Perspektif

Mabuk Agama Sebabkan Orang Jadi Teroris, Benarkah?

3 Mins read

Teroris dan Radikalis Mabuk Agama

Mabuk Agama |Religion is the opium of people”, agama adalah candu masyarakat, kutipan Karl Marx perihal agama yang begitu mendunia. Mengonsumsi candu atau opium tentu saja memabukkan, membuat teler, masuk dalam dunia bayang-bayang, dan ujungnya tidak lain membawa kerusakan dan kemusnahan.

Kutipan yang kemudian menjadi salah satu premis Marxisme itu merujuk pada kondisi masyarakat tertindas pada masanya, yaitu kondisi saat masyarakat menerima agama sebagai pelarian dan pembenaran dari penderitaan sebagai dampak struktur kuasa di dunia nyata. Dalam pandangan Marx, sejalan dengan filsuf Ludwig Feuerbach, agama membuat orang mabuk, tidak berdaya dalam alam kesadaran palsu.

Agama Sebagai Kekuatan Pendorong

Salah satu pernyataan kritis yang patut dipertimbangkan soal agama candunya Marx adalah pernyataan Andrew N. Wilson dalam bukunya Against Religion: Why We Should Try to Live Without It yang mengandung kritik tajam pada keberadaan agama.

Wilson menyebut bahwa alih-alih agama menjadi sebuah candu yang membuat orang teler dan tak berdaya, agama justru menjadi pendorong kuat orang untuk bergerak, sekalipun dalam konteks negatif yang ia ibaratkan dengan penganiayaan pada sesama dan klaim kebenaran sepihak. Barang kali pendapat ini tidak sepenuhnya keliru, bahwa misalnya pemahaman agama telah menjadi salah satu pemantik gerakan terorisme yang kerap kita saksikan saat ini.

Apakah Agama Jadi Biang Kerok Tindak Terorisme?

Lantas apakah agama menjadi sebab semuanya? Benarkah bahwa para teroris dan kelompok radikalis mabuk agama? Tentu kita tidak akan berdebat soal apakah agama menjadi biang keladi terorisme.

Perdebatan serupa sekilas terjadi antara ilmuwan Prancis, Olivier Roy dan Gilles Kepel. Secara singkat Kepel berpandangan bahwa kekerasan adalah residu agama, sedangkan di sisi yang lain Roy berpendapat bahwa terorisme merupakan dampak dari radikalisasi dan agama sebagai wahana justifikasinya.

Baca Juga  Terorisme: Dampak Memahami Agama Secara Dangkal

Lepas dari itu, agama jelas mengajarkan kerahiman Tuhan, namun tak dapat dipungkiri bahwa kelompok teroris dan radikalis secara serampangan mengaktualisasikan keyakinan dan melegitimasi pemahaman keagamaan dalam bentuk intoleransi dan bahkan terorisme.

Menuhankan Benda

Para teroris dan jihadis tentu melalui pengalaman beragama yang menarik sehingga sampai pada kesimpulan nihilis dan fatalis. Pengalaman beragama yang menyimpang ini muncul baik pada praktik perilaku maupun pada pemahaman konseptual.

Bila diperhatikan misalnya, di kalangan jihadis, konsep mati syahid selalu diasosiasikan pada hadiah instan berupa surga dan segala fasilitasnya, termasuk 72 bidadari, terhindar dari pengadilan Tuhan, lepas dari azab kubur, hingga tiket jalur khusus masuk surga bagi 70 orang kerabat.

Dari situ, data etnografi digital yang penulis kumpulkan dari kelompok jihadis pro-Islamic State menunjukkan pembahasan yang berputar-putar pada urusan yang sama, keutamaan jihad berperang atau terorisme, bunuh-membunuh, hijrah ke daulah Islam, permusuhan, konsep thaghut, dan haram halal hitam putih berbagai persoalan kehidupan dari mulai urusan menjadi pegawai negeri hingga hukum demokrasi.

Demikian pula dengan beragam potret aksi intoleransi dari kelompok-kelompok ini. Masih jelas dalam ingatan kita soal video viral penghancuran situs-situs arkeologi berupa patung-patung bersejarah dari kebudayaan kuno di Irak oleh kelompok ISIS.

Fenomena serupa terjadi pula di tanah air. Misalnya peristiwa pengeboman simbolik pada Candi Borobudur tahun 1985, atau perkembangan baru-baru ini soal kelompok yang mempersoalkan bendera Rasulullah hingga peristiwa viral penendangan sesajen di Gunung Semeru.

Pengalaman Beragama

Menarik untuk melihat perspektif seorang teolog Jerman Rudolf Otto mengenai pengalaman beragama. Ia menyebut pengalaman religius dan mengenal Tuhan dengan istilah numinosum tremendum et fascinosum, pengalaman berhadapan dengan spirit yang tremendum (dahsyat, menggentarkan) dan fascinosum (menakjubkan), spirit Tuhan oleh Otto digambarkan dalam dua bentuk tersebut.

Baca Juga  Bagaimana Terorisme Memanfaatkan Media Baru?

Lalu barang kali kita bertanya, bagaimana halnya bila kemudian orang menjumpai hal-hal maha dahsyat dan luar biasa menakjubkan selain Tuhan dalam hidup? Barang kali artinya kemudian manusia dapat menuhankan yang sejatinya bukan Tuhan, selama ia dirasa dahsyat dan menakjubkan.

Perumpamaan itu sejalan dengan contoh kasus pengalaman religiositas para teroris dan kelompok radikalis di atas. Tampak dari beragam kajian yang mereka lakukan serta motif di balik aksinya. Kita patut menduga bahwa kelompok-kelompok ini telah begitu jauh dari tuntunan agama, sebab pada praktiknya kemudian kelompok teroris dan radikalis menuhankan beragam benda, hal-hal yang bersifat fisik dan sangat berbau keduniaan, alih-alih mengesakan dan mengagungkan Tuhan.

Tuhan telah direduksi oleh pemahaman kelompok teroris dan radikalis dalam kebendaan, jauh dari sifat Tuhan yang kerap kali sifatnya transendental dari kehidupan fisik duniawi.  

Paradoks Islam Berkemajuan

Kelompok semacam ini adalah paradoks Islam berkemajuan di Indonesia. Saya kemudian mengingat sebuah tulisan Cak Nur yang begitu menohok, bahwa “karakter dan sifat agama Islam yang mendukung kaum muslimin memasuki kehidupan modern adalah egalitarian dan bersemangat keilmuan.”

Semangat keilmuan yang sifatnya rasional dan scientific sepatutnya dapat mengantarkan iman pada Tuhan pada jalan agama yang damai dan progresif. Atau mendekati Tuhan dalam kutub yang lain, yang lebih sufistik. Seperti terlukis dalam syair Rabi’ah Al Adawiyah yang melukiskan kerelaannya dibakar api neraka bila sujud dan ibadah fisik semata-mata karena takut neraka dan mendamba surga. Dua aspek yang rasional serta scientific serta sufistik inilah yang hilang dari kelompok teroris dan radikalis yang berkembang di tanah air, keduanya perlu direspons oleh masyarakat Islam dari kedua kutub itu.

Baca Juga  Hati-hati dengan Propaganda Terorisme di Media Sosial

Editor: Yahya FR

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *