Perspektif

Tidak Berdayakah Pekerja Sosial Bertarung dengan Covid-19 ?

3 Mins read

Sebagai Muqoddimah cerita ini, perkenalkan saya adalah sosok yang mungkin salah satu dari sekian banyak orang-orang yang merasakan dilema dalam menjalani aktifitas kerja dalam dunia lembaga kemanusiaan. Tuntutan kerja yang harus serba cepat dan harus mempunyai fungsi humanitas yang tinggi dalam pribadi diri terutama penyikapan terhadap Covid-19.

Terlepas dari studi kasus yang menjadi varian untuk kita renungkan mulai dari keputusan pemerintah dalam menangani Covid-19, penulis di awal perbincangan ini sedikit mengutip dalam buku Krisis dan Kehancuran, “Manusia telah menjadi congkak dengan  puncak – puncak keberhasilan kebudayaan dengan meyakini segala loncatan besar sekarang ini adalah fakta kecemerlangan daya logis manusia, meski pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang bunuh diri secara perlahan-lahan”

Melanjutkan kalimat tersebut, tentu spekulasi yang muncul ialah manusia kini semakin cerdas dan kuat di abad modernitas saat ini. Bahkan kesadaran yang timbul ialah kenapa dunia semakin maju dan hebat, dunia juga hancur secara perlahan?.

Gara-gara Covid-19 atau yang biasa kita sebut dengan virus Corona membuat masyarakat saat ini dipertontonkan dengan cepat perubahan-perubahan sosial kebudayaan. Mulai dari pekerjaan yang dialihkan serba maya, rutinitas hidup yang harus serba teknologi, bahkan kepuasan batin hanya cukup dipenuhi dengan segenggam gadget saja serta interaksi manusia yang di batasi.

Situasi yang cukup dilematis bagi masyarakat Indonesia wabil khusus penulis, yang saat ini sedang mangabdikan diri di salah satu lembaga kemanusiaan. Baik, mungkin untuk menggambarkan keadaaan darurat yang kita alami, alternatif yang penulis berikan ialah dengan dua kata yaitu masyarakat Indonesia sedang terbendung pikiran kekhawatiran dan kecemasan.

Dua kata tersebut memang terlintas mempunyai makna yang sama, akan tetapi jika melihat dengan kacamata psikologi, kondisi psikologis tersebut sangatlah berbeda. Kekhawatiran ialah mempunyai sifat yang cenderung dirasakan oleh kepala atau alam pikiran manusia. Sedangkan kecemasan itu sendiri ialah suatu kondisi perasaan yang mendalam sampai dirasakan oleh tubuh sesorang.

Baca Juga  Menggelorakan Semangat #BersatuPerangiCorona

Apakah kedua hal tersebut dirasakan penulis yang berprofesi sebagai pekerja sosial ? Ya jelas. Akan tetapi untuk menggambarkan perasaan saat ini, penulis mencoba untuk berkolaborasi dengan Sigmund Freud dengan meminjam teori kecemasannya yang relevan dengan adanya Covid-19 sebagai bencana kemanusiaan yang cukup besar di alami Indonesia dan Dunia .

Kalau kata Freud, kecemasan realitas atau objektif (Reality or Objective Anxiety) merupakan suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam di dunia nyata. Hal ini benar-benar sedang dirasakan netizen Indonesia karena gejala fisiologis yang timbul ialah adanya rasa takut mati.

Kecemasan ini menuntun kita untuk berperilaku bagaimana menghadapi bahaya. Tidak jarang ketakutan yang bersumber pada realitas ini menjadi ekstrim. Seseorang dapat menjadi sangat takut untuk keluar rumah karena takut terjadi sesuatu yang mengancam dirinya. Kalau konteks saat ini sih, masyarakat Indonesia takut untuk tertular virus Corona.

Penulis mencoba untuk berimajinasi, memikirkan jika seluruh aktivitas semua orang Indonesia berhenti sejenak. Dalam kurun waktu 1 hari, mungkin belum terlihat dampak signifikan bagaimana kalau akativitas berhenti seminggu ? Atau dua minggu ? Ngeri mungkin yaa.

Akankah Progesifitas Pekerja Sosial Sampai Babak Akhir ?

Tidak hanya sebagai fenomena, saat ini Covid-19 sudah menjadi momentum besar terhadap munculnya gerakan-gerakan sosial. Lembaga kemanusiaan, instansi kesehatan, lembaga pendidikan, komunitas, influencer, artis, partai politik, dan lain sebagainya, berbondong-bondong untuk menggerakan kesadaran humanisme masyarakat agar ikut bersinergi dalam pengentasan wabah virus mematikan ini.

Campaign kemanusiaan lawan corona ada di mana – mana, ajakan kepedulian merajalela. Berita sudah menyebutkan tenaga medis merasa kuwalahan, rumah sakit mengharap bantuan untuk pemenuhan kebutuhan  Alat Perlindungan Diri (ADP), himbauan penyemprotan disinfektan tersosialisasikan.

Baca Juga  Ramadhan Sebagai Penguat Iman dan Imun

Cukup kompleks, ujung-ujungnya banyak masyarakat hanya mendesak lembaga kemanusiaan dan pekerja sosial untuk berperan totalitas dalam menghadapi virus ini. Anjuran Work From Home dan Social Distancing kurang berlaku bagi pekerja sosial.

Penulis mengalaminya sendiri, banyaknya permintaan untuk pembagian bantuan masker, hand sanitizer, serta penyemprotan disenfektan.

Apakah ini suatu nasib ? Ataukah ini sebagai ujian pertaruhan moral pekerja sosial ? Bagaimana jika pekerja sosial aktif di lapangan terus nanti tertular, apakah itu wajar ? Menakutkan, penulis menjadi bimbang tetapi mau gak mau ya harus dikerjakan.

Label pekerja kemanusiaan menjadi personal branding yang cukup diperbincangkan, karena mempunyai tugas perhatian lebih terhadap realitas sosial yang mendalam.

Kalau memperbincangkan masalah kecemasan akhirnya menjadi suatu bentuk kebimbanga, penulis memilih untuk memikirkan keselamatan sendiri atau kesalamatan orang banyak?

Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia karena menurut Freud, insting akan selalu mencari pemuasan sedangkan lingkungan sosial dan moral membatasi pemuasan tersebut.

Jadi begini, sebagai pekerja sosial, penulis menerapkan konsep mekanisme pertahanan untuk melawan kecemasan agar tidak terjadi munculnya kecemasan sosial. Kecemasan sosial itu sendiri kata Carnellin merupakan ketakutan akan situasi sosial dan interaksi dengan orang lain yang secara otomatis dapat membangkitkan perasaan mawas diri, penghakiman, penilaian, dan rendah diri.

Sehingga para pekerja sosial bisa mempunyai sikap dan selalu menjadi pelopor gerakan – gerakan kemanusiaan untuk melawan virus Corona. Agar terus masif dan segera memulihkan keadaan. Semoga wabah penyakit mematikan ini hilang dengan cepat dan masyarakat bisa beraktifitas serta beribadah tanpa adanya kekhawatiran dan kecemasan.

Editor: Yahya FR
Avatar
5 posts

About author
Bukan penikmat senja maupun pencinta kopi
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds