Membaca “Islam Radikal”
Banyak orang yang memberikan perspektif mengenai kekeliruan dalam melihat soal terorisme dan kaitannya dengan Islam yang memang tidak pernah membenarkan seseorang melakukan tindakan demikian.
Kendati banyak juga yang gencar memberikan pendapat bahwa memang teroris itu memiliki agama, dalam hal ini Islam. Salah satu kalangan akademisi, Ade Armando, ketika terjadi peristiwa ledakan baru-baru ini, bahkan menulis di akun twitternya (28/03/21), bunyinya:
“Sebuah ledakan terjadi di depan Gereja Katedral Makassar. Bom meledak sebelum pelaku masuk ke dalam gereja. Masih tidak percaya ada Islam radikal?”
“Masih tidak percaya dengan Islam radikal?”, frasa ini seolah-olah mengamini Islam menjadi motif dari terorisme.
Mendudukkan “Islam Radikal”
Ada yang mesti dijernihkan terlebih dahulu, bahwa “Islam” dan “radikal” adalah dua kata yang memiliki makna konseptual, jadi tidak bisa digunakan sebagai judgement seenak jidat tanpa terlebih dulu mengurai konsep, karena itu berpotensi disalahpahami oleh masyarakat.
“Islam” berasal dari kata bahasa Arab, “الاسلام”, artinya ‘berserah diri pada ajaran Islam’. Selain itu, bisa bermakna perlindungan, pemeliharaan, pengamanan, di mana jauh dari makna yang mengarah pada kekerasan, dalam bentuk apapun itu.
Islam sejak awal kemunculannya adalah agama fitrah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Islam adalah agama yang fitrah yang pasti akan diterima oleh semua orang yang memiliki fitrah yang salimah.” Maka dari sini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa tindak terorisme itu menyalahi fitrah dengan membahayakan diri sendiri dan keselamatan orang lain.
“Radikal” berasal dari bahasa Inggris, “radical”, yang berarti akar, dasar, maksudnya melihat sesuatu itu hingga ke akar-akarnya. Dalam banyak hal, kita mesti berpikir radikal, membedah sesuatu hingga ke akar, guna mendapatkan kebenaran.
Apalagi dalam beragama, seseorang itu mesti berpikir seradikal mungkin, supaya kuat—baik dalam akidah dan muamalahnya. Maka tindak terorisme dalam bentuk apapun adalah akibat dari pemahaman dangkal terhadap Islam, boleh jadi karena tidak berpikir radikal dalam beragama.
Kendati dalam memahami Islam, beragam penafsiran memang muncul ketika mengaji teks-teks Al-Qur’an. Salah satunya tentang istilah “jihad” yang sering dijadikan dalil bagi pelaku terorisme.
Kendati demikian, seorang akademisi komunikasi sekelas Ade Armando seharusnya mampu menghitung frekuensi dan dampak resonansi dari kalimatnya di twitter, agar tidak muncul lagi stigma dalam masyarakat yang diakibatkan tidak bijaknya kita dalam berkomentar.
Pelaku teror dalam melancarkan aksinya itu dipengaruhi oleh “doktrin” Islam yang diakibatkan dari penafsiran saja, bukan dipengaruhi oleh ajaran Islam itu sendiri.
Melihat Terorisme dari Sisi Lain
Kalau ditelisik lebih jauh, peristiwa semacam ini bukan sekadar terkait dengan aspek teologis, tapi juga kondisi sosial dan politik.yang melingkari seseorang. Maka orang bisa mulai bertanya, “Apa yang sebenarnya menjadi sebab orang melakukan tindak terorisme?”
Sosiologi politik, menurut Bottomore (1979), membahas mengenai peran negara dan relasinya dengan civil society. Maka negara memiliki andil dalam memberi pengaruh pada masyarakat dalam konteks hubungan timbal balik yang relasional. Sehingga, kekuasaan negara secara politik memberi dampak dalam prosesnya menjalankan pemerintahan.
Melihat adanya relasi antara negara dan masyarakat, tindak terorisme boleh jadi merupakan output dari cara pemerintah mengelola kekuasaan. Tugas utama negara ialah mendistribusikan keadilan, jika tidak demikian, maka akan berimbas pada adanya social unrest dalam beragam bentuknya, termasuk tindak terorisme. Selama keadilan memang ditegakkan, terutama oleh negara, potensi seseorang untuk melakukan tindak kekerasan bisa tergerus dengan sendirinya.
Komunikasi negara dalam hal ini menjadi begitu penting, karena mereka memiliki kuasa untuk mengendalikan opini publik. Seandainya problem keadilan itu disadari oleh negara, maka ia tidak akan serta merta mengamini bahwa tindak terorisme itu sekadar akibat dari pemahaman agama yang keliru, tapi juga ada problem ketidakadilan yang belum tuntas.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah justru memberikan public address yang menyuburkan stigma buruk terhadap agama, terutama Islam. Hal ini diperlihatkan misalnya isu radikalisme yang sering kali digemborkan, seolah-olah itu menjadi ‘monster’ dalam tubuh masyarakat yang mesti dimusnahkan. Akibatnya, istilah itu menjadi sempit dan mengalami distorsi, sebagaimana uraian saya tentang cuitan yang ditulis oleh Ade Armando.
Soal Agama atau Ketidakadilan?
Menurut Weber, agama adalah fungsi dari stratifikasi sosial. Menurut Marx, agama sebagai representasi dari kelas sosial, maka mudah dipahami kalau memahami agama mengaitkan diri dengan basis material yang melatarbelakangi.
Boleh jadi, ia bertindak bukan hanya karena landasan keyakinan teologis-normatif, melainkan lebih didasarkan kepada peran dan posisi klas sosial mereka. Sehingga, bagi masyarakat yang merasakan ketidakadilan, sangat mungkin agama berfungsi sebagai pembebasan diri dari struktur yang membelenggu.
Salah satu landasan teologis yang memberi pengaruh signifikan terhadap tindak terorisme ialah adanya doktrin mengenai konsep “jihad” dalam Islam. Misal hadis yang berbunyi, “Jihad yang paling utama adalah memperjuangkan keadilan di hadapan pemerintahan yang lalim.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri).
Ada yang memaknai jihad tersebut ialah memerangi musuh—sebagaimana ditunjukkan dengan tindak terorisme yang mengasumsikan adanya musuh—karena hal itu memiliki risiko paling besar, yakni hilangnya nyawa, kendati terdapat beragam tafsir mengenai itu.
Maka seharusnya, negara perlu menengok sisi keadilan yang diperjuangkan oleh mereka yang melakukan tindak kekerasan.
Manusia memiliki dorongan dari dalam dirinya, sehingga individu memiliki kebebasan untuk mengarahkan keadaan di luar dirinya. Maka, dalam memahami tindak kekerasan, tentu perlu mengurai bagaimana individu dalam memaknai setting kehidupan sosial.
Sebagaimana teori strukturasi Giddens yang mengasumsikan adanya interdependensi antara tindakan dan struktur, sehingga manusia berada dalam dualitas struktur, di mana individu pada satu sisi memproduksi struktur, tetapi di sisi lain juga merupakan ciptaan struktur sosial di mana ia turut membentuknya.
Peran negara dalam hal ini menjadi begitu penting, kendati seluruh lapisan masyarakat memang berperan.
Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sangat menentukan kondisi masyarakat yang dibawahi, sehingga ketika muncul sosial unrest haruslah dilihat dari kacamata yang lebih luas, bukan sekadar membuat stigma yang tidak berguna.
Keadilan adalah hak setiap orang dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan keadilan itu terdistribusi sebaik mungkin, bukan hanya di ranah elite, namun juga masyarakat seluruhnya.
Sekian.
Editor: Yahya FR