Perspektif

Tidak Selamanya Mengandung Takhayul: Inilah Kekuatan Local Wisdom dalam Melawan Covid-19

5 Mins read

Hari ini kita semua sedang ‘kesandung ing rata, kebentus ing tawang’ mendapatkan musibah yang tidak disangka-sangka. Namun, banyak sekali local wisdom dari Jawa yang patut kita rawat dalam rangka ngupi-upi ilmu titen para leluhur yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi, khususnya saat terjadi pendemi Corona.

Saat kita di rumah sudah saatnya kita menerapkan filosofi gemi, nastiti ngati-ati. Gemi dalam arti berhemat. Nastiti, harus cermat dalam segala hal, termasuk cermat dalam menjaga kesehatan diri dan anggota keluarga. Ngati-ati bermakna harus hati-hati jangan sampai kita sakit. 

Filosofi di atas sangat terkait dengan pepatah ‘Toto, titi, tentrem kerto raharjo.’ Toto dalam arti tatanan atau aturan dari pemerintah. Titi dalam arti harus mengikuti seluruh aturan. Kerto raharjo sebagai hasil atas tindakan itu yaitu kehidupan yang makmur, bahagia dan sentosa.

Hal itu sudah pas dengan pepatah, ‘Desa mawa cara, negara mawa tata’, setiap daerah maupun negara mempunyai cara tersendiri untuk menangani wabah, sehingga kita harus patuh dengan tatanan tersebut. 

Dalam menyikapi kondisi ekonomi yang lesu, sudah saatnya harus ‘Welas asih tepo seliro.’ Saling berkasih sayang, saling memberi, saling membantu. Tepo seliro, yaitu saling hormat menghormati. Bila keluar rumah harus memakai masker. Kalau bersin harus ditutup, kalau merasa sakit harus mengisolasi diri. Kalau kita emoh dijiwit, yo aja njiwit. Kalau kita tidak mau tertular penyakit, ya jangan menularkan penyakit kepada orang lain. Jangan sampai ada orang yang ‘gupak pulute, ora mangan nangkane’, orang yang tidak tahu terkena wabah Corona gara-gara kita ceroboh.

Gotong royang mengatasi Corona perlu dilakukan sebab, Rukun agawe santosa, crah agewe brubah, dengan hidup rukun akan sentosa, sebaliknya bila bertikai karena akan bercerai-berai. ‘Wong ngalah uripe berkah’ kalau kita mau memenuhi seluruh anjuran pemerintah tentu hidup kita akan berkah.

Dalam kondisi ekonomi seperti saat ini, kita harus ‘Nerima ing pandum’. Kita harus yakin, bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, tidak mungkin tertukar. Tidak boleh ‘njagakake endoge si blorok, mengharapkan pemberian orang lain. Sing sopo sabar rejekine jembar, barangsiapa sabar, tentu rejekinya akan melimpah.

Berbagai paket bantuan pemerintah, sudah lama ditunggu. Masyarakat sudah ‘ngadang-adang tetese embun’; mengharapkan rejeki meskipun tidak seberapa. ‘Anak polah bapak kepradah’ ketika masyarakat menghendaki bantuan, tentu pemerintah akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.

Baca Juga  Kebijakan Darurat Sipil: Presiden Salah Kasih Obat

Bagi mereka yang kaya ‘Ojo dumeh sugih, lali karo wong ringkih. Jangan mentang-mentang kaya, lupa sama orang yang lemah. Kita juga harus ‘memayu hayunig bawono’. Kita harus tetap menjaga kebersihan, kesehatan, dan ketentraman dunia. Caranya harus dimulai dari ‘Memayu hayuning diri dan kulowargo’, dalam arti selalu menjaga kesehatan diri dan seluruh anggota keluarga kita.

Tidak ada salahnya untuk sesaat kita menerapkan pepatah ‘mangan ra mangan sing penting kumpul’. Filosofi ini kembali berlaku, manakala kita harus tetap di dalam rumah. Kita memenuhi kebutuhan makan dengan cara gemi, nastiti, ngati-ati agar bisa tentram dan bisa memayu hayuning diri lan keluwara. Prinsip ‘ana dina ana upa’ selagi masih ada hari kita masih bisa mencari sesuap nasi.

Kalau kita tetap WFH tentu kita akan mampu ‘memayu hayuning sasomo’, dalam arti bisa menjaga kesehatan bersama. Karena, ‘yitno yuwono leno keno’ siapa pun yang berhati hati akan selamat, dan yang tidak akan celaka.

Memang ada kalanya ‘dudu sanak dudu kadang, yen mati melo kelangan’. Meskipun orang lain yang meninggal karena covid-19, kita sesama umat manusia akan sangat merasa kehilangan. Oleh karena itu janganlah kita melanggar dengan ‘njajah desa milang kori, berada di luar rumah, bisa jadi kita ingin, “mburu uceng, kelangan deleg’. Jangan sampai melakukan ‘cincing-cincing, mekso klebus’, tadinya ingin berhemat tetapi malah boros. Kebat kliwat, gancang pincang, bertindak tidak hati-hati akan sudah pasti akan celaka.

Urip itu urup. Meskipun kita tetap di dalam rumah, kita tidak boleh berpangku tangan, karena hidup itu harus menyala, kreatif, dan inovatif serta bermanfaat bagi orang lain. ‘Obah ngarep kobet mburi’ ketika kita bekerja keras tentu akan menikmati hasilnya kemudian hari.

Siapa yang tetap mau bertahan di dalam rumah pasti akan tetap selamat. ‘Sopo wani rekoso bakal gayuh mulyo’. Dalam arti barang siapa berani sabar dengan tetap di rumah, akan mencapai kemuliaan di kemudian hari. ‘Jer basuki mowo beo, siapa yang ingin selamat ya harus berkorban harta. ‘Angon mongso’ menunggu waktu yang paling tepat untuk bisa berkarya kembali di luar rumah. Orang yang bijak akan tahu kapan harus bertindak. 

Baca Juga  Lockdown Lokal, Upaya Kolektif Menekan Penyebaran Virus Corona

Hal ini berkaitan dengan pepatah, ‘sopo gawe nganggo, Sopo nandur bakal ngunduh’, yang berarti siapa menaman kebaikan, dengan tetap WFH tentu pada suatu saat nanti akan memetik manfaatnya. Di sini juga berlaku filosofi, ngunduh wohing pakarti. Dalam arti siapa pun yang berbuat akan memetik hasil atas tindakan kita.

Sehingga bila ‘Ana catur mungkur’ ketika ada profokasi yang ingin melawan aturan, kita harus menyingkir agat tidak ikut terprovokasi. Yang jelas kita harus ‘jembar segarane’, berjiwa besar agar tetap mampu bertahan. ‘Ojo leren lamun durung sayah, jangan berhenti berusaha dan berdoa hingga terkabulkan.

Pemerintah dan para petugas kesehatan saat ini telah menerapkan pepatah ‘Sepi ing pamrih rame ing gawe’. Mereka berjuang pada garis terdepan, mengorbankan jiwa raga tanpa pamrih. ‘Niat kerjo ora golek perkoro, niat goleh rejeki ora golek rai’. Mereka bekerja untuk kita tanpa ada pamrih, kecuali agar semua kita sehat. ‘Becik ketitik, ala ketara’.  Siapa yang berbuat baik akan tampak, dan siapa yang berbuat curang juga akan terlihat kecurangannya.

Pemerintah juga harus bisa menanamkan sikap ing ngarso sung tuladha, in madya mangun karsa, tut wuri handayani. Bila di depan memberi contoh, di tengah-tengah masyarakat bekerja bersama, dan bila di belakang memberi motivasi.

Siapa pun yang bekerja dalam pemberantasan wabah harus menerapkan local wisdom ‘temen bakal tinemu’, yang berarti bahwa ketika kita berusaha dengan sungguh sudah dapat dipastikan akan tercapai seluruh keinginan.

Syaratnya adalah ‘Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, lan aja alemen’. Tidak boleh mudah heran, tidak boleh gampang menyesal, tidak boleh mudah terkejut dan tidak boleh manja dengan meminta-minta.

