Agama Akar Terorisme?
Tidak semua kekerasan mempunyai basis keagamaan. Tetapi pada kenyataannya, kekerasan seringkali terjadi atas nama agama. Meminjam bahasanya Khaled Abou El Fadl kekerasan “atas nama Tuhan”.
Agama menjadi alat untuk melegalkan kekerasan, bahkan hingga rela menghilangkan nyawa sendiri alias bom bunuh diri. Mereka mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang tanpa menginterpretasi teks lebih dahulu bagaimana teks itu diturunkan secara historis-kontekstualis.
Kelompok ini memperlakukan teks sesuai agenda dan kepentingannya, utamanya teks yang berhubungan dengan ayat-ayat jihad dan semacamnya. Mereka mengklaim sebagai pembawa jalan kebenaran, penguasa kebenaran. Seolah-olah mereka adalah wakil Tuhan yang telah ditunjuk untuk memperbarui kehidupan manusia dengan memanipulasi teks serta mengeksploitasinya untuk ditindaklanjuti sesuai keinginan dalam kehidupan publik.
Dalam membaca ulang persoalan ini, agama menjadi poin sentral. Kesalahpahaman terhadap agama menjadi salah satu sumber ideologi untuk pembenaran kekerasan. Tak jarang diskriminasi atas nama agama, merusak fasilitas sampai pengeboman dibungkus dengan apik atas dalih agama.
Tindakan kekerasan atau bom bunuh diri yang sering dilakukan oleh kelompok radikalisme-terorisme ini menurut mereka adalah jalan satu-satunya sebagai kritik terhadap pemerintah dan segala kebijakannya. Sangat disayangkan, pemahaman yang keliru terhadap agama ini, nyawa pun melayang. Dampaknya bukan hanya pada dirinya, bahkan bagi orang di sekitarnya.
Beberapa Kasus Terorisme atas Nama Agama
Beberapa hari yang lalu, bom bunuh diri terjadi di Astana Anyar Kota Bandung Jawa Barat, tepatnya pada Rabu 7/12/22. Berita ini sempat mengejutkan pihak kepolisian, betapa tidak, pelaku merupakan mantan narapidana kasus terorisme yang dibebaskan pada Maret 2021 yang lalu, berperan sebagai perakit bom yang terjadi di Cicendo pada 2017 silam (baca: tempo.co).
Sebagaimana diketahui, pelaku bernama Agus Sujatna alias Abu Muslim, tidak mau mengikuti program-program deradikalisasi selama di tahanan, bahkan tidak mau ikrar NKRI yang membuat ia mendekap di lapas tipe high risk. Dan yang paling mengejutkan adalah penemuan kertas putih di sepeda motor milik pelaku bertuliskan “KUHP-HUKUM, SYIRIK/KAFIR, PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN”.
Jika diperhatikan pada kasus sebelumnya, misal pada kasus bom bunuh diri oleh pasangan suami istri di depan Gereja Katedral Makassar bulan Maret 2021 lalu juga ditemukan surat wasiat untuk orang tuanya yang berisikan “SIAP MATI SYAHID” (baca: detik.com).
Bahkan pada kasus penyerangan di Mabes Polri pada Maret 2021 lalu oleh seorang perempuan bernama Zakiyah juga ditemukan surat wasiat untuk keluarga yang bertuliskan “..Insya Allah dengan karunia Allah amalan jihad Zakiyah akan membantu memberi syafaat kepada keluarga di akhirat. Jihad adalah amalan tertinggi dalam Islam..” (baca: republika.co.id).
Paham Agama yang Sempit, Akar Masalah Terorisme
Menilik beberapa kasus di atas, agama selalu dikonstruksi untuk pembenaran sebuah tindakan terutama kekerasan atau bom bunuh diri. Mereka terjebak pada pemahaman agama yang sempit, fanatis, dan konservatif. Ayat-ayat jihad yang dieksploitasi oleh kelompok radikal dengan mendekonstruksikan esensi jihad sesuai kepentingannya dan tujuan-tujuan politiknya sebagai bahan propaganda, justifikasi kebenaran, tawaran surga, dan lain sebagainya.
Dalam sudut pandang Islam, Nabi saw sendiri tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Nabi mengambil sikap agree in disagreement, ia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain. Dalam artian, ia mengakui eksistensi dan keberadaan agama-agama lain selain Islam (baca: Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?).
Dengan demikian, klaim kebenaran oleh sekelompok orang dengan mengambil teks agama sebagai basis tindakannya tidak tepat dan keliru. Pembacaan agama harus dilandasi dari berbagai interpretasi keilmuan dengan melihat kondisi dan situasi masa kini. Penafsiran ayat-ayat jihad harus dikaji ulang sesuai dengan perkembangan zaman yang mengitarinya.
Agama seharusnya menjadi pondasi etika dalam menuntun kerukunan umat manusia, tidak perlu ada kekerasan apalagi mengatasnamakan Tuhan. Agama diturunkan sebagai way of life untuk memanusiakan manusia. Bahkan agama sebagai problem solver atas segala persoalan yang dihadapi manusia, tentunya dengan cara-cara yang damai, toleran, santun dan beretika. Karena tujuan penurunan agama adalah untuk dijadikan sebagai mediasi menuju Tuhan (hablumminallah) dan membangun hubungan baik dengan manusia lainnya (hablumminannas).
Dua Sisi Agama: Normativitas dan Historisitas
Lebih jauh, Amin Abdullah menyebut agama memiliki dua unsur penting, yakni normativitas dan historisitas.
Secara normatif agama berupa doktrin, ajaran yang diturunkan Tuhan kepada manusia, oleh karenanya ia lepas dari intervensi manusia. Namun secara historisitas, agama penuh campur tangan manusia sebab agama tidak diturunkan dalam ruang hampa. Agama diturunkan untuk manusia, kemaslahatan umat manusia.
Dengan demikian, memahami agama tidak cukup hanya dengan memahami normativitasnya saja tetapi juga harus menguasai historisitasnya. Meminjam bahasanya Nurcholis Madjid, Islam sebagai doktrin dan peradaban. Kalau bahasanya Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam manusia, keduanya harus dikuasai secara berimbang.
Dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula memang telah dibangun di atas landasan normatif dan historis sekaligus. Jika ada hambatan dan anomali-anomali di sana-sini, penyebab utamanya bukanlah inti ajaran Islam itu sendiri melainkan banyak ditentukan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat.
Tak Boleh Memahami Agama Secara Setengah-Setengah
Oleh karena itu, bukan agamanya yang salah, tetapi pemahaman manusia yang keliru dalam menafsirkan agama termasuk teks-teks yang difirmankan oleh Tuhan salah satunya terkait jihad, disamping persoalan sosial-ekonomi dan politik.
Oleh karenanya, penting memahami agama secara utuh dan menyeluruh, tidak setengah-tengah, apalagi hanya belajar fikih saja (halal-haram) tetapi juga harus ditinjau dari berbagai aspeknya, termasuk hukum, teologi, falsafat, mistisisme, hingga aspek pembaruan dalam Islam (baca: Harun Nasution).
Sebagai penutup, agama itu harus dimaknai secara luas. Dalam hal implementasi, dakwah agama bisa dilakukan dengan cara-cara yang damai, toleran dan santun tanpa menggunakan kekerasan apalagi bom bunuh diri, sehingga agama dapat diterima oleh seluruh umat dan menjadi Rahmat bagi sekalian alam.
Editor: Yahya