Review

Fikih Akbar: Membumikan Islam Rahmah

4 Mins read

Oleh: Hamka Husein Hasibuan*

Islam hampir dalam semua aspek tertinggal. Kerja-kerja untuk memajukan Islam menuju peradaban baru selalu digaungkan. Berbagai macam pemikiran, konsep, metode, dan gagasan, sudah diajukan. Akan tetapi, faktanya Islam masih berjalan di tempat, jauh dari harapan, apalagi jauh dari Islam rahmah. Yakni, Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Dari sekian aspek yang dipersoalkan, ada satu aspek paling fundamental yang luput dari kajian, yakni masalah basis teologis dan model Islam yang ditawarkan.

Selama ini, pola beragama umat Islam masih didominasi corak beragama yang kaku, kering, hitam-putih, dan legal-formal. Menjadikan Islam model beginian sebagai basis rekonstruksi  peradaban  tidak memadai lagi. Sebab, ada satu hal paling substansial yang tertinggal, yakni cinta dan kasih sayang (rahmah).

Kita butuh prinsip-prinsip teologis Islam yang bisa dijadikan sebagai basis rekonstruksi. Yang tidak tersekat dalam kotak-kotak, bisa diterima oleh semua, dan selalu kompatibel dalam setiap ruang dan waktu.

Kekosongan inilah persis yang coba diisi oleh Hamim Ilyas lewat bukunya Fikih Akbar: Prinsip-prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku tersebut, akan saya coba ulas secara singkat dalam artikel dengan judul “Fikih Akbar: Membumikan Islam Rahmah” ini.

Hamim menilai, Islam sudah tertinggal dari umat lain.  Bukan saja tertinggal dari Kristen-Barat dan Shinto-Jepang, melainkan juga tertinggal dari Hindu-India, Budha-Korea, dan Komunis-Tao-Tiongkok. Fikih akbar adalah upaya mengajukan basis teologis dalam merekonstruksi peradaban baru Islam.

Rekonstruksi Fikih Akbar

Dalam menawarkan Islam Rahmahtan lil’Alamin, Hamim merekonstruksi konsep fikih akbar –sebagaimana digagas mula-mula oleh Abu Hanifah (80 H/699 M-150 H/769 M) – yang dinilai bisa melahirkan prinsip-prinsip Islam Rahmahtan lil’Alamin.

Fikih Akbar digunakan dengan merujuk kepada surah al-Taubah (9): 122 yang memerintahkan manusia untuk tafaqquh fi al-din. Tafaqquh (pemahaman secara mendalam) dalam sejarahnya menjadi: tafaqquh fi al- din, melahirkan akidah; dan tafaqquf fi al-‘ilm, melahirkan fikih.

Baca Juga  Maradona, Bola, dan Agama

Akan tetapi, fikih akbar ala Hamim Ilyas tidak sesempit fikih akbar versi Abu Hanifah. Yang mana, hanya berbicara soal ketuhanan (akidah), melainkan diperluas. Mencakup soal-soal di luar masalah ketuhanan.

Konsekuensi perluasan ini, objek fikih akbar mencakup: pertama, sistem kepercayaan. Meliputi landasan, dasar, kerangka, model dan kesadaran beragama.

Baca juga: Hamim Ilyas: Memahami Doktrin Islam Kaffah

Kedua, sistem peribadatan. Yakni dimensi spiritual, moral, sosial, dan ritual-ritual peribadatan. Ketiga, sistem nilai. Mencakup pandangan, tujuan, orientasi, cita-cita, kesetiaan, prinsip, dan perilaku hidup.

Keempat, sistem visioner yang diidealkan. Termasuk di dalamnya negara, masyarakat, keluarga, kebudayaan, ilmu pengetahuan, pendidikan, ekonomi, dan hukum.

Keempat objek ini –dalam bahasa Hamim Ilyas –disebut dengan al-sawabit (sesuatu yang tetap, tidak berubah) dan al-ashliyat (sesuatu yang asal; atentik). Yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan kehidupan yang baik (hayah thayyibah) dengan tiga indikator: sejahtera, bahagia, dan damai.

Dengan demikian, fikih akbar berbicara pada level yang sangat  substansial. Dengan memasukkan sistem nilai dan sistem visioner ideal, maka kerahmatan Islam tidak hanya diperuntukkan untuk Islam saja. Tetapi untuk seluruh alam.

Alam di sini mencakup seluruhnya, makhluk hidup dan manusia tanpa memandang agamanya.

Pada titik inilah, Hamim Ilyas mengkritisi pihak-pihak yang memperlakukan Islam secara eksklusif. Seolah-olah  rahmat Islam hanya untuk golongan atau pihak mereka saja. Atau dalam bahasa Ibnu Taimiyah hanya untuk kalangan Ahli Sunnah wa al-Jamaah saja.

Rahmah Sebagai Landasan

Setelah merekonstruksi fikih akbar, Hamim Ilyas membangun konsep Islam Rahmatan lil ‘Alamin (IRA) yang dirujuk langsung pada Al-Quran dan Sunnah. IRA mempunyai dasar filosofis. Muaranya adalah rahmah.