Realisasinya ‘Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka’. Dalam menghadapi virus Corona ini, tentu kita tidak boleh sok pintar. ‘Ojo rumongso iso. Ning iso o rumongso’ jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasakan sesuatu, dan jangan ‘kementhus ora pecus’ (sok bisa padahal tidak bisa) karena akan mendapatkan musibah. Jangan sampai seperti ‘Jaran kerubuhan empyak’, sudah jatuh tertimpa tangga. Kita harus menerapkan filosifi alon-alon asal klakon. Tidak boleh terburu-buru kalau hanya akan mendatangkan musibah, tetapi harus ngati-ati dan nastiti. ‘Gliyak-gliyuk tumindak, sareh pakoleh’ memang kita harus pelan-pelan dalam bertindak agar tujuan akhir bebas dari Corona bisa tercapai.

Baca Juga  Islam Ramah dan Islam Marah di Indonesia

Hal itu harus kita lakukan sebab siapa pun yang ‘Sabar sareh, mesthi bakal pikoleh’ mereka yang bersabar tentu akan mendapatkan hasil yang baik. Meskipun kita dalam kondisi seperti ‘iwak melebu ing wuwu’ tidak bisa bergerak Karena WFH, harapannya satu, dhemit ra ndulit, setan ra doyan, tidak ada konflik sedikit pun dalam keluarga meskipun sedikit pemasukan.

Dalam menghadapi musibah ini kita harus yakin, bahwa Sura Diro Jayaningrat, lebur dening pangastuti. Segala keburukan di atas dunia, tentu akan terkalahkan oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Hanya saja kita harus eling lan waspada. Selalu ingat kepada Yang Maha Kuasa dan berhati-hati dalam segala hal.

Karena ‘Awu sing sumebar kuwi sejatine berkah bumi’. Berbagai wabah yang tersebar di atas bumi itu sesungguhnya akan memberikan hikmah hanya saja kita belum tahu hikmah atas semua musibah Corona ini.

Sudah saatnya kita menerapkan filosofi, ‘Witing Mulya, jalaran wani rekasa’. Kalau kita berani berjuang bersama melawan Corona, tentu kita akan hidup mulia. Mengapa demikian, karena ‘Gusti allah paring pitedah, bisa lewat bungah dan susah. Jadi, Tuhan YME bisa saja memberikan peringatan kepada kita semua baik melalui suasana bahagia maupun derita.

Selain itu, ‘Sepiro gedhene sengsara, yen tinampa among dadi coba’. Seberapa pun masalah kalau diterima dengan lapang dada dan ikhlas, maka akan menjadi cobaan ringan dan pasti dapat teratasi dengan baik. Karena apa, Gusti Allah ara sare. Tuhan yang maha kuasa tidak pernah tidur. Kita harus yakin, wabah ini akan segera berakhir.

Mengapa demikian, karena pusaka sing paling sekti puniko dumuning ing jati diri. Kekuatan yang paling dahsyat bukan karena obat, tetapi karena keyakinan kita untuk selalu sehat. Marilah kita bersatu, jangan sampai seperti ‘sego kucing ilang karete’ tentu akan ambyar tanpa kekuatan yang berarti. ‘Sembur-sembur adus, siram-siram bayem’ sebuah tujuan akan tercapai manakala mendapat dukungan dari kita semua.  Intinya, laksana ‘bathok bolu isi madu’, meskipun ilmu ini dari orang Jawa Kuno (jadul), tetapi tetap penuh manfaat (Jadul mantul)

Masih banyak lagi pepatah Jawa yang bisa pecah dari celengane simbah. Semoga saja kita semua bisa menerapkan berbagai pepatah tersebut, untuk diterapkan dalam menghadapi virus Corona ini.

Editor: Arif

Avatar
13 posts

About author
Pegiat Ekonomi Syariah, alumni PPs UIN Raden Intan Lampung, Pesma Baitul Hikmah Surabaya, S3 Ilmu Sosial Unair, & S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds