Dalam sebuah hikayat, pada sebuah buku termasyhur karya Jalaluddin Rumi, yakni Fihi ma Fihi. Di dalamnya tertulis sebuah pembahasan tentang analogi jenis tawasul dalam kehidupan, yaitu manusia biasa, kekasih Tuhan dan Tuhan.
Tiga komponen yang berbeda ini, sebenarnya memiliki jalur yang berhubungan. Tetapi terkadang manusia selalu mengutamakan ego mereka dan merasa diri paling baik. Sehingga apa yang diperintahkan dan diinginkan oleh Tuhan, hanyalah sebuah omong kosong.
Andai pun jika Tuhan memberinya, maka itu adalah ujian yang berat, istidraj. Diberi kenikmatan kepada seorang manusia, sehingga ia lupa segala bentuk dirinya lalu melupakan Tuhannya.
Sebuah Hikayat tentang Tawasul
Seorang Raja yang berkata kepada darwisnya, “Ketika nanti kamu telah sampai pada tingkat tajali’ dan berada dekat di sisi Allah SWT, ingatlah kepadaku!” Darwish itu menjawab, “Ketika aku sampai ke hadirat Allah SWT, dan cahaya matahari keindahan-Nya memancar kepadaku, aku tidak akan lagi mengingat siapa diri ku. Lalu bagaimana aku akan mengingat mu? “
Ketika Allah telah memilih hambanya dan menjadikan nya lebur secara sempurna bersama diri-Nya, maka setiap orang yang memegang kakinya dan memohon bantuan kepada-Nya, Allah yang akan mendengar keinginan mereka. Meski orang agung yang berada di sisi Allah itu tidak ingat siapa yang meminta bantuan kepadanya, Dia akan tetap memberikan apa yang mereka inginkan.
***
Para pembaca yang mulia. Analogi hikayat di atas cukup sederhana jika dipahami dengan teliti. Namun agar lebih memudahkan pemahaman tentang tawasul, maka akan kita sederhanakan lagi dalam sebuah hikayat berikut.
Konon ada seorang Raja yang memiliki hamba yang sangat khusus. Ketika hamba ini sedang berjalan menuju istana kerajaan, orang-orang yang mempunyai keinginan menitipkan sebuah qishash-qishash dan beberapa buah buku kepadanya. Dengan harapan ia akan membacakannya di hadapan Sang Raja.
Hamba itu kemudian memasukkan qishash dan beberapa buah buku itu ke dalam tasnya. Ketika ia telah tiba di hadapan Baginda Raja, ia tak mampu menahan cahaya keindahan yang terpancar dari sang pemilik kerajaan, ia pun jatuh dan tak sadarkan diri tepat di depan Sang Raja.
Baginda, dengan maksud bergurau, memasukkan tangannya ke dalam saku dan tas hambanya yang khusus itu, seraya berkata: “Apa yang dimiliki oleh hamba yang kagum kepadaku dan melebur ke dalam keindahanku ini?”
Raja memungut qishash dan buku yang dititipkan oleh rakyat kepadanya. Setelah selesai membaca semuanya, Sang Raja kemudian memerintahkan untuk mengabulkan semua harapan dan keinginan yang tercatat dalam tulisan itu dengan menulis di atasnya. Lalu Raja mengembalikan ke dalam tas hambanya tersebut, dan tanpa ada satu keinginan pun yang ditolak.
Bahkan mereka mendapatkan yang diinginkan berlipat ganda dan jauh lebih banyak dari yang mereka harapkan. Sementara para hamba lainnya yang sadar dan mampu menyampaikan qishash rakyat di hadapan Baginda Raja, jarang dan bahkan sedikit sekali yang dikabulkan. Mungkin hanya satu yang dikabulkan dari seratus harapan dan impian yang mereka sampaikan.
Tiga Jenis Tawasul kepada Allah
Para pembaca yang terhormat, dalam hikayat yang saya kutip dari buku Fihi ma Fihi karya Imam Jalaluddin Rumi ini, mengisahkan tentang analogi tawasul kepada Allah dengan cara yang berkaitan dengan orang ketiga. Diantaranya; Aku hamba yang kotor, Kau hamba yang bersih dan Tuhan yang suci.
Pertama, hamba yang kotor. “Aku hamba yang kotor” ini mengistilahkan untuk semua kalangan manusia yang belum mengenal hakikat dirinya sendiri, apalagi mengenal Tuhannya.
Kedua, hamba yang bersih. “Kau hamba yang bersih” mengistilahkan cakupan setiap hamba yang telah mengenal hakikatnya, siapa dirinya, hingga sampai pada tahap makrifatnya yang pada akhirnya berada pada titik tajali’, yakni melebur menjadi satu secara sempurna dengan Tuhan.
Ketiga, Tuhan yang Suci. Adapun istilah “Tuhan yang Suci” adalah bentuk pengagungan kepada Tuhan yang suci. Meskipun sebelum tercipta kata suci ini pun, Allah adalah satu satunya Tuhan yang Suci. Tidak ada Tuhan selain Allah.
Penutup
Jadi dalam kehidupan ini, Anda perlu bertawasul. Mendekatkan diri kepada yang sudah dekat menuju yang Maha Dekat.
Ketika seseorang memohon sesuatu, diperbolehkan ber-tawasul dengan para alim ulama dengan menitip doa agar dikabulkan, dikarenakan keberkahan dan kedekatan ulama itu sangat mudah dan menyenangkan bagi Allah mengabulkan permohonan kekasih-Nya daripada hamba yang biasa.
Editor: Soleh