Oleh: Adis Setiawan*
Ekologi berasal dari oikos dan logos, oikos bisa diartikan tempat tinggal atau lingkungan, sedangkan logos bisa diartikan ilmu atau studi. Jadi, ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkunganya.
Mungkin beberapa orang tak sadar tentang ekologi. Karena tidak sadar maka yang timbul rasa tidak peduli. Mungkin, karena tidak punya pengetahuan tentang ekologi, jadi sebab akibatnya kerusakan yang ditimbulkan dari bencana ekologi. Juga membuat tidak timbulnya rasa takut, karena tidak punya rasa takut merasa lingkungan di masa yang akan datang. Santai-santai saja dalam menyikapi perbuatan manusia yang sebetulnya merusak bumi. Itu rumusnya.
Tugas Menjaga Alam
Ketakutan terhadap rusaknya ekologi menurut saya termasuk dalam kategori rasional. Karena kita turun di bumi untuk menjadi sang khalifah, untuk menjadi pemimpin dan juga menjaga alam. Bukankah seorang muslim harus mampu untuk sukses di dunia dan akhirat? Sukses di dunia sebagai khalifah di bumi–sesuai definisi saya. Dalam arti bisa menjaga merawat alam agar tidak rusak untuk diwariskan kepada anak cucu kita.
Salah satu bukti bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan alam sekitar adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyingkirkan gangguan dari yang menghalagi jalan yang beliau jadikan sebagai salah satu cabang keimanan. Begitu pula perintah beliau untuk menanam pohon walaupun esok hari kiamat. Di samping kita telah menjaga kehidupan manusia di sekitar kita.
Kenapa saya bilang tidak punya pengetahuan maka akan timbul rasa tidak takut dengan apa yang terjadi? Karena manusia itu akan timbul rasa takutnya dengan bertambahnya ilmu pengetahuan. Misalnya anak kecil belum banyak pengetahuan melihat putih-putih terbang mereka tidak takut, bisa jadi malah tertawa. Sedangkan yang sudah tahu, apalagi pengetahuanya yang setengah-setengah, melihat putih-putih terbang pakai daster di tempat gelap pasti takut.
Teror Ular Kobra
Beberapa hari belakangan viral banyak ular kobra masuk ke permukiman warga, ini adalah tanda-tanda bencana ekologi. Memang ularnya belum terlalu banyak berkeliaran, ini tanda-tanda sebuah bencana ekologi meskipun baru belasan ekor ular saja yang tampak.
Menurut Peneliti Biologi LIPI Amir Hamidy, di awal musim hujan ini adalah memang waktunya telur ular untuk menetas. Tidak hanya ular kobra tapi semua jenis ular. Yang jadi masalah menurut saya mengapa bisa masuk di pemukiman warga? Apakah ekosistem ular terganggu dan rusak? Jika iya, berarti ini adalah sebuah bencana ekologi. Rusaknya ekosistem hewan karena ulah manusia yang kurang dalam pengetahuan ekologi.
Banyaknya ular yang bermunculan itu menandakan bahwa memang rantai makanan dalam ekosistem hewan sudah terganggu. Rantai makanan yang terganggu seperti elang sebagai predator sudah berkurang, sehingga ular dapat leluasa hidup. Atau misalnya hewan pemakan telur seperti garangan (semacam musang) juga sudah berkurang karena sering ditembak oleh para pemburu hanya untuk hobi.
Selain itu munculnya ular di lingkungan masyarakat karena hewan-hewan ini mencari tempat yang gelap dan lembab di tengah musim hujan. Bisa jadi masyarakat tidak peduli kebersihan dan tidak menjaga lingkungan karena sampai ular mau bertelur di rumah sekaligus menjadi sarang induk ular kobra. Ini disebabkan kurangnya gerakan cinta ekologi.
Biasanya ular kobra juga suka berada di kayu lapuk, atau di bawah timbunan daun-daun kering. Masyarakat tidak peduli membersihkan puing-puing kayu bekas sehingga dibiarkan saja lapuk pada akhirnya menjadi sarang ular, Atau sampah daun-daunan di tumpuk, ditimbun setelah menyapu–tidak langsung di bungkus dan dibuang ke tempat sampah.
Rusaknya Ekosistem Hewan
Memang ular kobra itu berbahaya karena berbisa, tapi saya tidak sedang ingin membahas pantas atau tidaknya ular itu diburu karena masuk permukiman warga. Bisa masuk permukiman warga pasti karena ada sebabnya, sedangkan mereka sebetulnya punya ekosistem sendiri. Ketika kepentingan pada diri kita merusak suatu ekosistem hewan atau tumbuhan maka hewan pun mencari tempat yang lain. Itulah yang selama ini kita anggap tidak penting, bahkan sekadar tahu saja dalam pelajaran biologi ketika SD tentang rantai makanan. Tetapi, ilmu itu tidak diterapkan.
Sebetulnya saya juga berfikir petani juga bahkan tega terhadap rusaknya ekosistem hewan. Misalnya mereka menanam padi setelah tumbuh biji padinya banyak burung pipit pemakan biji padi tersebut pada datang di wilayah persawahan. Walaupun petani tidak membunuh dan hanya memberi orang-orangan sawah agar burung-burung takut.
Tetapi dampaknya terasa ketika panen maka, padi ditebas dan burung pipit tidak bisa cari makan lagi ekosistem mereka terganggu. Entah pergi ke mana burung-burung tersebut. Kita sudah jarang melihat keindahan burung pipit terbang bergerombolan banyak di atas seperti membentuk fomasi pesawat tempur.
Bahkan saya ingin katakan bidang pengairan pun juga merusak ekologi hewani, ketika musim hujan jalur selokan ada banyak airnya disitu menjadi ekosistem ikan betik, sepat, ikan keting, sampai unjar. Sedang pada hidup, Ketika pergantian ke musim panas dan bidang pengairan tak kirim air, Terdapat ikan sekarat di selokan tergeletak kehabisan air dan bersembunyi di lumpur. Saya pernah berniat mau menyelamatkan ikan-ikan tersebut bahkan dapat satu ember besar ikan yang sekarat karena kekeringan pada musim perpindahan dari musim hujan ke musim panas. Entah karena peraturan atau apa, pihak pengairan tidak mengirim sedikit saja air untuk sekedar membahasi selokan agar ikan-ikan kecil hidup.
Teror yang Merugikan
Kita ambil contoh yang lebih bermanfaat misalnya kalau tak ada kiriman air maka tumbuh-tumbuhan pada kering menyebabkan oksigen bisa berkurang dan udara menjadi kotor bahaya untuk kesehatan pernafasan, Tentunya bagi petani juga untuk pengairan sawah agar padi juga bisa tumbuh.
Jangan-jangan setelah ular nanti akan tumbuh banyak tikus, walaupun sebetulnya tikus sudah banyak di Bekasi beberapa kali saya cek mesin mobil warga pasti jadi korban keganasan tikus. Kabel kelistrikan mobil digrogoti dan putus. Sebetulnya ini sudah jadi bencana ekologi. Saya melihat selokan mampet, air sampai kental bercampur sampah, itulah ekosistem tikus yang nyaman akhirnya berkembang biak. Kemudian meneror kabel-kabel mobil warga setempat.
Warga pun hanya sibuk kerja, kerja dan kerja. Akhirnya lingkungan tidak terawat dan akibatnya mobil mereka digrogoti dan uang hasil kerja untuk bayar service mobil. Sabtu-Minggu kesempatan untuk kerja bakti justru digunakan untuk liburan saja.
Menurut saya gerakan ekologi tak hanya sekedar buang sampah pada tempatnya saja, Tapi juga harus diperhatikan rusak apa tidaknya sebuah ekosistem pada lingkungan, menebang pohon sembarangan atau berburu suatu hewan yang memutus rantai makanan. Akibatnya ada yang punah dan ada yang berkembang biak menjadi banyak, pada akhirnya di sebut teror, padahal itu bencana ekologi yang dibuat manusia dengan sadar maupun tak sadar.
Kebutuhan Pengajian Ekologi
Setidaknya minimal mengerakan ekologi lewat literasi atau di lingkungan pendidikan pada sekolah dan kampus. Benar kata Mas Menteri, kita tidak butuh hafalan yang hanya cuma dihafalkan, tapi kita butuh memahami dan diimplementasikan. Setidaknya kita harus mencintai ilmu lingkungan bukan hanya mencintai gagasan cara pandang seseorang tentang lingkungan.
Bahkan saya membayangkan kita reformasi dalam sistem pendidikan, misalnya disudut-sudut masjid digunakan untuk pengajian tentang ekologi. Lho ngaji kok bukan ilmu agama? Justru itu jalur yang kita tempuh, setiap manusia kan tidak tahu dapat hikmah dan hidayah kapan dan dimana bisa saja dari ilmu apa saja. Makanya kita tempuh jalur lewat mana saja dalam mencari ridho Allah SWT.
Wallahua’lam Bisshawwab
*) Mahasiswa STIT Nusantara Bekasi