Dengan meminjam Al-Ashfahani, Hamim mendefinisikan rahmah sebagai kelembutan yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi (riqqah taqtadhi al-ihsan ila al-marhum).

Artinya IRA mensyaratkan dua hal penting: kelembutan (riqqah) dan kebaikan nyata (al-ihsan). Kedua syarat ini menunjukkan, bahwa berislam sama dengan membumikan cinta secara aktual. Cinta itu berupa kelembutan dan kebaikan nyata.

Baca Juga  Menghadirkan Islam yang Lebih Humanis di Indonesia

Sifat rahmah menjadi kata kunci. Dengan merujuk kepada Al-Quran, Hamim menetapkan tiga landasan agama Islam. Yakni tauhid rahamutiyah; kerasulan rahmat; dan kitab suci rahmat.

Tauhid rahamutiyah adalah tauhid yang mempercayai Allah sebagai Ilah, Rab, dan Malik. Lengkap dengan segala asma dan sifatnya berdasarkan cita kasih. Bukan kebencian, kemarahan, kekuasaan, dan  pemaksaan.

Ketuhanan Yang Maha Rahman dan Rahim menunjukkan bahwa tuhan yang dipercayai umat Islam bukanlah tuhan jahat. Dikit-dikit marah, dikit-dikit demo, dan dikit-dikit boikot. Tetapi tuhan yang mengasihi dan memberikan anugerah kepada semua makhluk-Nya.

Konsep tauhid rahamutiyah sekaligus mengkritisi konsep tauhid yang terlalu kering, kaku, dan kurang membumi. Tauhid yang sibuk dengan perdebatan kaum teolog dan filosof. Tauhid yang melangit, dan tidak memberikan cinta aktual terhadap kehidupan nyata.

Kerasulan Rahmat adalah kepercayaan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk rahmat seluruh alam. QS al-Anbiya’(2): 107 yang dijadikan rujukan berpola nafy-istitsna’ (menafikan-mengecualikan): “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Pola nafy-istitsna’ menurut Hamim, menetapkan kualitas bagi sesuatu dengan menafikan darinya segala kualitas selainnya secara total. Artinya, risalah Nabi itu adalah risalah rahmat. Risalah yang tidak menjadi rahmat, itu bukan risalah Nabi.

Dengan kata lain, segala yang berkaitan dengan Nabi, baik itu pribadi, keberadaan, kerasulan, risalah, dan misi dakwahnya semuanya adalah rahmat. Nabi adalah rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali, akan tetapi yang mendapat manfaatnya hanyalah oarang yang setia mengikutinya.

Fikih Akbar: Membumikan Islam Rahmah

Hamim meminjam perumpaan yang dibuat oleh Zamakhsyari: “Kehadiran Nabi seperti mata air deras yang dapat dimanfaatkan banyak orang untuk mengairi ladang dan memberi minum ternak sehingga mereka mendapatkan banyak keuntungan darinya, sementara orang-orang yang malas tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari mata air itu.”

Rahmat umum diterima oleh semua orang. Rahmat khusus diterima oleh mereka yang mengikuti Nabi. Pembagian level rahmat ini, bisa menjadikan seseorang lebih terbuka, toleran, dan akomodatif.

Baca Juga  Mencermati Pudarnya Islam Moderat

Kitab Suci Rahmat adalah konsekuensi logis dari Kerasulan Rahmat. Artinya, wahyu, risalah, dan ajaran yang dibawa oleh nabi yang termaktub dalam kitab suci semuanya adalah rahmat.

Letak kerahmatan ini, merupakan misi Nabi sebagai pembawa kabar gembira (basyir) dan pembawa kabar peringatan (nazir). juga bisa dilihat dari isi, misi, fungsi, dan tujuan Al-Quran yang semuaya adalah rahmat.

Ketiga landasan ini dikonstruksi oleh Hamim Ilyas langsung dari  Al-Quran dan Sunnah. Kemudian dielaborasi dalam kerangka kebudayaan, meliputi: sistem pengetahuan, sistem sosial, dan sistem artefak.

Jika Islam berlandaskan triologi rahmah. Fondasi di sini meliputi paradigma, definisi, organisasi, dan fungsi agama Islam semuanya adalah rahmat.

Fikih akbar yang digagas oleh Hamim Ilyas dikonstruksi secara sistematis dan koheren. Ketuhanan Yang Maha Rahman dan Rahim sebagai dasar. Islam rahmat bagi sekalian alam sebagai paradigma. Keserbarahmatan seluruh lembaga sosial sebagai turunannya.

Jika ini terpenuhi, maka fungsi agama Islam –mempersatukan, menyelamatkan, dan memperbaiki kehidupan manusia –akan terwujud.

*Alumni Kajian Maqasid dan Analisis Strategik,  Interdiciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Alumni Sekolah Kemanusian dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif, Maarif Institute.

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *