Oleh: A.S. Rosyid
Perdamaian adalah barang politik. Perdamaian apapun pertama-tama harus diinsyafi sebagai barang politik. Bagi berbagai pertikaian, baik lokal maupun internasional, mewujudkan perdamaian merupakan perjuangan politik. Misalnya pertikaian panjang antara Israel dan Palestina, atau pertikaian antara kaum pribumi dan Tionghoa di Indonesia, lebih pantas disebut sebagai konflik politik.
Sebab pihak-pihak yang bertikai akan berusaha, secara politis, mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Lebih banyak kepentingan itu berkenaan dengan penguasaan sumber energi dan akses ekonomi (kehidupan yang layak). Sentimen SARA membuat ‘mengalah’sulit dijadikan alternatif solusi. Maka politik diputuhkan untuk menyeimbangkan kepentingan dan mewujudkan perdamaian.
Namun, akan bertahan sampai kapan perdamaian yang dibangun di atas politik? Sebagai sandaran, politik terbilang rentan.
Karena itulah, kendati perdamaian merupakan barang politik, politik tidak lantas mejadi satu-satunya jalan untuk memperjuangkan perdamaian. Menurut hemat saya, ada tiga jalan yang bisa kita tempuh untuk mengupayakan perdamaian. Pertama, berselesai dengan diri sendiri. Kedua, pendalaman tema dialog. Ketiga, melawan kekerasan lingkungan.
Berselesai Dengan Diri Sendiri
Perdamaian berbeda dengan kedamaian. Perdamaian adalah terma sosial dan sifatnya interkonektif; dua pihak atau lebih memutuskan untuk berkomitmen untuk menghindari pertikaian, terutama pertikaian dengan kekerasan. Sedangkan kedamaian adalah situasi damai itu sendiri (objektif) atau perasaan damai di dalam dada manusia (subjektif). Kedamaian-objektif lahir karena adanya komitmen perdamaian, sedangkan kedamaian-subjektif lahir karena adanya kesadaran perdamaian.
Kita bisa dan harus, sebagai anggota masyarakat tertentu (agama, suku, negara), mengembangkan kesadaran perdamaian. Upayanya bisa dengan cara menjadikan ajaran agama, kearifan suku, atau filsafat negara sebagai “sumber etika” kemanusiaan dan perdamaian. Terutama untuk menjawab pertanyaan penting seperti: “Bagaimana saya harus memegang kebenaran dan bagaimana saya harus berhadapan dengan kebenaran yang-lain? Siapa itu kami, siapa itu kalian, bagaimana harusnya kita?”
Kata kuncinya adalah keseriusan. Saya, misalnya, sebagai umat Islam, pernah menyurvei seluruh ayat dalam Alquran demi memahami tema-tema tertentu. Itu pun belum cukup, dan itu baru sekadar keseriusan dalam belajar. Diperlukan juga keseriusan dalam berlatih. Wacana saja tidak cukup: kita perlu menguji kesanggupan diri untuk bersentuhan secara damai dengan yang-lain, yang selama ini kita perlakukan tidak adil sejak di dalam pikiran. Bahkan, bila perlu, persentuhan itu bersifat dilematis.
Sebab, pada akhirnya, kita tidak bisa berdamai dengan yang-lainkecuali kita telah berdamai dengan diri sendiri, atau berselesai dalam wacana dan praktek. Komunitas dan perjumpaan lintas identitas juga dibutuhkan secara intens demi membangun perdamaian. Kehadiran yang-lainmenguji kita, begitu pula sebaliknya. Seberapa bersihkah perasaan kita saat berjumpa?
Memperdalam Tema Dialog
Perdamaian lebih dari sekadar damai. “Kita tidak berkelahi bukan berarti kita baik-baik saja.” Damai dapat berarti tiadanya konflik, namun suasana bisa saja dingin dan serba-bercuriga. Situasi semacam itu bisa pecah menjadi konflik kapan saja, hanya perlu sedikit senggolan fitnah. Maka perdamaian harus dimaknai sebagai upaya aktif untuk membangun kemesraan.
Salah satu cara paling populer adalah dialog. Tujuan dari dialog sederhana namun krusial: kita butuh pemahaman akan yang-lain dari mereka sendiri, bukan dari penafsiran kita semata. Tujuan itu akan menghindarkan kita dari, misalnya, blunder pendapat seorang ustaz tentang simbol agama lain beberapa waktu lalu. Dialog membiarkan empunya menjelaskan sendiri. Supaya setelahnya tercipta keadaan saling mengenal dan menghormati.
Tingkat sinuhun dari dialog adalah sikap terbuka pada kritik, atau kemampuan untuk bertukar pikiran dan mengakui satu dua kelemahan dalam memahamiajaran masing-masing. Jarang tingkat sinuhun ini tercapai, dan bila pun bisa, rekan dialog pastilah tidak dipandang sebagai lapis-lapis doktrin dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu (dosa, neraka), melainkan manusia biasa dan kawan karib. Percakapan pastilah berlangsung sangat manusiawi.
Dalam konteks dialog lintas iman, umumnya diperbanyak penjelasan komprehensif doktrin-doktrin pokok, atau pencarian satu titik temu bersama. Tapi usulan Tariq Ramadan cukup menarik: tidak cukup bagi perdamaian berdiri di atas penyamaan simplistik (mencari kecocokan dan merasa cukup dengan ‘yang penting cocok’). Perlu ada pendalaman tema. Kita harus menggali secara kritis konsepsi bersama akan “konsep manusia”, “kehormatan”, “keadilan” dalam kaitannya dengan yang-lain. Mengapa?
Sebab kita perlu memastikan bagaimana diri kita dipandang dan ditempatkan oleh yang-laindalam tema-tema krusial tersebut, pun sebaliknya. Sebab, menurut Tariq, kita boleh saja cocok dalam satu dua doktrin, tapi “Di antara aku dan kamu ada kitab suci yang menyuruh kita melakukan ini dan itu.” Dengan kata lain, Tariq menginginkan adanya kesepahaman di level etika-universal, yang tidak goyah oleh perintah-parsial. Kesepahaman etis jauh lebih kuat dan tegas daripada semata kecocokan.
Kekerasan Lingkungan Sebagai Akar Masalah
Bukan wacana baru, tapi juga bukan wacana mainstream: kekerasan lingkungan dipandang sebagai akar konflik. Vandana Shiva adalah salah satu yang penyuara wacana ini. Konflik Muslim-Yahudi di Palestina, konflik separatisme Kaum Sikh di Sungai Punjab, sesungguhnya merupakan “konflik air” (water wars)―suatu sebutan untuk perebutan kuasa atas sumber energi. Isu SARA hanya penyokong.
Banyak alasan mengapa manusia mempertikaikan sumber energi, tapi tunggaknya adalah hilangnya kedaulatan dan berubahnya prinsip-prinsip pemeliharaan sumberdaya, dari yang semula berprinsipkan kasih sayang dan distribusi adil, menjadi privatisasi, eksploitasi, dan komodifikasi(yang memenangkan elit dan memperlebar jurang kesenjangan). Perubahan itu disebabkan oleh imperialisme, dan masih berlangsung hingga kini, dalam bentuk-bentuk yang baru.
Karena itulah, penting untuk tidak melulu berkutat pada urusan tafsir normatif sebagai hambatan perdamaian. Memperjuangkan perdamaian harus seiring dengan melawan privatisasi, eksploitasi, dan komodifikasi sumber energi. Itulah yang dilakukan Mahatma Gandhi: ajaran anti-kekerasan dan upaya perdamaiannya tidak berdiri di atas awang-awang wacana, melainkan senapas dengan perlawanan terhadap imperialism di India.
Pada tanggal 21 September, dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional. Kebetulan yang menyenangkan bahwa tanggal 20 September juga ditetapkan sebagai tanggal rutin demonstrasi perubahan iklim dan pemanasan global(dimotori oleh Greta Thunberg, gadis berusia enam belas tahun!). Seakan hendak dikata: perdamaian harus berdiri dan diawali dengan keadilan lingkungan. Perdamaian harus diawali dengan menyelamatkan cinta dari keserakahan modal. []