Falsafah

Tiga Aspek dalam Studi Pemikiran Tokoh

3 Mins read

Muhamad Rofiq*

Untuk melakukan pengkajian terhadap pemikiran tokoh, ada tiga aspek yang perlu dilihat dan diteliti secara simultan. Pertama, aspek konseptual dari pemikirannya, alias meneliti content idenya.

Kedua, konteks sosio-historis yang melatarbelakangi kemunculan idenya. Ketiga, posisi ide tersebut dalam tradisi diskursif Islam: pemikiran siapa yang mempengaruhinya, mazhab apa yang ia ikuti, apa novelty (kontribusi dan perbedaanya dengan mazhabnya). Lalu bagaimana resepsi pemikirannya, apa impact-nya, siapa pengkritik dan penerima konsepnya.

Ketimpangan dalam melihat tiga aspek di atas secara seimbang bisa membawa kesimpulan yang reduktif.

Contohnya, beberapa sarjana (umumnya yang menggunakan analisis sosiologi dan antropologi an sich) melihat pemikiran Islam politik (islamisme) sebagai manifestasi ideologi kemarahan terhadap dunia Barat. Islam politik yang terobsesi pada negara adalah third-wordlism atau ideologi masyarakat dunia ketiga yang jengkel terhadap hegemoni Barat.

Dengan kata lain, beberapa menyebutnya reaksi masyarakat muslim terhadap modernitas. Islamisme tidak lain nasionalisme yang berselubung agama. Bahkan, dikatakan islamisme sama sekali tidak islami. Karena fokusnya adalah tatanan politik (political order), bukan lagi spiritualitas (faith).

Biasanya perspektif ini cenderung mengedepankan tesis tentang keterputusan epistemik (epistemic break). Epistemologi kelompok Islam politik dianggap sudah tidak lagi terhubung dengan epistemologi tradisi Islam klasik.

Beberapa karya tulis yang menggunakan perspektif ini misalnya karya Bruce Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age (1989), Ernest Gellner Postmodernism, Reason and Religion (1992), Olivier Roy The Failure of Political Islam (1994), dan Bassam Tibi Islamism (2009).

Gagalnya Cara Pandang

Cara pandang seperti ini sesungguhnya telah gagal melihat bahwa diskursus para pengusung Islam politik memiliki aspek konseptual yang berasal dari tradisi Islam. Alias gagal melihat para Islamis masih berpijak pada grammar dan vocabulary yang islami.

Baca Juga  Wahdat al-Adyan: Gagasan Sufi atau Pemikiran Barat?

Selain itu, ada pula worldview sekular yang terselip dalam perspektif ini. Di mana agama tidak ada kaitannya dengan politik. Agama adalah urusan legalism (hukum) yang bersifat apolitik.

Kegagalan dalam pendekatan ini disebabkan oleh absennya analisa terhadap penalaran (reasoning) objek yang diteliti. Mereka hanya terfokus melihat aspek superstruktur sebuah ide (untuk meminjam istilahnya Karl Marx).

Sebaliknya ada pula yang mengabaikan dimensi materi (struktur sosial dan politik) yang membentuk sebuah ide. Seolah-olah ide lahir tanpa konteks. Penelitian dengan perspektif ini hanya melihat ide tokoh secara abstrak.

Jadi, ide tidak ada kaitannya dengan huru-hara politik, pergantian penguasa, jatuh bangunnya kekhalifahan, dan kondisi sosial lainnya. Jika kecendrungan pertama biasanya dilakukan oleh para sosiolog, antropolog, dan ilmuwan politik, kecenderungan kedua ini dilakukan oleh para islamisis (pengkaji Islam berdasarkan teks).

Kelemahannya, jika pendekatan ini dilakukan oleh insider, pemikiran tokoh yang dikaji bisa dianggap sebagai kebenaran saklek. Padahal ide dibentuk oleh suatu tatanan dan konteks sosial tertentu yang bisa bertransformasi ketika bertemu dengan konteks yang lain.

