuk mencari jawaban. Noor Huda Ismail misalnya, dalam buku Jihad Selfie (2018) menemukan dua pola tindakan kekerasan melalui perekrutan yang terjadi di seluruh dunia. Pola pertama, menurutnya pola lama, di mana setiap individu yang terlibat dalam aksi terorisme biasanya diawali dengan bergabung dalam suatu kelompok kekerasan.
***
Kedua, dengan pola baru di mana individu mendapat akses informasi yang mudah di media sosial mengenai konflik di luar negeri yang pada akhirnya menjalin komunikasi untuk masuk ke dalam jaringan dengan para pelaku aksi. Temuan Huda Ismail, terutama dalam bentuk pola kedua ini menarik dicermati karena teknologi informasi menjadi pintu masuk yang paling mudah di samping faktor psikologis.
Tidak heran jika ada sebagian orang yang ingin belajar agama, media pembelajaran melalui internet digunakan karena mudah diakses ketimbang melalui tatap muka. Di mesin pencarian online semua tersedia untuk mencari jawaban yang selama ini menggantung dalam pikiran, termasuk cara cepat masuk surga.
Pelaku jihadis memang sudah tidak didominasi oleh kalangan laki-laki, beberapa peristiwa yang terjadi belakangan telah melibatkan perempuan termasuk aksi yang dilakukan seorang perempuan di Mabes Polri Jakarta, yang akhirnya dilumpuhkan timah panas polisi.
Dalam perkembangannya, aksi teror yang terjadi tidak mudah dikaitkan langsung oleh agama. Apalagi jika ditujukan kepada agama tertentu maka asumsi-asumsi itu membutuhkan pembuktian yang kuat meskipun simbol dan identitas yang ada menggambarkan informasi yang gamblang. Namun, bukan berarti ini persoalan agama tertentu, bisa jadi ada kekeliruan dalam persoalan tafsir terhadap agama yang berujung menjemput kematian yang konyol.
Naluri Kosong Pelaku Teror
Di luar kenyataan itu, fenomena aksi teror yang dipicu semangat keagamaan tidak mudah direduksi dalam suatu fakta empiris yang menyamakan jihad dan buah keimanan. Semua pihak sedang berusaha bagaimana membuka pintu yang berkabut itu agar dapat terlihat sebagaimana adanya. Setiap tindakan adalah perbuatan sadar dan di sana eksistensi manusia ada.
Dalam fenomenologi seperti diungkapkan Edmund Husserl, kesadaran transendental yang kemudian menjadi reduksi merupakan kesadaran yang bersifat ego transendetal. Artinya dunia yang tampak tidak dihubungkan lagi dengan kesadaran individu (A. Yusuf, 2012).
Fenomena teror dengan alasan agama, menurut “psikologi eksistensial” tidak melulu bermakna positif. Kecemasan dan keterlemparannya dalam alam keabadian yang palsu justeru bagi mereka adalah istimewa yang pada kenyataannya juga didorong oleh naluri yang kosong dan cinta kematian yang kehilangan makna.
Pengalaman-pengalaman yang dialami para martir, impian bidadari, surga dan keabadian dalam dunia kehidupan doktrin mereka pada hakikatnya merupakan penafsiran yang tidak selesai. Jika tidak selesai tentu ada ruang kontekstual yang perlu dijadikan solusi bagi mereka yang terjebak doktrin sesat untuk bisa kembali kepada ajaran agama yang luhur dan bermartabat.
***
Perilaku yang ditunjukan oleh pelaku teror merupakan kenyataan bahwa seseorang dengan aktif melakukan intepretasi atas realitas sosial, budaya dan dunia dengan pengalamannya. Yang dalam hal ini tindakan tersebut merupakan perwujudan intensi (niat), yang bermakna keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu tindakan secara sadar.
Perilaku tersebut mendapatkan kontektualisasinya dalam teori perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) tentang Theory of Reasoned Action (TRA). Menurutnya ada dua faktor penentu intensi, yaitu sikap pribadi dan norma subjektif. Sikap merupakan evaluasi positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu. Sedangkan norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Teori tersebut tak sepenuhnya berada dalam kontrol seseorang, lebih lanjut dikembangkan oleh Ajzen (1985) menjadi Theory of Planned Behavior (TPB) yang ditujukan untuk memprediksi perilaku individu secara lebih spesifik. Karena itu, Ajzen dalam TPB, menambahkan satu faktor yang menentukan intensi yaitu perceived behavioral control yang mengandung makna persepsi individu mengenai kontrol individu tentang kemampuannya untuk mewujudkan perilaku tertentu.
Rekonstruksi Keyakinan Semu Pelaku Teror
Berangkat dari perspektif teori di atas, maka perilku teror yang terjadi dapat analisis dengan cara melihat macam-macam keyakinan pelaku terhadap tindakan bom bunuh diri itu sendiri. Perilaku teror dan bunuh diri yang didasari atas keyakinan untuk mendapatkan surga dan bagian dari jalan sunyi dalam membela agama. Situasi itu menandakan bahwa pelaku memiliki sikap positif atas perilaku kekerasan tersebut.
Hal ini juga berkelindan dengan dukungan dari lingkungan mereka yang terbatas. Di mana pelaku merasa mendapat dukungan dari ustadz atau pemimpin mereka yang tidak berhenti memberikan asupan materi agama dengan metode doktrin yang serba dogmatik. Begitu juga perilaku “heroic” para pelaku martir pendahulu mereka, semakin memupuk keyakinan akan dorongan munculnya intensi melakukan aksi teror tersebut.
Intensi perilaku ini menemukan kombinasi dari sikap terhadap perilaku (faktor internal), norma subjektif (pengaruh sosial), dan persepsi atas kontrol perilaku. Maka jika si pelaku merasa memiliki kemampuan untuk melakukan, adanya dukungan penuh dari lingkungan, terpenuhinya instrument untuk melakukan aksi teror, serta situasinya sudah memadai derajat aktual kontrol, maka individu akan mengekspresikan intensi menjadi sebuah perilaku teror bom tersebut.
Tinjauan ini, merupakan kajian lanjut. Pelaku teror bunuh diri sejatinya manusia yang memiliki keterbatasan persepsi dan miskin literasi. Keterbatasan lingkup pergaulan menyeret mereka pada ruang tafsir yang salah, dan pada akhirnya menciptakan keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan penafsiran agama semestinya.
Sehingga menjadi salah satu pendorong munculnya niat dan berujung pada aksi jika situasi menguatkannya. Dalam konteks ini pula kesatuan makna yang empiris dan tak tampak menjadi penting dibicarakan yang pada gilirannya dapat memutus mata rantai kekerasan aksi martir atas nama agama di Indonesia.
Editor: Yahya FR