Setiap orang tentu yakin dengan iman yang ia pilih. Memilih sesuatu yang tidak diyakini bukanlah iman, itu hanya ikut-ikutan. Keyakinan itu diekspresikan dengan ungkapan-ungkapan seperti “agama di sisi Allah hanyalah Islam”. Atau, kalau dalam tradisi Kristen, “tidak akan sampai seseorang kepada Bapa melainkan melalui aku”. Semua agama punya doktrin ini, itulah mengapa orang perlu memahami keyakinan agama lain sama pentingnya dengan apa yang dia yakini.
Bila kita sadar akan pentingnya sebuah iman, maka kita juga akan sadar bahwa ada orang lain yang sama dengan kita. Mereka beriman pada sesuatu yang mereka pilih begitu saja. Mereka beriman kepada sesuatu yang berbeda dengan kita, tapi dengan cara yang persis sama dengan kita, yaitu percaya begitu saja, bisa kepercayaan dari warisan keluarganya atau pilihannya sendiri, yang jelas orang begitu saja percaya dengan sesuatu sesuai dengan suara hatinya.
Bisakah kita menyalahkan iman orang lain? Bisa. Tapi pada saat yang sama, orang lain juga bisa menyalahkan iman kita. Dengan apa kita menyalahkan iman orang lain? Dengan iman kita. Orang Islam menyalahkan iman Kristen yang menganggap Yesus itu anak Tuhan. Kenapa salah? Karena Quran mengatakan begitu. Adakah dari kedua golongan itu yang bisa memverifikasi Yesus itu anak Tuhan atau bukan? Tidak ada. Mereka hanya percaya saja dengan apa yang mereka percayai.
Bijak dan Santun dalam Memahami Iman Orang Lain
Menurut saya, kita sebaiknya beriman dengan cara ini. Ia yakin dengan yang ia imani, tapi pada saat yang sama ada pula orang yang yakin dengan imannya. Dengan begitu pertanyaan tentang apakah iman orang lain itu benar atau salah menjadi tak relevan. Demikian pula soal apakah penganut agama lain masuk surga atau tidak. Surga dan neraka, sebagaimana Tuhan, adalah wilayah gaib yang tak bisa kita verifikasi.
Tidak ada alasan apapun bagi kita untuk menyalahkan iman atau agama orang lain. Mereka juga memiliki keyakinan yang sama pentingnya dengan apa yang kita yakini. Bila kita kurang hormat dengan agama lain atau malah menuduh yang bukan-bukan, itu sudah masuk kategori penghinaan, Allah sendiri tidak suka bila hambanya mengolok-olok agama orang lain.
Memupuk sikap toleransi dan saling menghargai keyakinan orang lain jauh lebih penting daripada harus mengomentari agama orang atau menyalahkannya. Biarlah mereka berkeyakinan sesuai dengan hati nuraninya, umat Islam pun beriman sesuai dengan keyakinan mereka. Dengan begitu, mudah bagi kita untuk saling memberi hormat kepada keyakinan lain yang jelas-jelas berbeda dengan kita.
Karena semua agama mengajarkan kebaikan dan tidak ada yang bermaksud menyengsarakan umatnya, maka sebaiknya cara beragama kita harus lebih toleran. Dan, yang paling penting dari sikap saling menghormati agama lain adalah kita juga mencoba belajar tentang agama mereka dari sudut pandang mereka, bukan dari sudut pandang kita. Sebabnya, agama apapun, bila dilihat dari sudut pandang kita, sudah pasti salah, tidak perlu dalil untuk menyalahkannya.
Tapi bila kita terus-menerus memupuk fondasi toleransi dan saling memahami keyakinan mereka, tentu kasus seperti ceramah Ustadz Abdus Somad yang baru-baru ini viral tidak akan pernah terjadi. UAS boleh jadi benar, karena ia berada dalam ruang internal umat Islam, tapi haruskah kita mengolok-olok dan merendahkan keimanan orang lain? Atau, menyakiti saudara-saudara kita yang non-muslim dengan mengatakan keyakinan mereka itu najis.
Biarlah orang lain berkeyakinan sesuai dengan kebenaran yang sampai kepadanya, begitu pun dengan kita. Bila membincangkan agama orang lain, lebih baik bicaralah yang baik-baik. Sebab mereka memiliki keyakinan yang sama berharganya dengan kita, tidak ada hak apapun bagi kita untuk merendahkan dan menyalahkan, karena mereka tidak beragama seperti apa yang kita pikirkan. Bila tidak mau memahami keyakinan sebagaimana mereka meyakininya, maka diam lebih bagus.
Dengan begitu, kita akan mudah memahami keyakinan agama lain. Inilah pondasi toleransi yang perlu dipupuk dalam diri semua orang yang mengaku beragama. Bahkan, beragama itu bukan soal mengomentari agama orang lain dan pada saat yang sama merasa paling benar dengan agamanya sendiri. Beragama adalah beribadah kepada Tuhan secara internal, dan bicara yang baik-baik bila berhadapan dengan agama lain.
Bukankah Tuhan juga telah melarang kepada hambanya untuk mengolok-olok keyakinan ajaran agama lain. Tuhan tau, komentar buruk terhadap ajaran agama orang lain juga akan berakibat buruk pada Tuhan. Artinya, Tuhan sendiri akan menjadi bahan olok-olok.
Pemahaman semacam ini penting dimengerti bukan hanya adanya keharusan bagi kita untuk saling menghormati agama lain, tetapi juga sekaligus sebuah upaya bagi segenap penganut agama untuk saling memahami satu sama lain. Dengan tujuan agar tidak terjebak pada cara berpikir konservatisme yang cenderung memahami sesuatu secara hitam-putih dan sangat mudah menyalahkan orang lain.
Editor: Soleh