Jika dilakukan oleh para outsider, implikasinya adalah esensialisasi: meyakini esensi Islam ada pada teks. Pendekatan yang hanya bertumpu pada teks ini juga akan berdampak pada pengabaian diversitas praktek ril masyarakat dalam beragama.

Aspek yang Luput

Yang paling sering luput dari tiga aspek oemikiran tokoh di atas tampaknya adalah unsur yang ketiga. Peneliti tidak peduli dari mana ide-ide itu berasal, apa kebaruannya, bagaimana resepsinya, dan apa dampaknya.

Jadi, peneliti tidak mengerti peta keilmuan. Ibarat berdiri di tengah hutan, tahunya hanya ada pohon tempat ia bernaung. Dampak lain adalah kita tidak mengerti dinamika keilmuan.

Baca Juga  Melanjutkan Perjuangan Plato dan Aristoteles Melawan Kaum Sofis 4.0

Sebagai contoh, seringkali kita menganggap bahwa ulama yang secara teologi bermazhab Ashari, pasti menolak teologi Muktazilah. Tidak ada pengaruh dan jejak Muktazilah di dalamnya. Kenyatanyaannya padahal tidak sesaklek itu.

Imam al-Juwayni misalnya dalam persoalan klasifikasi dan sifat ilmu lebih cenderung pada paham Muktazilah. Ia menolak pandangan gurunya Imam al-Baqillani yang menjadi pakem dalam mazhab Asyaari.

Menurutnya, ilmu yang berasal dari penalaran (al-nazhar), asalkan penalarannya benar, bisa mencapai derajat meyakinkan (qathi). Dalam hal ini, dia meninggalkan pandangan ulama Asyari lainnya yang melihat penalaran hanya membawa pada konklusi yang tidak pasti (zhanni).

Ini sama seperti kasus al-Ghazali. Dia menolak filsafat Ibnu Sina, bahkan mengkafirkannya dalam tiga persoalan. Namun dalam hal-hal tertentu ada pemikiran Ibnu Sina yang ia transplantasi. Bahkan kata Fazlur Rahman dan Yahya Michot ada yang Ia copy paste kata per kata dalam buku-bukunya.

Al-Ghazali sendiri sangat terpengaruh oleh neo-Platonisme-nya Ibnu Sina. Dalam Mizanul A’mal-nya, misalnya al-Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan manusia ke dalam pengetahuan personal (ilmu batin) dan pengetahuan publik (ilmu zahir) yang sebenarnya berasal dari doktrin ta’lim (Syiah Ismailiyyah) yang ia kritik sendiri.

Dalam Misykatul Anwar, saat menjelaskan tentang konsep kenabian, ia menggunakan konsep cahaya (jawahir nuraniyyah) yang berasal dari tradisi Ibnu Sina.

Tentang Disertasi “AA”

Kembali ke tiga aspek pemikiran tokoh di atas. Untuk mengkaji tiga aspek ini, dibutuhkan wawasan dan pendekatan interdisipliner. Aspek pertama membutuhkan kemampuan membaca dan menganalisis teks (ilmu-ilmu alat).

Aspek kedua membutuhkan penguasaan terhadap teori-teori politik, sosial dan antropologi. Aspek ketiga, membutuhkan pengetahuan tentang sejarah ide.

Terakhir, hemat saya, disertasi Pak AA yang kemaren sempat bikin geger, juga gagal melihat tiga aspek ini. Pak AA hanya melihat aspek pertama, kemudian lompat ke konklusi yang berupa rekomendasi ke pemerintah. Andai saja tiga aspek ini dikaji secara komprehensif, penelitiannya jauh akan lebih menarik.

Baca Juga  Manusia dan Ego: Gagasan Muhammad Iqbal

* Alumni PCIM Mesir dan Pengurus PCIM Amerika Serikat

 

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds